Jumat, 26 November 2010

Adegan Selasa pagi, 31 Juli 2007 di Blou, Flores Timur

 

Tentang apa yang terjadi di Blou, Flores Timur, pada Selasa pagi, 31 Juli 2007, sudah pernah saya tulis. Baiklah diingat bahwa setelah berhasil menewaskan Yoakim Gresituli Ata Maran, Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya begadang hingga pagi hari Selasa 31 Juli 2007. Pagi-pagi hari tersebut mereka sudah meluncur ke Blou untuk mencek kondisi korban dan untuk memposisikan sepeda motor yang pada Senin malam dikendarainya dari Lato, dalam perjalanan pulang ke Eputobi. Pelaksanaan tugas-tugas tersebut, termasuk tugas untuk mengantar Petrus Naya Koten ke Boru dikoordinasi oleh Mikhael Torangama Kelen. Petrus Naya Koten memang perlu “diservis” sebaik mungkin agar dari mulutnya tidak meluncur pengakuan yang jujur tentang apa yang terjadi di Blou.

Sebelum diposisikan di samping jenazah korban di dalam parit, sepeda motor Yamaha Jupiter itu diparkir di pinggir jalan di sebelah timur deker. Sekitar jam 06.00 waktu setempat, dua orang yang baru saja pulang dari pesta di Lewotobi berada dalam jarak yang sangat dekat dengan tempat kejadian perkara. Mereka berjalan di jalan setapak dari arah pantai Waigema. Keberadaan mereka di situ merupakan bagian dari suatu kamuflase untuk menutupi apa yang sedang terjadi di tempat kejadian perkara pada pagi hari itu.

Ketika ditanya oleh seseorang untuk apa mereka berada di situ pada hari sepagi itu, mereka menjawab dengan enteng,

“Kami baru lihat jerat kera di pantai.”

Padahal di sepanjang pantai Waigema tak ada satu pun jerat yang dipasang untuk menangkap kera. Orang yang berkomunikasi dengan mereka itu pun sempat berhenti sebentar di pinggir jalan dekat tempat kejadian perkara, lalu dia meneruskan perjalanannya dengan sepeda motor ke Bokang.

Hari masih pagi ketika seseorang lain pun lewat di tempat kejadian perkara. Keberadaannya di situ mengejutkan para pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran yang sedang melakukan “tugas-tugas” mereka pagi itu. Keberadaannya di situ kontan menciutkan nyali para penjahat itu. Daripada perbuatan jahat mereka langsung dibocorkan ke mana-mana, maka mereka pun langsung mengajak orang itu untuk menyelesaikan “urusan” di antara mereka dengan cara “damai.” Ajakan “damai” disertai ancaman itu langsung diterima. Dan tanpa berpikir panjang, orang itu pun mengiyakan sekaligus melaksanakan skenario yang dibuat oleh para penjahat yang mulai digerogoti rasa takut itu. 

Yang terjadi di antara kedua belah pihak pada pagi itu ialah suatu konspirasi awal untuk menutup rapat perbuatan jahat yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya pada Senin malam 30 Juli 2007. Terdapat indikasi yang cukup jelas bahwa konspirasi yang dibangun pagi itu melibatkan pula seseorang yang seharusnya bertugas untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Konspirasi itu konsisten dengan kebohongan yang mulai disebarkan langsung dari tempat kejadian perkara pada malam kejadian perkara oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya.

Lalu hal berikut ini juga perlu diperhatikan, yaitu bahwa pada pagi hari Selasa 31 Juli 2007, sebelum tersiar kabar tentang penemuan jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou, Mikhael Torangama Kelen bersepeda motor bersama isterinya (Evi Kumanireng) ke arah barat. Mereka begerak dalam suatu iringan kecil bersama Lambertus Lagawuyo Kumanireng yang dibonceng oleh seorang tukang ojek, dan Damasus Likuwatang Kumanireng yang dibonceng oleh seorang tukang ojek lainnya. Pada saat yang hampir bersamaan Geroda Tukan yang naik angkutan umum “Melani” pun sedang dalam perjalanan ke arah barat.

Sebelumnya di Eputobi, Yohakim Tolek Kumanireng yang bercelana pendek dan berbaju kusut kotor telah mewartakan kabar begini,

“Akim Maran kecelakaan, mati atau hidup kita tidak tahu. Mukanya pucat pasi. Dia sedang tergeletak di Blou.”

Kata-kata itu dia ucapkan setelah dia turun dari ojek yang membawanya dari Berobang ke Eputobi. Setelah mendengar kabar itu, beberapa tukang ojek mau meluncur ke Blou untuk menyaksikan apa yang sesungguhnya terjadi dengan Akim Maran. Tetapi Lambertus Lagawuyo Kumanireng mencegah mereka dengan mengatakan,

“Jangan ke sana! Nanti orang menduduh kamu yang melakukan.”

Sandiwara yang mereka mainkan pada pagi hari itu terbilang rapih. Tetapi kejahatan mereka pun meninggalkan jejak-jejak yang dengan mudah dapat dideteksi. Mayoritas masyarakat Lewoingu telah lama muak dengan sandiwara murahan yang selama itu mereka pentaskan. Masyarakat setempat mengharapkan mereka mengakui perbuatan jahat mereka itu secara jujur dan apa adanya.

Tetapi jika mereka terus mempertahankan ketidakjujuran, maka proses waktu akan “memberi mereka pelajaran” serta “pendidikan” dengan cara-cara yang dahsyat. ***