Selasa, 06 Maret 2012

Siapa yang mengancam saksi peristiwa pembunuhan itu?

Dari suatu sumber terkuak suatu informasi penting. Tentang apa? Tentang ancaman terhadap saksi peristiwa pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam, 30 Juli 2007 di Blou yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Segera setelah berhasil membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran, Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng serta anggota-anggota komplotan kriminal mereka mengancam Petrus Naya Koten. Kepada Petrus Naya Koten para pelaku pembunuhan tersebut mengancam: “Jika kamu menceriterakan apa yang kamu saksikan itu, kamu dan anggota-anggota keluarga kamu akan dihabisi.” Ancaman itu membuat Petrus Naya Koten memendam kejahatan yang disaksikannya di Blou selama hampir sembilan bulan. Ketika dimintai keterangan di Polres Flores Timur pada hari Kamis, 17 April 2008, baru dia mau membuka mulut tentang apa yang disaksikannya di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007.

Pada tanggal 30 Mei 2008, Petrus Naya Koten dengan senang hati menuturkan kesaksiannya itu kepada salah seorang anggota keluarga korban. Setelah mampu mengungkapkan isi hatinya tentang perbuatan sangat keji yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu dia pun merasa plong. Ketika itu dia pun sempat mengemukakan harapannya agar kasus kejahatan tersebut cepat diproses agar beban batinnya dapat menjadi enteng. Sebelumnya batinnya menanggung beban berat. Isi hatinya itu dapat dia ungkapkan setelah dia mendapat perlindungan polisi. Dalam perlindungan polisi, dia merasa aman.

Memang mulanya dia merasa enggan untuk mengungkapkan apa yang disaksikannya di Blou pada malam kejadian perkara. Setelah tahu bahwa keamanannya dijamin, maka dia pun lantas dengan lancar bertutur tentang apa yang diketahuinya di Blou pada malam kejadian perkara. Ya, dia hadir di tempat kejadian perkara. Dia melihat apa yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan tiga anak Lamber Liko Kumanireng lakukan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Kehadirannya di tempat kejadian perkara itu dikonfirmasi oleh seseorang yang berstatus sebagai saksi petunjuk. Sebelum berada di tempat kejadian perkara utama di Blou, dia berada di pertigaan Wairunu-Bokang. Di situ dia sempat meminta bantuan seorang pemotor untuk mengantarnya ke Bokang. Tetapi permintaannya itu ditolak. Petrus Naya Koten sendiri pernah mengakui bahwa dia yang menjemput Yoakim Gresituli Ata Maran di Bokang pada malam kejadian perkara itu. Tetapi dia belum mengungkapkan secara jelas siapa saja yang mengawal dia hingga sampai ke Bokang. Yang jelas ada dua sepeda motor yang mengawalnya hingga ke Bokang pada malam itu.

Tetapi mengapa Petrus Naya Koten kemudian mau menarik kembali keterangannya dari Berita Acara Pemeriksaan? Jawaban atas pertanyaan ini mudah ditemukan. Setelah memberi keterangan tentang apa yang disaksikannya di Blou, dia mendapat banyak tekanan. Tekanan itu antara lain datang dari Andreas Boli Kelen. Tekanan dari si Andreas Boli Kelen itu muncul dalam bentuk ancaman pemecatan. Tekanan terhadapnya juga datang dari tersangka. Itu terjadi pada suatu kesempatan ketika Petrus Naya Koten berada bersama empat orang yang berstatus sebagai tersangka. Pada kesempatan itu, salah seorang tersangka yaitu Laurens Dalu Kumanireng mendesak Petrus Naya Koten untuk menarik kembali keterangannya. Kepada Petrus Naya Koten, si tersangka itu berkata, “Tarik kembali keteranganmu, kalau tidak kita akan mendapat hukuman berat.”

Bertubi tekanan datang kepada Petrus Naya Koten, ketika dia tinggal di Weri, Flores Timur. Di situ dia didesak untuk menandatangani surat penarikan kembali keterangannya. Dengan penuh semangat San Kweng membawa surat yang sudah ditandatangani oleh Petrus Naya Koten itu ke Polres Flores Timur. Tampak di situ bahwa San Kweng pun terlibat langsung dalam upaya tersebut. Perlu juga diketahui bahwa San Kweng adalah orang yang pada hari Senin siang, 30 juli 2007, tak lama setelah Yoakim Gresituli Ata Maran meninggalkan Eputobi menuju Lato, muncul di rumah keluarga Ata Maran di Eputobi. Siang itu dia mencari Yoakim Gresituli Ata Maran. Setelah mengetahui bahwa orang yang dicarinya tidak berada di rumah itu, dia pamit pergi dari situ. Keesokan harinya setelah tubuh Yoakim Gresituli Ata Maran dibaringkan sebagai jenazah di rumah itu, San Kweng muncul lagi di situ. Di hadapan jenazah orang yang kemarin dicarinya itu, dia berisak tangis. Dalam isak tangisnya dia mengeluarkan kata-kata, “Maafkan saya Kene’. Saya terlambat.” Tidak jelas apa persisnya arti kata-katanya itu. Yang jelas, selama ini dia berada digaris depan dalam menggalang aksi membela kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Dalam aksi semacam itu dia berjubahkan PADMA INDONESIA.

Setelah berhasil digarap untuk menarik kembali keterangannya, Petrus Naya Koten berada di bawah pengawasan dan perlindungan ketat kubu penjahat Eputobi. Di kubu itu dia diterima dengan penuh sukacita sebagai kompensasi atas jasanya memungkinkan para tersangka masih bebas berkeliaran di masyarakat setempat. Apakah dia merasa senang dan tenang dengan situasi semacam itu? Jelas tidak. Itu tampak dari sikap dan perilakunya yang serba kikuk. Beban batin yang tadinya sudah coba diringankannya kini semakin menekannya. Dia sendiri memperlihatkan dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari komplotan penjahat yang dikepalai oleh Mikhael Torangama Kelen. Semoga di suatu hari nanti dia kembali menemukan kekuatan dan kemampuan untuk mengungkapkan kebenaran yang membebaskan dia dari belenggu kejahatan itu. ***