Sabtu, 14 April 2012

Lebih Cepat Jujur Lebih Baik

Lebih cepat lebih baik. Lebih cepat jujur lebih baik. Kata-kata ini saya gunakan sebagai suatu imbauan kepada para pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran untuk mengakui secara terus terang perbuatan sangat keji yang mereka lakukan di Blou, Flores Timur, pada Senin malam, 30 Juli 2007. Mikhael Torangama Kelen yang menjadi kepala komplotan pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran diharapkan segera berinisiatif untuk berkata secara jujur tentang apa yang diperbuatnya di Blou pada malam hari tersebut. Terus bertahan dalam dusta untuk suatu perkara kejahatan yang sudah sedemikian jelas ujung pangkalnya itu akan menjadi bumerang yang dapat membinasakan para pelakunya. Kian terbuka fakta-fakta bahwa Mikhael Torangama Kelen adalah orang yang memimpin aksi pembunuhan di Blou. Kian lama kian jelas siapa saja yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan tersebut. Juga kian jelas tampak sosok-sosok orang yang mengetahui kasus pembunuhan tersebut, tetapi hingga kini mendiamkannya.  Kian lama kian tak berguna jurus dusta yang selama ini diandalkan oleh para pelaku kejahatan itu. Dusta demi dusta yang selama ini digunakan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu akan memukul balik diri mereka sendiri.

Dengan mengingkari perbuatan jahat yang mereka lakukan di Blou, Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya berusaha menipu dan menyesatkan masyarakat Lewoingu dan sekitarnya. Tetapi syukurlah, mayoritas warga Lewoingu dan masyarakat sekitarnya tidak mau ditipu dan disesatkan oleh para penjahat itu. Tinggal segelintir orang sangat bebal yang membiarkan diri mereka terus ditipu dan disesatkan serta dibodohi oleh orang-orang jahat itu. Mereka terdiri dari orang-orang yang sehari-hari berada dalam komunitas kriminal di Eputobi, dan orang-orang dari keluarga serta handai taulan mereka yang berada di luar kampung Eputobi. Tetapi diragukan apakah mereka akan tetap kompak membela kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan. Jika mereka membiarkan diri mereka untuk terus dibodohi dan disesatkan oleh Mikhael Torangama Kelen, mungkin saja mereka pun akan tetap setia membela kejahatan yang dilakukannya. Waktu akan memperjelas, siapa saja dari kalangan mereka yang mau bertobat, dan siapa saja yang tidak mau bertobat.

Yang menarik untuk diperhatikan ialah bahwa, sejak sekian waktu lalu, di antara sesama pelaku pembunuhan itu pun mulai terjadi kekurangkompakan. Salah satu faktor pemicu kekurangkompakan di antara mereka ialah uang puluhan juta rupiah yang pernah digelontorkan, katanya, untuk membayar pengacara yang membela para tersangka. Tetapi hingga kini belum jelas berapa persis angka yang disetorkan ke kantong si pengacara dan berapa angka yang dipakai untuk urusan lain-lainnya. Terkait dengan uang puluhan juta rupiah itu, Mikhael Torangma Kelen dituding belum membuat rincian pertanggungjawaban penggunaannya. Yang belum jelas ialah berapa uang yang berasal dari kantong Mikhael Torangama Kelen sendiri yang dipakainya untuk mensukseskan pelaksanaan proyek kejahatan itu, termasuk untuk proyek pembodohan dan penyesatan orang-orang dari komunitasnya. Yang jelas, uang merupakan tali perekat persatuan di antara mereka, sehingga dapat terbentuk suatu komunitas kriminal, yang hingga kini coba mereka rawat. Tetapi tampaknya uang itu pula yang dapat membuat mereka saling bertikai. Di mana ada uang, di situ orang-orang biasa saling sikut guna memperebutkannya. Dan bila hasilnya adalah ketidakadilan, maka orang-orang pun akan  mempersoalkannya. Di mana ada uang, di situ biasanya  iblis pun ikut bermain.

Dari ketidakpuasan karena belum ada pertanggungjawabannya, tampak posisi dan peranan Mikhael Torangama Kelen dalam proyek kriminal tersebut. Selain berposisi sebagai kepala, dia juga berposisi sebagai bendahara proyek kriminal tersebut. Dan sesuai dengan posisi-posisinya itulah dia berperan. Celakanya, orang yang berposisi sebagai kepala dan bendahara proyek pembunuhan di Blou itu pun berposisi sebagai kepala desa Lewoingu. Selama dia menjadi kepala desa Lewoingu, Lewoingu menjadi desa yang tak lagi punya wibawa, bahkan menjadi desa yang terkutuk. Dari orang semacam itu sangat sulit diharapkan adanya suatu pertanggungjawaban yang jujur perihal penggunaan uang proyek kriminal tersebut. Tampak jelas bahwa nasi sudah menjadi bubur, dan bubur tak bisa menjadi nasi lagi. Yang tinggal kini adalah penyesalaan dan kekesalan yang tak berguna pada diri mereka yang merasa tidak puas itu.

Puas atau tidak puas, suka atau tidak suka, semua pelaku pembunuhan tersebut ditantang untuk berani jujur atau tidak untuk mengakui perbuatan sangat keji yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007. Nasib hidup anda di masa depan tergantung dari pilihan anda. Tetapi para bijak mengatakan bahwa menjadi orang yang jujur itu terhormat sebagai manusia. Sedangkan ketidakjujuran adalah suatu bentuk ketidakadaban yang merendahkan martabat anda sebagai manusia. Para leluhur Lewoingu mengajarkan bahwa kesenangan para pembunuh itu hanya sesaat, lalu akan segera berganti dengan mala petaka yang membinasakan diri mereka.  Begitu pula akibat dari ketidakjujuran. Lebih cepat jujur itu lebih baik bagi kalian ketimbang kalian terus bertahan dalam dusta. Apakah kalian menunggu hingga langit menurunkan kekuatan pemungkasnya untuk memaksa kalian untuk jujur? ***