Rabu, 01 Desember 2010

Kisah tentang seorang oknum polisi yang takut disumpah

 

Dia layak disebut sebagai oknum. Dia menduduki kursi kasat tertentu di Polres Flores Timur ketika terjadi peristiwa pembunuhan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Saya pernah bertemu dengan si oknum yang satu ini pada suatu hari di bulan Oktober 2007 di ruangan kerjanya di Larantuka. Pada hari itu, dia menunjukkan diri sebagai perwira, yang belum menampakkan tanda-tanda sebagai oknum. Pembicaraan saya dengannya terpaksa berakhir, karena dia harus mengikuti apel.

Tanda-tanda keoknumannya mulai nampak secara jelas ketika dia mulai mengatur pertemuan-pertemuan yang pada dasarnya dimaksudkan untuk merekayasa kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran menjadi kasus kecelakaan lalu lintas. Ikut dalam upaya kotor semacam itu beberapa orang temannya yang berkategori oknum juga. Melalui si oknum yang satu ini, pesan khusus dari para penjahat Eputobi disampaikan kepada si oknum yang satu lagi yang pada bulan Oktober 2007 menduduki kursi Kapolres Flores Timur. Kedua oknum ini bahu membahu berjuang di pihak penjahat Eputobi untuk ikut mengubur kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran.

Mungkinkah oknum-oknum semacam itu secara sukarela berusaha membela posisi Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya? Jawabannya jelas: Tidak mungkin. Mana mungkin mereka mau melakukan pekerjaan semacam itu secara sukarela?

Justru karena ada “apa-apanya,” maka kedua oknum itu pun bertekad untuk membela kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Secara formal si oknum yang bersangkutan mendasarkan pernyataannya pada laporan yang dibuat oleh orang yang pada waktu itu menjadi Kapospol Titehena. Padahal laporan itu tidak sesuai dengan kenyataan.

Oknum yang bersangkutan kemudian dimutasi dari Polres Flores Timur. Setelah Mikhael Torangama Kelen dan tiga anggota komplotannya ditangkap, dia sempat ditantang untuk menunjukkan bahwa apa yang diperbuatnya dalam menyikapi kasus pembunuhan tersebut benar adanya. Tetapi dia tidak pernah mampu menunjukkannya. Dia pun sempat ditantang untuk disumpah menurut adat Lewoingu guna membuktikan bahwa dia benar. Tetapi dia bilang bahwa dia takut disumpah.

Lho, kok punya rasa takut juga. Hanya orang bersalah yang takut dihadapkan pada sumpah adat, bukan? ***