Minggu, 01 Mei 2011

Catatan untuk beberapa isi buku tamu eputobi.net

Sebuah info yang disampaikan oleh seorang warga kampung Eputobi ke telepon selulerku membuat aku bertandang ke buku tamu eputobi.net sore ini. Ya, sudah lebih dari setengah tahun aku tidak berkunjung ke eputobi.net yang bermarkas di Jerman itu. Karena itu, sebelum mengklik buku tamu di situs tersebut, saya sempat berharap akan menemukan adanya kata-kata yang lebih baik dari setiap tamu yang berkunjung ke sana. Tetapi ternyata, buku tamu eputobi.net pun masih saja berhiaskan pula dengan banyak kata yang membuat situs kampung Eputobi itu kian terpolusi. Polusi historis, misalnya, dipicu oleh pernyataan Chris Hayon yang menyinggung perasaan anggota-anggota tertentu dari suku Kebele’eng Kelen.

Tidak hanya itu. Situs kampung Eputobi itu dipolusikan pula oleh komentar-komentar dua orang tamu yang mengaku bernama Anis Kelen dan Paul Maran tentang isi KdK (Kabar dari Kampung) di sukuatamaran.weebly.com.  Komentar-komentar kedua orang ini mendapat tanggapan dari saudara Abdisa Eduard Kuswendo K. Menurut saya, tanggapan-tanggapan dari saudara Abdisa Eduard Kuswendo K. itu cukup representatif bagi orang-orang Eputobi yang mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di kampung Eputobi.

Saya sendiri tidak mengenal siapa itu Anis Kelen dan siapa pula Paul Maran itu. Dari catatan di buku tamu eputobi.net pada 20 Februari 2011, saya hanya memperoleh informasi bahwa kedua orang itu mengaku bersaudara, bersahabat, dan tinggal bersama di Larantuka. Di situ dicatat pula bahwa mereka “memiliki pemikiran yang sama terhadap sikon  desa Eputobi yang merupakan asal usul” mereka. Karena tinggal di Larantuka, “maka hampir setiap saat” mereka “menengok kampung halaman” mereka.

Setahu saya, tidak ada anggota suku Ata Maran dari kampung Eputobi bernama Paul Maran. Lalu akan dicek, apakah dari kampung Eputobi pun ada orang bernama Anis Kelen selain Anis Kelen, kakak dari Mikhael Torangama Kelen itu. Lalu coba perhatikan penggunaan kata “desa Eputobi” dalam catatan yang dibuat Paul Maran pada tanggal tersebut di atas. Di Kecamatan Titehena tidak dikenal desa Eputobi. Yang dikenal adalah desa Lewoingu. 

Lantas, benarkah kedua orang itu hampir setiap saat menengok kampung halaman mereka itu? Kalau benar demikian, itu berarti hampir setiap saat hidup mereka, mereka berada di kampung Eputobi. Tetapi di kampung Eputobi tidak dikenal nama Paul Maran. Dan yang dikenal di Eputobi adalah Anis Kelen yang berprofesi sebagai guru SD. Dari Larantuka, saya memperoleh informasi bahwa di kota tersebut tidak ada anggota suku Ata Maran dari kampung Eputobi yang tinggal bersama dengan anggota suku Kelen dari kampung yang sama.

Siapakah Anis Kelen dan Paul Maran yang pernah beberapa kali bertamu ke eputobi.net itu?  Saya sendiri belum bisa menjawab pertanyaan ini. Mudah-mudahan pada suatu waktu nanti, saya bisa mengetahui siapa sesungguhnya yang menggunakan nama Anis Kelen dan Paul Maran itu. Untuk sementara, saya hanya bisa mengatakan bahwa orang yang menggunakan nama Anis Kelen dan Paul Maran itu berasal dari kelompok yang membela kejahatan berupa korupsi dan pembunuhan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Orang-orang dari kelompok kriminal tersebut, yang bisa mengakses KdK menentang isi KdK. Karena isi KdK itu benar, maka mereka berusaha keras untuk menentangnya. Maklum, mereka adalah orang-orang yang takut akan kebenaran. Karena takut akan kebenaran, maka mereka pun bersama-sama berusaha menutup kejahatan yang terjadi di Blou.

Bagi mereka, keadaan di kampung Eputobi, desa Lewoingu baik-baik saja seakan-akan tidak terjadi masalah. Padahal di situ terjadi perpecahan sosial yang kian sukar untuk diperbaiki akibat terjadinya dua kasus kejahatan, yaitu kejahatan adat atau kejahatan kultural pada tahun 2006, dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada tahun 2007. Praktek korupsi yang dilakukan Mikhael Torangama Kelen dan kroni-kroninya menimbulkan dampak destruktif sangat besar berupa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran, dengan segala dampak lanjutannya. Ancaman pembunuhan juga dialamatkan kepada beberapa rekan seperjuangannya. Kedua kasus kejahatan itu dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Tatanan adat bersama warisan para leluhur Lewoingu dirusak oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Pengrusakan tersebut ditandai dengan pembentukan lembaga adat yang diketuai oleh Geroda Tukan. Lembaga adat yang diketuai oleh Geroda Tukan itu merupakan lembaga adat politik, yang dijadikan tandingan bagi lembaga adat warisan para leluhur Lewoingu.

Kiranya jelas bahwa orang-orang yang membela kejahatan itu semakin tak berani tampil secara terbuka dengan menggunakan identitas yang jelas. Jelas bahwa Paul Maran itu nama samaran. Dan bukan tidak mungkin Anis Kelen itu pun nama samaran. Dengan menggunakan nama Paul Maran, orang yang bersangkutan berusaha menimbulkan kesan bahwa ada pula anggota suku Ata Maran dari Eputobi yang menentang perjuangan RRM bersama saudara-saudarinya serta para simpatisannya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Tapi siapa yang mau terkecoh oleh permainan tidak bermutu semacam itu? Bagiku, cara semacam itu nggak ngaruh. Kami berada pada posisi pantang mundur untuk melawan kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya.

Hanya karena memprioritaskan penyelesaiannya secara hukum, maka upaya pemberantasan kejahatan tersebut berjalan secara mengambang. Tetapi itu tidak berarti bahwa kejahatan tersebut tak bisa diberantas.  Pada dasarnya, kejahatan itu mudah diberantas. ***