Senin, 07 Juni 2010

Kapolres baru, tantangan lama

 

Flores Timur punya Kapolres baru. Namanya Eko Kristianto. Pangkatnya AKBP. Setelah dilantik di Polda NTT di Kupang pada hari Senin, 31 Mei 2010, AKBP Eko Kristianto kini menempati kursi yang selama dua tahun dua bulan ditempati oleh AKBP M. Syamsul Huda.

Kursi Kapolres itu pertama-tama bukan kursi kekuasaan, melainkan kursi pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat, bangsa, dan negara. Dan pelayanan yang terbaik adalah pelayanan dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan bagi setiap orang dan masyarakat yang membutuhkannya. Jika kebenaran dan keadilan dapat ditegakkan, maka kedamaian dan kesejahteraan dapat diwujudkan di tengah masyarakat yang bersangkutan.

Tugas pelayanan dan pengabdian yang diemban oleh AKBP Eko Kristianto tampaknya tidak mudah dijalankan, mengingat adanya PR (Pekerjaan Rumah) besar yang selama ini ditangani dengan cara-cara yang tidak efektif, sehingga menimbulkan komplikasi tersendiri dalam proses hukumnya. PR dimaksud adalah perkara pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran yang terjadi pada Senin malam, 30 Juli 2007. PR lain ialah melakukan reposisi di berbagai level dalam rangka mereformasi budaya kerja setiap aparatur Polres Flores Timur. PR kedua ini berkaitan dengan pembinaan mental para anggota polisi yang bersangkutan.

Pengusutan hingga tuntas kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Atamaran merupakan tantangan lama yang mau tidak mau harus dijawab oleh AKBP Eko Kristianto, setelah AKBP M. Syamsul Huda gagal menjawabnya secara tuntas. Meskipun bertekad membawa para pelaku kejahatan tersebut ke pengadilan, AKBP M. Syamsul Huda pada akhirnya harus mengakui bahwa hingga kini berkas perkara pembunuhan tersebut belum juga P21. Enam kali sudah berkas perkara kejahatan dengan tersangka Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng itu mondar-mandir antara Polres dan Kejaksaan Negeri Flores Timur di Larantuka. Padahal ujung pangkal dari perkara kejahatan tersebut telah terang benderang.

Ganjalan bagi kelancaran proses hukum atas perkara pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran telah muncul sejak awal ketika oknum-oknum polisi tertentu ikut berusaha merekayasa kasus pembunuhan tersebut menjadi kasus kecelakaan lalu lintas. Padahal apa yang disebut kecelakaan lalu lintas itu sama sekali tidak terjadi baik pada Senin malam, 30 Juli 2007 maupun pada Selasa pagi, 31 Juli 2007. Karena telah diskenariokan sebagai kecelakaan lalu lintas, maka selama berbulan-bulan laporan-laporan lisan dan tertulis dari keluarga korban tidak mendapat tanggapan positif. Tanpa melakukan penyelidikan dan penyidikan, K. Melki Bagailan yang pada waktu itu menjadi Kasat Lantas Polres Flores Timur dan AKBP Abdul Syukur yang ketika itu menjadi Kapolres Flores Timur membohongi publik dengan menyatakan bahwa kematian Yoakim Gresituli Atamaran itu murni karena kecelakaan lalu lintas. Kebohongan itu disebarluaskan baik secara lisan maupun secara tertulis, setelah Mikhael Torangama Kelen dkk berhasil melobi kedua oknum polisi itu di Polres Flores Timur. Surat pernyataan bahwa kematian Yoakim Gresituli Atamaran murni karena kecelakaan lalu lintas dibuat oleh AKBP Abdul Syukur berdasarkan permintaan orang-orang yang pada waktu itu terindikasi terlibat dalam perkara pembunuhan tersebut. Permintaan itu disampaikan kepada K. Melki Bagailan dan timnya. Termasuk dalam tim tersebut adalah Fransiskus Raga L. yang pada waktu itu menjadi Kapospol Titehena di Lewolaga. 

Seandainya AKBP Abdul Syukur mau mengabdi kebenaran dan keadilan, maka kasus kejahatan tersebut dapat dibongkar dengan mudah. Dan para pelakunya, yaitu Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya dengan mudah dapat digulung pula. Tetapi di dalam kenyataan, oknum polisi yang satu ini pun memilih ikut dalam paduan suara yang menyanyikan lagu kebohongan. Sekali lagi, ini terjadi setelah Mikhael Torangama Kelen dkk berhasil melobinya di Polres Flores Timur di Larantuka.

Dari situ kemudian berlanjut ceritera tentang bertele-telenya proses hukum atas perkara pembunuhan tersebut di tingkat Polres Flores Timur. Dalam proses itu muncul oknum-oknum polisi yang berusaha membenarkan kebohongan publik yang dilakukan oleh kedua oknum polisi tersebut di atas. Bahkan ada pula oknum polisi yang menceriterakan tentang baiknya kerja sama pihak tersangka dengan pihaknya. Ceritera-ceritera semacam itu dan ceritera-ceritera lain yang tidak diungkap di sini pada akhirnya bermuara pada keengganan mereka untuk melakukan terobosan-terobosan guna menyeret para pelaku kejahatan tersebut ke pengadilan. Seandainya punya keseriusan, mereka dengan mudah menemukan orang-orang lain dari komplotan Mikhael Torangama Kelen, yang juga layak dijadikan tersangka. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa yang terjadi di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007, adalah suatu pembunuhan berjamaah. Aksi kejahatan berjamaah itu dipimpin oleh Mikhael Torangama Kelen. 

Ketidakseriusan dari oknum-oknum polisi tertentu dalam mengungkap kasus pembunuhan tersebut hingga tuntas merupakan salah satu tantangan internal yang bakal dihadapi AKBP Eko Kristianto. Ini juga tantangan lama.

Selamat bertugas pak Eko Kristianto. Semoga anda berhasil menegakkan kebenaran dan keadilan bagi masyarakat Flores Timur. ***