Sabtu, 18 April 2009

Melawan Kejahatan, Siapa Takut?

 

Menentang atau melawan kejahatan dalam diri sendiri dan dalam masyarakat merupakan salah satu tugas utama orang beragama. Dalam pembaruan janji baptis pada Malam Paskah, umat katolik menyatakan sanggup melawan kejahatan tersebut. Apakah janji tersebut pun diperbarui oleh kepala komplotan penjahat Eputobi dan anggota-anggota komplotannya, yang hadir dalam upacara Malam Paskah yang baru lalu? Apakah janji tersebut pun diperbarui oleh penyandang dana dan aktor intelektual mereka?

Jawabannya: hanya Tuhan yang tahu. Yang jelas, sejak meletusnya peristiwa pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam, 30 Juli 2007, Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya menjadi penakut. Mereka takut ditangkap oleh polisi. Mereka takut akan kejahatan yang mereka lakukan. Mereka takut melawan kejahatan yang terjadi dalam diri mereka dan dalam masyarakat mereka.

Karena takut, maka mereka pun berusaha menempuh segala macam cara untuk menghindari diri dari tanggungjawab hukum. Salah satu pentolan mereka, bernama Donatus Doni Kumanireng, sempat tampil sebagai corong yang sengit menyuarakan kebohongan-kebohongan guna menutupi kejahatan tersebut. Dia termasuk orang yang sangat takut melawan kejahatan yang terjadi dalam dirinya sendiri dan yang terjadi dalam masyarakat Eputobi. Kini seluruh lapisan masyarakat beradab di seluruh kawasan Lewoingu, juga di Flores Timur sedang menanti datangnya hari penghakiman baginya. Ya, setelah rekan seperjuangannya, Andreas Boli Kelen dijadikan calon narapidana, para pemerhati kasus Blou pun berharap agar si corong dusta itu menjalani proses hukum.

Kelambanan cara kerja aparat kepolisian Polres Flores Timur dalam menangani perkara pembunuhan tersebut memberi kesempatan yang luas kepada si corong itu untuk berkoar-koar menyebarkan kebohongan demi kebohongan guna menutupi kasus kejahatan tersebut. Dengan congkak dia menyebarkan fitnah dan penghinaan yang luar biasa hebat terhadap pihak keluarga korban dan para leluhur Ata Maran. Padahal tanpa bantuan dan perlindungan Ata Maran, tidak ada sama sekali ceritera tentang Kumanireng Blikololong. Tanpa Ata Maran, mustahil Kumanireng Blikololong menjadi salah satu kebele’eng di Lewoingu.

Untung bahwa sebagian anggota suku Kumanireng Blikololong masih ingat akan sejarah persaudaraan (hubungan kekeluargaan) antara Ata Maran dan Kumanireng Blikololong. Tetapi si corong dusta itu dengan sengaja melupakannya. Lupa sejarah membuat orang berlaku seenak-enaknya sendiri. Lupa sejarah membuat orang merusak masyarakatnya sendiri. Lupa sejarah membuat orang bertingkah laku aneh dalam masyarakatnya. Lupa sejarah membuat orang berbuat jahat. Lupa sejarah membuat Donatus Doni Kumanireng Blikololong memproklamasikan diri sebagai penguasa kampung Eputobi. Mungkin karena itu, maka dia pun mati-matian mendukung pelanggaran adat yang terjadi pada Senin, 10 April 2006, di Eputobi. Lupa sejarah membuat orang menjadi angkuh dan berlaku arogan.

Kiranya perlu dicatat di sini, bahwa Donatus Doni Kumanireng itu  berasal dari lapisan Kumanireng Blikololong yang tidak memiliki kewenangan adat. Begitu pula halnya dengan Lambertus Lagawuyo Kumanireng. Yang memiliki wewenang adat resmi adalah lapisan Kumanireng Blikololong yang menempati rumah suku mereka (lango’ bele’eng).

Meskipun berani memproklamasikan diri sebagai penguasa kampung Eputobi, si corong dusta itu takut melawan kejahatan dengan korban orang yang tidak bersalah, Yoakim Gresituli Ata Maran. Jika dia benar penguasa kampung Eputobi, dia mestinya berani melawan kejahatan tersebut. Dengan kata lain, jika dia benar penguasa kampung Eputobi, dia mestinya berani membela kebenaran.

Memang kampanye dusta yang dilakukan oleh Donatus Doni Kumanireng dan rekan-rekan seperjuangannya berhasil membuat sejumlah orang di Eputobi menjadi orang-orang yang takut melawan kejahatan. Mereka terdiri dari orang-orang yang secara membabibuta mendukung posisi Mikhael Torangama Kelen, bukan karena dia itu berkata dan berlaku benar, tetapi semata-mata karena mereka itu mudah diperdaya dengan blt,  raskin, dan dana proyek pembangunan desa. Padahal blt, raskin, dan anggaran pembangunan desa yang bernilai seratus juta rupiah itu bukan hasil perjuangan kepala desa, melainkan program pemerintah pusat yang perlu diterapkan di setiap desa dan kelurahan di seluruh Indonesia.

Untung bahwa di kampung Eputobi masih terdapat banyak orang yang berani melawan kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Mereka terdiri dari orang-orang yang memiliki kepribadian yang kuat, yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Lewoingu, nilai-nilai agama, dan nilai-nilai universal.

Sementara itu terdapat orang-orang yang menyatakan diri netral. Tetapi mereka ini sebenarnya terdiri dari orang-orang yang takut melawan kejahatan juga. Tidaklah etis bila dalam menghadapi kejahatan yang demikian besarnya itu anda-anda mengambil sikap netral. Dengan bersikap netral anda-anda pada dasarnya memberi toleransi pada kejahatan tersebut.

Orang-orang yang bermoral tidak netral dalam menghadapi kejahatan. Orang-orang yang bermoral berpihak pada kebenaran. Karena itu kebenaran pun berpihak pada orang-orang bermoral itu. ***