Kamis, 07 Agustus 2008

"Jawa Timur," "Jawa Barat," dan "Jalur Gaza"

Baris ini diketik di sebuah warung internet di Maumere, setelah penerbangan ke Jakarta dengan Merpati dibatalkan. Mulanya informasi tentang pembatalan itu agak mengecewakan, tapi setelah ditimbang-timbang kutemukan ada hikmahnya juga. Paling kurang aku punya waktu untuk membaca buku yang kubeli di Candraditya, dua hari lalu. Dan satu lagi, aku bisa merampungkan catatan tentang berbagai pengalaman selama aku berada di kampung Eputobi-Lewoingu, di Flores Timur.

Sejak hari Minggu malam, 27 Juli 2008 hingga Kamis pagi, 7 Agustus 2008, aku berada di Eputobi. Tujuan utama keberadaanku di Eputobi kali ini adalah ikut berpartisipasi dalam acara peringatan satu tahun wafatnya adik kami Yoakim Gresituli Ata Maran. Acara peringatan tersebut berhasil diselenggarakan dengan sederhana pada hari Rabu, 30 Juli 2008, dihadiri oleh anggota-anggota Keluarga Besar Ata Maran, sanak saudara dan handai taulan di Lewoingu dan sekitarnya. Acara tersebut ditandai dengan misa yang dipimpin oleh Romo Lala MSF dan makan bersama. Frater Eko MSF yang baru menjalani TOP di Paroki Lewolaga pun hadir.

Ketika acara itu diselenggarakan, kampung Eputobi sedang berada dalam suasana duka. Pada hari Senin pagi, 28 Juli 2008 Bapak Petrus Lagawuyo Lamatukan dipanggil pulang oleh Yang Maha Kuasa, setelah menderita sakit cukup lama. Sakit pula yang membuat Ibu Geno, guru SDK Eputobi berpulang ke rumah Bapa di Sorga pada hari Sabtu, 19 Juli 2008.

Melayat ke rumah duka, yaitu rumah almarhum Petrus Lagawuyo Lamatukan membuat aku bertemu dengan sejumlah orang Eputobi. Datang melayat ke rumah duka itu adalah orang-orang dari "Jawa Timur" dan "Jawa Barat." Yang "Jawa Timur" berkubu ke bagian timur kampung Eputobi. Yang "Jawa Barat" berkubu ke bagian barat kampung Eputobi. Kategorisasi semacam itu murni made in Eputobi. Anda sendiri sudah tahu 'kan pihak mana yang dimaksud dengan "Jawa Timur" dan pihak mana yang dimaksud dengan "Jawa Barat?" Di antara "Jawa Timur" dan "Jawa Barat" terletak "Jawa Tengah," yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan "Jalur Gaza." Anda tahu 'kan apa yang terjadi di Jalur Gaza di Timur Tengah sana? Jika anda tahu ceritera tentang Jalur Gaza, anda pun dengan mudah dapat membayangkan apa yang terjadi sehari-hari di "Jalur Gaza" versi Eputobi.

Di "Jalur Gaza" batu-batu pernah beterbangan menghantam dua rumah. Lantas, menurut ceritera penduduk "Jalur Gaza," seringkali mereka pun diberondong dengan "peluru" berupa kata-kata yang tidak enak didengar. Oleh siapa? Ya oleh orang-orang "Jawa Timur." Kata-kata yang tidak enak itu pun ikut mengganggu kuping orang-orang tertentu dari "Jawa Barat," ketika mereka mengambil uang BLT atau ketika mereka membeli raskin.

Meskipun demikian, penduduk "Jalur Gaza" tetap sabar dalam menghadapi segala macam "berondongan" itu dengan tenang. Mereka pun tetap menggunakan kecerdasan dan kearifan khas Lewoingu dalam menghadapi segala macam tantangan permasalahan semacam itu. Salah satu kelebihan mereka ialah, mereka masih memiliki sikap humoris. Sehingga masalah dan tantangan kekerasan dapat dinetralisir dengan baik. Kalau anda perhatikan dengan cermat, anda pun bisa menemukan adanya korelasi antara kecerdasan dan kearifan dengan sikap humoris. Yang jadi pertanyaan ialah apakah orang-orang jahat itu memiliki sikap humoris? Anda bisa menemukan jawabannya sendiri.

Adanya "Jawa Timur", adanya "Jawa Barat," dan adanya "Jalur Gaza" itu karena di Eputobi terdapat orang-orang yang sungguh-sungguh jahat. Setiap bertemu dengan orang-orang di luar Lewoingu, entah di desa-desa di sekitar Lewoingu, entah di kota Larantuka, juga di kota Maumere, mereka secara spontan menyatakan rasa heran sekaligus rasa jijik mereka, bahwa di sebuah kampung bernama Eputobi terdapat orang-orang yang bisa melakukan kebiadaban seperti yang terjadi pada Senin malam, 30 Juli 2007 itu. Mereka bilang, "...... itu perbuatan yang sungguh-sungguh biadab." Ketika saya berkunjung ke suatu kampung yang terletak di kaki Ile Mandiri pun ada saja orang yang langsung menyinggung kebiadaban itu setelah mereka tahu bahwa aku berasal dari suku Ata Maran. Di suatu desa di pantai utara Flores Timur, seorang anak muda bilang, "kebiadaban semacam itu hanya terjadi di Lewoingu."

Menarik bahwa perjuangan untuk membongkar tuntas kasus pembunuhan adik kami Yoakim Gresituli Ata Maran mendapat dukungan moril dari berbagai kalangan masyarakat, tidak hanya di Lewoingu tetapi juga di luar kawasan Lewoingu. Orang-orang di Larantuka, di Heras, di Waiwio, di Lewotala, di Boru, dan Maumere dan di tempat-tempat lainnya ikut memberikan dukungan moril. Di Heras, beberapa orang bahkan ikut menyatakan rasa sedih mereka yang mendalam atas meninggalnya Yoakim Gresituli Ata Maran.

Tetapi di Eputobi anggota-anggota komplotan penjahat dan sejumlah pendukungnya malah terus berkoar-koar dengan segala macam arogansinya. Arogansi mereka ditandai antara lain berupa tuduhan bahwa yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran adalah tiga orang muda dari "Jawa Barat." Seorang kakak korban disebut sebagai penjahat oleh seorang guru SDK Eputobi. Seorang lagi dituduh sebagai pengacau, juga oleh seorang guru bersama isteri dan anaknya. Mereka yang menuduh itu tentu masuk dalam kubu "Jawa Tmur." Di "Jawa Timur" penjahat-penjahat disanjung-sanjung dan dibela-bela sebagai pahlawan BLT dan raskin. Ini aneh tapi nyata.

Lalu ada beberapa orang Eputobi perantuan yang sedang berlibur di kampung halaman tercinta. Ada yang mampu menempatkan diri, bersikap arif-bijaksana. Tetapi ada pula yang tadinya diharapkan dapat memainkan peran sebagai pembawa damai, pembawa kebaikan, malah menjadi penyebab keresahan. Ini gara-gara mulut yang tak bisa direm. Yang terlanjur mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas di muka umum akhirnya menjadi "orang yang terasing di negeri sendiri." Kasihan.

Masih ada ceritera tentang kampung Eputobi. Tetapi untuk kali ini cukup dulu. Setelah tiba di Jakarta, aku akan merangkainya, baik di kolom kdk maupun di atamaran.blogspot.com.

Sudah dua jam, aku duduk di warnet ini. Aku harus kembali ke tempat penginapan di kota yang cukup sibuk dengan kegiatan-kegiatan bisnisnya. Dari dalam warnet ini terdengar jelas bising suara kendaraan bermotor, tak banyak beda dengan suara bising kendaraan bermotor di jalan-jalan kecil di kota Jakarta. Ruangan warnet ini diusahkan disejukkan dengan mesin AC. Tetapi mesin AC-nya tampak sudah tua dan dekil, sehingga hawanya masih lumayan panas juga. Lalu kecepatan internet di warnet ini terbilang lamban bahkan sangat lamban. Kita yang sudah biasa dengan internet kecepatan tinggi (broadband) merasa kurang nyaman dalam berselancar di dunia maya. Tapi masih untung bahwa di kota ini tersedia beberapa warung internet, sehingga catatan ini dapat kubuat dan diupload ke atamaran.blogspot.com.

Sore ini juga aku jadi ingat akan berbagai pesan dan harapan dari berbagai kalangan masyarakat beradab di Eputobi dan sekitarnya. Semoga keinginan-keinginan dan harapan-harapan baik mereka terkabulkan, cepat atau pun lambat. Semoga Tuhan senantiasa menyertai setiap langkah perjuangan kita.***