Kamis, 11 November 2010

Jangan takut membela kebenaran

 

Di kampung Eputobi telah lama tumbuh keberanian untuk membela dan menegakkan kebenaran. Dalam menyikapi kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran, muncul pula orang-orang yang secara konsisten berusaha membela dan menegakkan kebenaran. Mereka adalah orang-orang yang berani mengambil risiko untuk menentang gerakan menutup-nutupi kejahatan tersebut yang dimotori oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Keberanian semacam itu tentu tidak kita temukan pada diri orang-orang yang berusaha cari aman dan selamat untuk diri sendiri.

Sikap saling bertolak belakang terhadap kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran pun tampak di kalangan orang Eputobi perantauan. Terdapat orang-orang yang karena alasan primordial dan alasan-alasan lain ikut berjuang menutup-nutupi kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Mereka ikut berjibaku membela kebohongan demi kebohongan yang dilakukan oleh para pelaku pembunuhan tersebut. Di antara mereka dari kalangan berjubah pun, ada yang ikut berjuang di pihak Mikhael Torangama Kelen. Cara berjuang mereka pun terbilang konyol.

Di tanah rantau ditemukan pula orang-orang yang ikut berusaha dengan caranya masing-masing agar para pelaku pembunuhan tersebut ditindak secara hukum. Bagi mereka kejahatan semacam itu tak bisa dibenarkan atas nama apa pun. Siapa pun pelakunya, dia atau mereka perlu dihukum. Bagi mereka, membenarkan, membela kejahatan itu dalam hati saja sudah merupakan suatu kejahatan.

Di antara kedua tipe tersebut terdapat tipe lain, yaitu orang-orang yang mengambil posisi netral. Mereka adalah orang-orang yang mengambangkan diri. Ketika angin bertiup ke barat, mereka ikut berkiblat ke barat. Tetapi ketika angin bertiup ke timur, mereka pun ikut berkiblat ke timur. Kiblat mereka tergantung arah angin. Dari orang-orang semacam ini sukar diharapkan upaya-upaya nyata untuk memperjuangkan tegakknya kebenaran.

Patut juga dicermati sikap orang-orang perantauan yang mereduksi masalah kejahatan sangat besar yang dibuat oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu menjadi persoalan pertikaian biasa yang dapat diselesaikan dengan cara maaf memaafkan antarpribadi yang dianggap terlibat. Simplifikasi persoalan semacam ini biasanya dilakukan oleh kaum romantis yang mengharapkan kembalinya masa lalu yang dianggap penuh harmoni, dan oleh kaum yang tidak mau repot dengan urusan pemberantasan kejahatan serta urusan penegakan kebenaran dan keadilan yang mendasar. Orang-orang semacam ini berusaha menjauhkan diri dari fakta-fakta yang berbicara tentang perbuatan sangat keji yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Meskipun demikian, di antara mereka pun terdapat orang yang berusaha melakukan analisis-analisis “semau gue” tentang persoalan-persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat Eputobi. 

Posisi keluarga korban dan segenap lapisan masyarakat pendukungnya, baik yang bermukim di kawasan Lewoingu maupun yang bermukim di luar kawasan Lewoingu jelas, yaitu memperjuangkan tegaknya kebenaran dan keadilan. Sikap kami jelas, yaitu melawan kejahatan yang dilakukan oleh komplotan pembunuh yang dikepalai oleh Mikhael Torangama Kelen. Dalam urusan semacam ini, kami tidak akan mundur sejengkal pun. Apalagi semakin lama semakin terkonfirmasi dari berbagai sumber bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itulah yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam 30 Juli 2007 di Blou yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur, NTT.

Maka siapa pun yang bersimpati apalagi yang secara terang-terangan membela Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya, dia membela kejahatan yang mereka lakukan pada tanggal tersebut di atas. Selain itu, dia juga membela praktek-praktek korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen selama dia menduduki kursi kepala desa Lewoingu. Di kampung Eputobi, mereka yang bergabung dalam kelompok penjahat itu dengan mudah dapat diidentifikasi satu per satu. Mereka terdiri dari orang-orang yang berhasil disesatkan oleh komplotan penjahat tersebut dan menyesatkan diri demi kepentingan pribadi mereka masing-masing. Selama ini mereka ikut menikmati kemapanan politik semu akibat bertele-telenya penanganan perkara pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Tetapi mereka lupa bahwa persoalan demi persoalan akan menanti mereka di masa depan setelah tatanan kriminal yang dibangun oleh Mikhael Torangama Kelen ambruk. Tidak mungkin Mikhael Torangama Kelen akan terus becokol di kursi kepala desa selama sisa hari-hari hidupnya. Sekarang ini saja kekuasaannya tampak keropos. Pemerintahannya berjalan sangat pincang dan tertatih-tatih. Roda pemerintahannya semakin tidak berguna bagi terciptanya keamanan apalagi kesejahteraan bagi masyarakat Eputobi.

Sebagian dari mereka sempat sadar akan akibat-akibat buruk dari upaya mereka untuk membela kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan. Tetapi mereka kini menghadapi dilema. Mau kembali ke jalan yang benar, tetapi masih terbentur oleh rasa malu karena selama ini mereka telah berkhianat kepada kebenaran. Tetapi mau terus maju dalam barisan pembela kejahatan pun mereka malu juga, karena mereka ikut melakukan sesuatu yang tidak baik (baca:jahat) menurut ukuran lewotana (adat istiadat setempat), ukuran moral, dan ukuran agama, serta ukuran hukum.

Masih ada waktu bagi mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Masih ada kesempatan bagi mereka untuk mengubah sikap mereka dari sikap berpihak pada kejahatan ke sikap melawan kejahatan atau dari sikap melawan kebenaran ke sikap membela kebenaran. Kepada mereka yang mau kembali, saya ingin sampaikan ajakan, “Mari, bergabunglah dengan kelompok masyarakat yang selama ini berusaha membela kebenaran. Jangan takut membela kebenaran.” ***