Kamis, 20 Januari 2011

Gara-gara terlibat kasus Blou, ada yang nyaris bangkrut

 

Ada yang nyaris bangkrut. Gara-gara apa? Ya, gara-gara bertekad keras untuk menutup-nutupi kasus pembunuhan yang terjadi di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Padahal selama ini dia sempat bersuara lantang berkoar tentang penghasilannya yang konon puluhan juta rupiah per bulan. Dan mungkin karena itu, dia pun dengan congkak melecehkan orang lain yang dianggapnya berpenghasilan kecil. Dia lupa bahwa waktu terus berlalu, dan perubahan demi perubahan terus terjadi. Orang yang dulunya tidak berduit bisa jadi kini berduit, dan sebaliknya.

Sebelum dan ketika terjadi pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran kantongnya masih dipenuhi dengan lembaran-lembaran rupiah.  Sebelum meletus kebiadaban yang dilakoni oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya, dia dengan mudah mensponsori pertemuan-pertemuan yang dirancang untuk melaksanakan pembunuhan dan untuk menutup-nutupinya. Rumahnya pun sempat dijadikan tempat serangkaian pertemuan. Pertemuan-pertemuan di rumahnya itu secara rutin dihadiri oleh beberapa orang. Salah seorang di antara mereka memposisikan diri sebagai pengamat Lewoingu. Kelompok tersebut sempat tampil solid. Tetapi setelah meletus kasus Blou, kelompok itu berangsur buyar, kemudian lenyap. Kini rumahnya sunyi sepi. Dan si empunyanya pun kian terisiolasi dari lingkungan sosial yang sebelumnya menerimanya dengan tangan terbuka. Tampilannya di muka umum jauh merosot. Padahal sebelumnya dia sering tampil meyakinkan. Keterlibatannya dalam kejahatan di Blou telah mengubah penampilannya.

Ketika kantongnya masih tebal, tak segan-segan dia mensponsori perjalanan pion-pion yang bersekutu dengannya untuk menutupi kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Ketika kantongnya masih tebal, dengan mudah dia mengucurkan sebagian isinya ke oknum-oknum nakal yang mau bekerja sama dengannya untuk menutupi kasus pembunuhan tersebut. Dan kiranya dia pun sempat menjadi ATM bagi sejumlah oknum nakal yang selama ini begitu getolnya berusaha menekan dan mengintimidasi pihak keluarga korban pembunuhan tersebut. Dengan uang dia sempat merasa yakin bahwa penanganan kasus pembunuhan tersebut dapat dia setir sesuka hatinya. Tetapi upayanya untuk menutupi kejahatan tersebut mulai berbalik menjadi bumerang yang menyiksa dirinya sendiri. Padahal banyak uang terlanjur telah dikeluarkannya untuk mensukseskan upaya penutupan kasus kejahatan tersebut. Untuk kepentingan jahat tersebut tanah miliknya pun terpaksa dilego.

Setelah proyek-proyeknya berhenti berjalan, isi kantongnya menipis drastis dan dia nyaris bangkrut. Kini dia hidup dari penghasilan yang kecil. Padahal biaya kehidupan sehari-hari terus melambung. Dengan penghasilan yang kecil, dia tak bisa lagi mengucurkan uang untuk menutupi kasus kejahatan tersebut. Ya, uang tak dapat lagi diandalkan olehnya untuk meloloskan diri dari jerat hukum. Dan tampaknya dia pun kini terpaksa menghitung hari penghakimannya, entah secara legal formal, entah secara lain. Waktu semakin memperjelas tentang peranannya dalam peristiwa pembunuhan yang terjadi di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 itu.

Siapakah yang akan menolong dia untuk keluar dari penghakiman yang bakal menimpanya? Yang jelas dia akan menuai hasil dari kejahatan yang selama ini dia taburkan di bumi Lewoingu. ***