Selasa, 08 Juli 2008

Orang-orang yang tidak berhatinurani


Setelah membaca kisah penganiayaan yang dialami oleh Yoakim Gresituli Ata Maran (Akim Maran), dan terutama setelah menyaksikan sendiri seperti apa ulah tingkah empat pelakunya yang ditahan di Polres Flores Timur, ada saja orang yang menyatakan rasa jijik mereka. Mereka jijik melihat sikap angkuh penjahat-penjahat Eputobi itu. Mereka juga merasa jijik ketika melihat salah seorang penjahat yang tangannya diborgol tapi malah tertawa. "Mereka itu tidak tahu malu." Begitu kata-kata yang sempat terlontar dari mulut sejumlah orang yang menyaksikan adegan itu.

Sebelumnya seorang rohaniwan sempat menyinggung bahwa di kampung Eputobi terdapat pembunuh berdarah dingin. Setelah membunuh orang, mereka merasa tenang-tenang saja, mereka tidak merasa bersalah. Padahal kejahatan yang mereka lakukan adalah kejahatan sangat besar. Membunuh orang yang tidak bersalah adalah suatu perbuatan yang amat sangat biadab.

Yang jadi pertanyaan ialah, "Dari mana datangnya kebiadaban yang amat sangat itu?" Tentu tidak dari mata lalu turun ke hati, karena di situ orang tak lagi bermain dengan hati. Kebiadaban semacam itu justru menunjukkan adanya orang-orang yang amat sangat biadab. Dan mana ada orang amat sangat biadab yang mampu melakukan sesuatu berdasarkan hati nuraninya. Kiranya jelas bahwa para pembunuh Akim Maran adalah orang-orang yang telah kehilangan hati nurani mereka masing-masing. Karena itu rasa kemanusiaan pun tak lagi ada dalam diri mereka. Mereka mengalami mati rasa. Maka mereka pun merasa bangga akan kejahatan yang telah mereka lakukan pada Senin malam, 30 Juli 2007 itu. Kematian orang yang tidak bersalah itu bahkan sempat mereka rayakan sebagai suatu pesta kemenangan politik. Lalu mereka pun berusaha untuk menutup-nutupi perbuatan jahat mereka itu dengan segala macam cara. Untuk itu pula, tiada hentinya mereka ulang-alik mencari dukun yang mau diajak untuk berkomplot dengan mereka. Jelas, bahwa kebiadaban yang sangat mengerikan itu datang dari orang yang tak lagi berhatinurani.

Sungguh memprihatinkan bahwa di suatu kampung kecil bernama Eputobi di Lewoingu, Flores Timur, telah tumbuh komplotan penjahat. Kepala kompolotan itu kini meringkuk di tahanan Polres Flores Timur. Selain empat orang yang kini telah dijadikan tersangka utama, anggotanya terdiri dari oknum-oknum aparatur desa Lewoingu dan sejumlah orang kampung yang telah kehilangan hati nurani mereka masing-masing. Selama masa pemerintahan Mikhael Torangama Kelen (2000-2007), di desa Lewoingu, mereka itu memperoleh keuntungan finansial, baik melalui proyek-proyek tertentu maupun melalui praktek-praktek korupsi. Para pendukung dan simpatisan mereka terdiri dari para praktisi black magic dan orang-orang miskin. Karena miskin, hati mereka gampang ditaklukkan dengan uang dan bantuan-bantuan material lain. Padahal bantuan-bantuan itu bukan berkat jasa pemerintah desa Lewoingu.

Meskipun kecil nilainya, tetapi barang-barang material itu rupanya lebih bernilai bagi mereka ketimbang nilai seorang anak manusia. Maklum, mereka sering berada dalam keadaan terdesak dalam hal ekonomi. Sehingga mereka pun ikut-ikutan mengidolakan seorang penjahat sebagai dewa penolong. Bersama para penjahat itu mereka akhirnya terus menapaki lorong-lorong gelap di kampung Eputobi hingga kini. Di antara mereka, ada pula yang kini ikut-ikutan berharap-harap cemas agar si penjahat itu cepat dibebaskan, biar dia dapat tampil lagi sebagai dewa penolong. Karena itu, mereka pun berusaha keras untuk ikut menutup-nutupi kejahatan besar yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan itu. Tanpa disadari, mereka pun menjadi bagian dari kawanan penjahat itu.

Komplotan penjahat itu terbentuk berdasarkan nasihat dari si tokoh intelektual. Biaya operasional sehari-hari disuplai oleh si penyandang dana. Dukungan politik, mereka peroleh dari oknum elite politik tertentu. Sejak tahun 2006, si tokoh intelektual sibuk membolisasi dukungan. Sejak tahun itu pula si penyandang dana sudah menyebarkan fitnah tentang Akim Maran hingga ke Larantuka. Dia memfitnah Akim Maran sebagai pengacau di kampung Eputobi. Fitnah itu pun sempat sampai ke seorang kepala sekolah dan elite politik tertentu di kota Larantuka. Sedangkan si elite politik merasa keki karena salah satu permainannya diketahui. Melalui jalur tertentu si elite politik menjadi dekat dengan si penyandang dana. Lama kelamaan mereka menjadi sohib dan saling membutuhkan. Bertiga, mereka adalah otak di balik pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam, 30 Juli 2007.

Memang menarik juga kalau kita mencermati perilaku mereka. Keterlibatan tiga orang itu sebagai otak kejahatan tersebut secara jelas memperlihatkan bahwa sekolah yang tinggi tidak berkorelasi dengan kepribadian yang baik. Demikian pula usia yang bertambah tua tidak berkorelasi dengan kebijaksanaan. Kasus kejahatan itu secara gamblang menuturkan kepada kita bahwa pendidikan tinggi yang pernah dikenyam secara formal oleh seseorang tidak menjadi garansi baginya untuk memperoleh kebeningan hati nurani. Yang lulusan perguruan tinggi tidak selalu lebih berhati nurani ketimbang seorang buta huruf di kampung Eputobi. Jelas sekali, bahwa hati mereka telah digelapgulitakan oleh nafsu mereka akan kekuasaan dan harta. Dalam hati mereka yang gelap akhirnya bercokol iblis demi iblis.

Hati yang gelap adalah hati tanpa nurani (hati tanpa terang, tanpa cahaya). Hati sebagai inti kepribadian mereka masing-masing tidak lagi memancarkan terang atau cahaya ilahi. Sehingga perilaku mereka pun tidak lagi didasarkan pada hukum moral, yaitu pedoman tentang baik buruk manusia sebagai manusia.

Orang yang berhatinurani, tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Dia sadar betul bahwa yang baik harus dilakukan, sedangkan yang buruk tidak boleh dilakukan. Seandainya dia pun melakukan yang buruk, dia mau mempertanggungjawabkannya. Sebagai manusia, dia merasa malu untuk melakukan yang buruk atau pun yang jahat.

Di seluruh dunia terjadi bahwa orang-orang yang tidak berahtinurani yang menjadi pengacau. Di mana mereka berada di situ terjadi kerusakan-kerusakan yang besar. Di mana mereka berada di situ terjadi kejahatan demi kejahatan. Karena tidak berhatinurani, mereka pun mampu melakukan kejahatan-kejahatan yang amat sangat mengerikan.

Di suatu kampung kecil bernama Eputobi, di Lewoingu, di Flores Timur, orang-orang yang tidak berhatinurani, selain mengacaukan kehidupan sehari-hari, juga melakukan kejahatan yang amat sangat mengerikan pada Senin malam, 30 Juli 2007. Karena iri hati dan benci, mereka membunuh orang yang tidak bersalah apa-apa, yaitu Yoakim Gresituli Ata Maran. Yang terlibat dalam kejahatan itu bukan hanya orang-orang kampung yang bersekolah rendah, tetapi mereka yang bersekolah tinggi.

Mereka itulah yang kini menjadi musuh utama masyarakat beradab di seluruh kawasan Lewoingu dan sekitarnya. Siapa pun mereka harus kita hadapi. Kita punya tekad yang sangat bulat untuk menghancurkan seluruh basis kekuatan mereka satu per satu. Kejahatan tak boleh dibiarkan merajalela. ***