Minggu, 21 Juni 2009

Ceritera tentang Dedeking, teman si Resekel

 

Dalam kesedihannya, si Resekel ingat akan seorang temannya bernama Dedeking, yang kini tinggal di suatu pulau di laut selatan. Sudah lama dia tidak berjumpa muka dengan si Dedeking. Dalam lamunannya si Resekel sempat berkata dalam dirinya, “Dedeking, ke mana saja engkau selama ini, sehingga engkau belum juga menampakkan batang hidungmu lagi di sini? Kapan engkau bisa datang lagi ke mari. Aku ingin sekali berbagi ceritera sedih ini denganmu.” Setelah berkata-kata demikian, si Resekel pun rebah, lalu terlelap.

Sementara itu, di seberang sana, si Dedeking sedang melamun sendirian di depan sebuah gua dekat pantai. Di pantai itu, Dedeking, si monyet yang suka mengigau itu suka berjemur seraya menikmati deburan ombak laut selatan. Dan di gua itu dia biasa bersembunyi jika keadaan di kota dirasanya tidak aman baginya. Maklum seperti si Resekel, si Dedeking pun seekor monyet yang pandai mencuri. Bedanya, dulunya si Dedeking adalah seorang manusia. Tetapi karena sering melakukan kejahatan, maka dia pun terkena kutuk dewa langit. Maka jadilah dia seekor monyet jantan dengan bulu-bulu di kepala lebih panjang ketimbang bulu-bulu di bagian lain dari badannya.

Dedeking adalah nama yang dia miliki sejak dia menjadi manusia. Kadang-kadang, teman-temannya memanggil dia Dodolking. Soalnya, dia itu suka makan dodol. Kesukaannya itu membuat dia pun tak segan-segan untuk mencuri dodol di pasar atau pun di warung. Gara-gara ketahuan mencuri dodol di suatu pasar tradisional, dia disuruh melakukan push up sebanyak seratus kali oleh satpam pasar. Setelah disuruh push up, dia dirotan sebanyak tiga kali.

Dia diberi nama Dedeking, karena dia memang tukang bicara. Apa saja dia bicarakan. Masalah yang tidak dia ketahui ujung pangkalnya pun dia bicarakan seenak-enaknya dia. Apa yang tidak terjadi pun dia bilang terjadi, dan dia pun menceriterakannya sebagai suatu kisah nyata. Kapan dan di mana pun kalau dia mau bicara, dia bicara sesuka hati dia. Maka dia pun suka mengigau juga. Karena suka bicara sesuka hatinya, maka dia pun diberi nama Dedeking, rajanya orang yang suka bicara.

Ketika masih menjadi manusia, dia terkenal kasar dan galak. Dengan teman-temannya sendiri dia sering berkelahi. Suatu hari dia memegang sebatang besi untuk menghancurkan kepala temannya sendiri. Tetapi perkelahian tak sempat terjadi, karena datang beberapa orang mencegahnya. Ketika hawa nafsu amarah meliputinya, dia merasa gagah perkasa. Dalam keadaan semacam itu dia membayangkan diri sebagai raja yang berkuasa atas langit dan bumi. Sejak masih muda, ikon-ikon dirinya sebagai raja sudah menghiasi dinding-dinding sanubarinya. Maka tak mengherankan bila dalam igauannya di malam atau pun di siang hari, dia pun sering mengatakan, “Aku adalah raja langit dan bumi.”

Meskipun sudah berevolusi menjadi monyet, dia tetap menggunakan nama Dedeking. Dan dia adalah monyet yang sering bermimpi dan mengigau. Sebagai mantan manusia, si Dedeking adalah monyet yang paling mampu bersosialisasi dengan manusia. Di dalam tubuhnya yang sekarang, masih tersimpan pikiran-pikirannya sebagai manusia. Hanya karena ukuran otak dan organ-organ fisiknya menyusut menjadi monyet, maka apa yang dia pikirkan tak mampu lagi dia ekspresikan dalam bahasa manusia. Setelah menjadi monyet, perilakunya ditentukan oleh naluri-naluri hewani. Tetapi sebagai mantan manusia, dia mengerti bahasa manusia. Tetapi tubuh jasmaninya tak lagi sanggup berperan sebagai media yang memungkinkan dia menggunakan bahasa manusia.

Pada sore hari ini, dia berada jauh dari lingkungan masyarakat manusia. Dia juga tidak berada di tengah masyarakat monyet. Dia sendirian duduk pada sebuah batu besar di pinggir pantai selatan. Di belakangnya berjejer pohon bakau. Di sekitar tempat dia duduk berhamparan pasir putih. Di hadapannya gulungan ombak terus membentur batu-batu hitam. Percikan ombak mengenai juga mukanya. Ketika dia memandang ke arah barat, dia menemukan sebuah bola emas yang semakin turun mendekati tepi cakrawala barat. Di saat itu, keinginannya untuk kembali menjadi manusia meluap-luap dalam dirinya. Tetapi seketika itu juga, datang sepasukan balatentara langit membawa pesan dari dewa langit kepadanya. “Hai Dedeking, engkau tak mungkin kembali menjadi manusia.” Mendengar isi pesan itu, si Dedeking pun merasa sedih lalu temenung lesu.

Hari mulai gelap. Dedeking pun memutuskan untuk bermalam di gua di pinggir pantai itu. Pada malam hari itu, dia bermimpi bertemu dengan si Resekel dan empat rekannya yang sedang dikerangkeng itu. Dia melihat wajah si Resekel yang sedih. Dia melihat banyak monyet lainnya  berlarian kian kemari karena panik. Dia melihat suasana kacau sedang melanda para monyet itu. Dia juga melihat datangnya nyala api raksasa berwarna ungu dan biru menyambar-nyambar kian kemari membakar sejumlah monyet tua dan sejumlah monyet muda hingga menjadi arang. Dia juga menyaksikan ganasnya anjing-anjing pemburu yang siap menerkam monyet-monyet yang berusaha nekad keluar dari wilayah itu. Dia juga menyaksikan sekian pasukan cobra hitam dan kuning yang sedang menari-nari, siap memangsa monyet-monyet yang sedang dilanda panik dan ketakutan itu.

Dalam keadaan semacam itu si Dedeking sempat bertanya, “Di mana si kepala monyet, sehingga keadaan jadi kacau begini?” Karena tidak menemukan keberadaan kepala monyet di tempat persembunyian monyet-monyet itu, dia pun berusaha pergi ke kota Tukanai. Ini dia lakukan setelah dia ingat bahwa si kepala monyet itu sedang dikerangkeng di kota itu. Tetapi ketika tiba di Tukanai dia langsung berpapasan dengan suatu adegan yang sangat mengerikan. Di sana dia menemukan seekor monyet betina terkapar berlumuran darah di jalan. Kepalanya remuk, tulang-tulangnya ada yang terpisah dari dagingnya. Monyet betina itu baru saja ditabrak oleh sebuah truk sampah yang melaju kencang di ruas jalan itu.

Adegan mengerikan itu membuat dia batal menemui si kepala monyet dan kawan-kawannya. Pada saat itu juga muncul di hadapannya beberapa utusan dewa langit, yang menyampaikan pesan, “Semua itu telah engkau saksikan. Nasibmu pun tak akan berbeda jauh dari nasib mereka itu. Bahkan engkau sendiri akan mengalami yang lebih mengerikan daripada apa yang mereka alami.”

Mendengar itu kepalanya langsung nyut-nyut. Sakit kepala itu yang membangunkan dia dari tidur lelapnya di gua itu. Hari sudah terang ketika si Dedeking melangkah keluar meninggal gua itu, meninggalkan pantai tempat dia biasa menyendiri. Tapi langkah kakinya pagi ini sungguh goyah. Dan dia berjalan dengan kepala yang terus menunduk. ***