Jumat, 05 Juni 2009

Ceritera tentang kesedihan si Resekel

 

Pembuangan si mantan panglima negeri Serolf Rumit dan beberapa mantan anak buahnya ke suatu pulau terpencil itu menimbulkan kesedihan di antara rekan-rekan seperjuangannya. Turut bersedih adalah si Resekel, si monyet pandai mencuri. Si Resekel bersedih, karena kehilangan seorang tokoh yang selama ini gampang diatur untuk menuruti kemauannya. Dia merasa kehilangan besar. Dia pun bingung, dan merasa takut. Dalam keadaan seperti itu, si Resekel sempat bertanya dalam hatinya, “Siapa lagi yang dapat melindungi saya?”

Karena takut, si Resekel lebih sering menyembunyikan diri. Di tempat persembunyiannya dia lebih sering termenung lesu. Hanya sesekali, ketika kota diliputi sunyi sepi, dia keluar dari pesembunyiannya, sekedar untuk melihat-lihat keadaan kota, tempat dia biasa beroperasi. Tapi itu pun dia lakukan secara sembunyi-sembunyi dari dahan pohon yang tinggi, agar keberadaannya tidak terpantau oleh penduduk kota. Untuk sementara, dia memutuskan untuk tidak berkontak langsung dengan manusia, karena dia takut diusir atau dibuang ke pulau terpencil, mengikuti jejak mantan panglima negeri Serolf Rumit dan beberapa anak buahnya itu. Selain itu dia takut ditangkap lalu dikerangkeng.

Kesedihan si Resekel bertambah ketika dia ingat akan empat orang temannya yang sedang dikerangkeng di markas prajurit negeri Serolf Rumit. Ada keinginan dalam dirinya untuk membesuk keempat rekannya itu, tapi ketakutan menghalangi langkahnya menuju markas itu. Soalnya di markas itu si Resekel dikenal sebagai monyet pembawa malapetaka bagi manusia. Demi melindungi martabat luhur manusia, panglima yang baru memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk melakukan penjagaan superketat untuk mencegah masuknya monyet itu ke markas. Bahkan perintah untuk memburu dan menangkap si Resekel dan rekan-rekannya pun sudah dikeluarkan oleh panglima negeri Serolf Rumit.

Setelah mengetahui adanya perintah itu, si Resekel bertambah sedih. Karena takut ditangkap, dia memutuskan untuk tinggal di suatu pohon besar dekat kampung Ibotupe. Sebagian harta benda hasil curiannya dia sembunyikan di suatu gua di lereng gunung Iridinam. Sebagian lainnya dia bawa ke Ibotupe dan dititip di tempat persembunyian rekan-rekannya di sana. Tetapi pohon besar yang dia incar itu ternyata sudah tumbang. Maka untuk sementara dia tinggal di persembunyian rekan-rekannya, yang terletak di suatu pojok di kampung Ibutupe.

Tetapi sejak hari pertama kedatangannya di tempat persembunyian itu, dia merasa seperti hidup di dalam bara api. Padahal suhu udara di Ibotupe terbilang dingin. Di situ, setiap hari terjadi pertengkaran yang dapat berujung pada maut. Pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi di situ dipicu oleh perebutan makanan di antara mereka. Monyet-monyet kecil seringkali kelaparan, karena tak bisa bersaing dalam perebutan makanan itu. Persediaan makanan mereka makin berkurang dari hari ke hari. Makin lama mereka makin sulit memperoleh makanan baru, karena ruang gerak mereka sangat terbatas. Apalagi di sekitar persembunyian mereka pun berkeliaran ular-ular berbisa dan binatang-binatang pemangsa lainnya yang sering mengancam nyawa mereka.

Keadaan semacam itu membuat si Resekel stress berat dan nyaris gila. Sejak tinggal di situ, dia sering mengomel-ngomel sendiri tanpa alasan yang jelas. Kadang-kadang dia pun berteriak ke sana kemari tanpa alasan yang jelas pula. Timbul maksud dalam dirinya untuk meninggalkan tempat persembunyian yang penuh dengan kekacauan itu. Tapi rasa takut menghalangi langkah kakinya untuk keluar dan meninggalkan tempat persembunyian itu. Dia terpaksa tinggal di tempat yang penuh risiko itu.

Suatu malam, setelah seharian bermenung ria, dia tidur pulas. Dalam kepulasan tidurnya itu dia bermimpi bertemu dengan mantan panglima yang sudah sepenuhnya menjadi monyet itu. Mereka berada di suatu lorong di kota, tempat mereka dulu biasa bertemu dan melakukan transaksi-transaksi gelap. Di situ dulu mereka biasa bercanda gurau setelah membagi-bagi hasil jarahan mereka. Di situ dulu mereka biasa menikmati berbotol-botol anggur yang dibeli dari uang hasil curian.

Tetapi pertemuan kali ini adalah pertemuan yang sangat hambar dan menimbulkan rasa takut yang luar biasa besar dalam diri si Resekel. Dalam pertemuan kali ini, si mantan panglima itu menuntut balas atas segala kejahatan yang pernah dilakukan oleh si Resekel. Karena amarah, yang tidak dapat dikendalikannya, si mantan panglima itu mencabut sepucuk pistol dari sarung di pinggangnya, dan menodongkan senjata genggam itu tepat di jidat si Resekel. Moncong senjata itu sempat menimbulkan rasa nyeri di jidat si Resekel. Untung bahwa si mantan panglima itu tidak langsung menarik pelatuk pistolnya, sehingga kepala si Resekel pun tidak dihancurkannya. Tetapi ancaman si mantan panglima itu membuat si Resekel menjadi sangat ketakutan.

Mimpi itu membuat dia mengurungkan niatnya untuk pergi ke kota. Padahal dia sudah berencana pergi ke kota untuk menengok sebagian harta benda hasil curiannya yang disembunyikannya di dekat kota Tukanai.

Tetapi suasana di tempat persembunyian itu pun dirasa semakin tidak menentu. Tempat persembunyian para monyet itu pun kini dikepung oleh anjing-anjing pemburu yang dikerahkan oleh masyarakat Ibotupe. Keadaan ini membuat si Resekel semakin merasa sedih. ***