Minggu, 14 November 2010

Kisah tentang seseorang yang bermimpi jadi “penguasa kampung”

 

Dia tidak dilahirkan sebagai seorang penguasa. Tapi mungkin karena itu, maka dia bermimpi menjadi seorang penguasa. Ya, dia bermimpi menjadi penguasa di kampung halamannya. Entah sejak kapan, mimpinya itu mulai bersemi. Yang jelas pada bulan Maret 2008, dia sendiri yang memproklamirkan dirinya sebagai penguasa kampung Eputobi. Proklamasi itu dilakukannya bukan di kampung halamannya, tetapi di suatu tempat lain di negeri orang di hadapan orang lain yang tak tahu menahu tentang sejarah kepemimpinan Eputobi-Lewoingu. Dapat diduga bahwa deskripsi dirinya sebagai penguasa kampung Eputobi sudah cukup lama dibuatnya dalam dirinya sendiri. Namun baru pada tahun tersebut dia mengekspresikannya secara verbal.

Pernyataan bahwa dirinya adalah penguasa kampung Eputobi itu tak bermanfaat. Karena, di dalam kenyataan dia bukan seorang penguasa. Dia hanyalah seorang pemimpi. Seandainya dia tahu sejarah, dia tahu pula bahwa pernyataannya itu tak pantas menurut standar moral lokal. Tetapi baginya, apa yang tidak pantas itu pantas. Maka mimpinya itu pun coba diterjemahkannya dalam skenario-skenario yang dirancangnya untuk menghancurkan tatanan adat Lewoingu hasil kesepakatan para leluhur Lewoingu.

Skenario-skenario desktruktifnya itu menemukan momentum pada situasi politik kampung yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga dengan sendirinya bergeser ke arah pembentukan suatu tatanan politik kriminal ala kampung. Pada tahun 2004 mulai nampak tanda-tanda bahwa yang menjalankan roda politik di kampung Eputobi adalah suatu geng kriminal. Tanda-tanda itu nampak paling kurang dari dua hal; pertama, dari penghalalan segala macam cara di kalangan para eksekutif dan kroni-kroni mereka untuk mempertebal kantong sendiri-sendiri; kedua, dari penggunaan ancaman-ancaman kekerasan fisik terhadap tokoh-tokoh yang menentang praktek-praktek korupsi yang dilakoni oleh kepala desa dan kroni-kroninya yang duduk dalam struktur pemerintahan desa.

Untuk menerjemahkan mimpinya itu, dia sering memunculkan dirinya di kampung Eputobi. Di sana dia menggalang persekongkolan dengan memanfaatkan sentimen-sentimen primordial dan gesekan-gesekan politik yang ada. Target awalnya adalah meluruskan jalannya sejarah Lewoingu. Untuk itu dia pernah menemui Kepala Suku Ata Maran, dan tanpa malu-malu dia mengatakan, “Kita perlu luruskan sejarah.” Namun dia sendiri tidak menjelaskan sejarah mana yang perlu diluruskan.

Usulannya itu menjadi bahan tertawaan berbagai kalangan yang paham akan seluk beluk sejarah  Lewoingu. Soalnya, usul tersebut datang dari seseorang yang bertitel akademik, tetapi ternyata tidak mengetahui sejarah asal usulnya sendiri. Setelah melihat sepak terjangnya semakin menjadi-jadi dalam mengutak-atik tatanan adat Lewoingu, seorang saudaranya berkomentar, “Dia itu tidak tahu sejarah, maka dia berbuat seperti itu.” Seandainya dia tahu sejarah, dia tidak berbuat semacam itu.

Bagi orang yang paham sejarah Lewoingu, sepak terjangnya yang diarahkan pada pengrusakan tatanan adat itu aneh dan tidak masuk akal. Tetapi baginya, apa yang aneh itu tidak aneh, dan apa yang tidak masuk akal itu masuk akal. Maka dia pun meneruskan langkah-langkahnya untuk memenuhi mimpinya menjadi penguasa kampung Eputobi. Apalagi di kalangannya dia dipandang sebagai sumber pengetahuan dan inspirasi bagi gerakan politik kotor mereka. Istilah politik kotor ini saya pinjam dari seseorang yang pada tahun 2003 dipermalukan dan nyaris dihakimi di muka umum oleh kepala desa Lewoingu. Dalam dan melalui geng politik kampung itu, dia berusaha menampilkan diri sebagai seorang penguasa yang bisa berbuat apa saja sesukanya.

Perjalanan waktu akhirnya menyingkap bahwa dia berada di balik persoalan-persolan kriminal besar. Dia berada di balik pelanggaran adat dan penyerobotan tanah yang terjadi pada tahun 2006 di kampung Eputobi. Dia juga berada di balik peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Dengan sadar dan sengaja dia mendukung kejahatan-kejahatan tersebut. Dengan sadar dan sengaja dia menempuh langkah-langkah untuk menutup-nutupi kasus pembunuhan tersebut atau paling kurang untuk menghambat proses hukum atas para pelakunya. Dalam rangka itu suaranya mengembara ke mana-mana. Suaranya sempat pula mendarat di rumah seorang dukun. Selain itu, dia juga secara sadar dan sengaja membela praktek-praktek korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan kroni-kroninya.

Jelas bahwa perbuatan-perbuatan yang diperlihatkannya itu berkategori kriminal berat. Tetapi baginya, apa yang disebut kriminal itu tidak kriminal bahkan dianggapnya sebagai perbuatan baik dan bermakna bagi masyarakat setempat. Padahal di dalam kenyataan terjadi perpecahan sosial dan kerusakan-kerusakan kultural yang semakin sulit diatasi, akibat perbuatan-perbuatan kriminal yang didukungnya.

Dengan menunggang rezim kriminal tersebut, dia berusaha meraih mimpinya menjadi penguasa kampung Eputobi. Tetapi itu hanyalah sebuah mimpi yang tak mungkin terwujud, karena sejarah punya kisah yang jelas tentang garis-garis kepemimpinan adat Lewoingu. Garis-garis sejarah itu tak bisa dihapus oleh gerombolan penjahat itu. Dan dia yang selama ini bermimpi menjadi penguasa kampung Eputobi itu pun kian merana dalam kesendiriannya. Sejarah akan memperlihatkan kepada kita seperti apa akhir dari mimpinya itu. Yang jelas, mimpi yang dulunya kelihatan indah  kini menjadi mimpi yang sungguh buruk baginya. ***