Sabtu, 18 April 2009

18 April Satu Tahun Yang Lalu

 

18 April satu tahun yang lalu jatuh pada hari Jumat. Pada hari itu, masyarakat Eputobi, Riang Duli, Riang Kung, Lewolaga, dan Bokang menjadi saksi penangkapan atas Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng. Mereka ini ditetapkan sebagai tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Peristiwa pembunuhan itu terjadi pada Senin malam, 30 Juli 2007 di Blou.

Penangkapan keempat orang itu dilakukan berdasarkan alasan yang cukup, yaitu berdasarkan keterangan dua orang saksi. Yang satu saksi kunci, yaitu Petrus Naya Koten. Dan yang lain adalah saksi pendukung yang tak perlu saya sebutkan namanya di sini.

Pada malam kejadian itu, Petrus Naya Koten alias Pite Koten alias Pendek Pite memainkan peranan penting. Tanpa partisipasi aktifnya dalam proyek pembunuhan itu, ceriteranya menjadi lain. Dia adalah Yudas Iskariot yang menjual Yoakim Gresituli Ata Maran kepada Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Beberapa bulan setelah kejadian tersebut, dia pun memperoleh uang sebanyak Rp 500.000 (lima ratus ribu rupiah) dengan cara memeras keluarga korban. Isterinya bernama Vero Hayon terlibat dalam proyek pemerasan itu. Setelah memperoleh uang darah itu, dia sempat linglung dan duduk terpekur sendirian di malam hari pada kubur ibu Waha Koten.

Setelah diperiksa di Polres Flores Timur pada hari Kamis, 17 April 2008, Pite Koten diinapkan di sana. Ini yang membuat Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya berlaku seperti cacing kepanasan pada Kamis malam itu. Memang aneh. Pite Koten yang menginap di Polres Flores Timur, kok mereka yang lain itu yang panik dan ketakutan. Memang sejak awal kejadian, Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya mengawasi secara ketat mulut dan perilaku sehari-hari Pite Koten. Mereka takut kalau Pite Koten kelepasan ngomong, lalu terbongkarlah rahasia kejahatan mereka bersama  di Blou itu. Ma Kumanireng yang kini menjadi narapidana pernah memukul salah seorang anak dari suku Kebele’eng Kelen, karena anak itu memberi isyarat untuk membuka rahasia itu.

Dalam rangka menghadapi panggilan polisi, pagi-pagi Lambertus Liko Kumanireng sudah bertandang ke rumah Pite Koten untuk membisikkan omongan-omongan tertentu kepadanya. Pite Koten juga dilibatkan dalam rapat yang dipimpin oleh Mikhael Torangama Kelen. Dalam rapat itu Mikhael Torangama Kelen mengarahkan anggota-anggota komplotannya untuk mengatakan tidak tahu, jika penyidik menanyakan kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran. Informasi itu diperoleh dari Pite Koten.

Apa yang terjadi pada Yoakim Gresituli Ata Maran sehingga dia pun tewas di Blou diceriterakan dengan jelas oleh Pite Koten, meskipun dia sendiri tidak dapat menyebutkan satu per satu nama setiap orang yang hadir dan terlibat dalam peristiwa pembunuhan itu. Tetapi nama empat orang yang dijadikan tersangka itu dia sebut secara eksplisit. Selain itu satu nama lagi pun sempat terungkap juga.

Kesaksian Pite Koten itu didukung oleh saksi pendukung. Maka penangkapan atas Mikhael Torangama Kelen dan tiga anak Lamber Liko Kumanireng itu pantas dilakukan. Penangkapan yang terjadi pada hari Jumat, 18 April 2008 itu disertai ratap tangis anggota-anggota keluarga tersangka. Evi Kumanireng yang biasa bermulut tajam, pada hari itu tidak berkutik. Dia menangis tersedu-sedu menyaksikan suaminya diciduk polisi dan dinaikkan ke dalam mobil tahanan. Setelah duduk dalam mobil tahanan, si Mikhael Torangama Kelen sempat berkata bahwa dia pergi bersama lewotana (kampung halaman). Entah lewotana mana yang mendukung kejahatan yang dia lakukan.

Dari segi adat Lewoingu, Mikhael Torangama Kelen itu berasal dari lapisan yang tidak memiliki otoritas dan wewenang adat. Sejak zaman dulu, nenek moyang yang menurunkannya sudah berulah tidak sopan di kampung lama, dalam upacara adat. Maka tak mengherankan bila nenek moyangnya itu pun diusir dari namang (pelataran di antara dua komunitas Lewoingu). Untuk menyelamatkan diri mereka berlindung ke Lewolein. Itulah sebabnya, mereka itu pun tinggal bersama Lewolein di Riang Duli.  Karena bapaknya menjadi kepala sekolah di Eputobi, mereka tinggal di Eputobi dan menumpang di tanah milik Ata Maran. Dengan cara licik, hak atas tanah itu ingin mereka ambil-alih. Tetapi upaya itu tidak akan dibiarkan terus terjadi. Tanah itu tidak layak diperuntukkan bagi orang yang tidak tahu diri. Tiga kubur yang terletak di tanah itu harus segera dibongkar juga. Kubur itu harus dipindahkan segera ke tanah milik Mikhael Torangama Kelen. Anda tidak punya hak apa pun atas tanah itu.

Setelah empat tersangka itu ditangkap, pada hari Jumat sore hingga malam, para warga masyarakat beradab di kampung Eputobi melakukan ronda sekaligus mengawasi gerak-gerik Lambertus Lagawuyo Kumanireng. Pada siang dan malam hari itu Lambertus Lagawuyo Kumanireng sangat ketakutan. Dia takut ditangkap juga. Malam hari dia baru muncul di rumahnya. Sejak mulai gelap dan pada malam itu rumahnya sepi dan gulita. Karena koordinasi yang lemah, Lambertus Lagawuyo Kumanireng tidak jadi ditangkap. Padahal orang ini pun perlu ditangkap.  

Setelah penangkapan Mikhael Torangma Kelen, dalam acara makan bersama di rumah suku Kumanireng Blikololong, Lambertus Lagawuyo Kumanireng bilang begini, “Kita harus makan yang banyak supaya saya tidak ditangkap polisi.” Karena panik dan ketakutan, orang ini menempuh segala macam cara untuk menutup perbuatan jahatnya bersama Mikhael Torangama Kelen dkk. Selain Mikhael Torangama Kelen, orang ini menjadi salah satu operator lapangan dari ide-ide yang ditelorkan dari pulau seberang. Untuk sementara, dia berhasil menghindari diri dari cidukan polisi. Tapi cepat atau pun lambat dia akan terkena jerat hukum juga. Pokoknya banyak hal menarik akan terjadi di Eputobi di hari-hari mendatang.***