Rabu, 20 April 2011

Kisah Sengsara di Blou, Flores Timur

Inilah sengsara Yoakim Gresituli Ata Maran, orang Eputobi, Lewoingu, Flores Timur.

Pada hari itu, Senin 30 Juli 2007, Yoakim Gresituli Ata Maran bersama isterinya pergi ke Lato, ibukota Kecamatan Titehena di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia, untuk menghadiri acara Nebo (Kenduri) untuk almarhumah Maria Ose Sogen. Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya yang telah berencana untuk membunuhnya pun tahu bahwa pada hari itu Yoakim dan isterinya pergi ke situ. Maka orang-orang yang sedang dikuasai oleh iblis itu pun pergi ke sana, sebelum Yoakim Gresituli Ata Maran dan isterinya tiba di rumah, tempat Nebo tersebut diselenggarakan.

Pada jam 13.00, Yoakim Gresituli Ata Maran dan isterinya tiba di tempat Nebo. Di situ banyak orang telah berkumpul untuk mengenang kepergian ibu Maria Ose Sogen. Kemudian datang pula ke situ orang dari mereka yang telah berencana membunuhnya. Sementara itu satu orang dari mereka yang berniat jahat itu berdiri di gang dekat rumah, tempat Nebo diselenggarakan. Dari gang itu dia bercekak pinggang seraya melayangkan pandangannya ke orang-orang yang sedang menghadiri acara tersebut. Waktu itu jam 14.00 siang.

Ketika malam mulai turun di Lato, Yoakim Gresituli Ata Maran dan isterinya pun pamit untuk pulang ke Eputobi. Dengan sepeda motor mereka meninggalkan Lato, ketika lampu-lampu listrik mulai menerangi ibukota Kecamatan Titehena itu. Setelah mengetahui bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran dan isterinya meninggalkan Lato, orang-orang yang sedang dikuasai iblis itu pun bersiap untuk melaksanakan niat jahat yang telah mereka rancang. 

Hari masih terang ketika Mikhael Torangama Kelen meninggalkan kampung Eputobi. Dengan sepeda motor Supra Fit dia meluncur ke arah barat menuju tempat yang telah ditentukan itu. Kemudian meluncur pula ke sana Lambertus Lagawuyo Kumanireng dan rekan-rekannya. Hari sudah malam ketika Petrus Naya Koten berada di pertigaan Wairunu-Bokang untuk melaksanakan tugasnya. Dia bergerak ke arah Bokang. Di pinggir selatan kampung Bokang, dalam gelap, dia berdiri menanti kedatangan Yoakim Gresituli Ata Maran dari arah Lato. Tak jauh dari situ sedang menunggu pula beberapa orang kawannya. Mereka mengendarai dua sepeda motor.

Ketika orang yang dinanti-nantinya sendirian muncul di dekatnya, Petrus Naya Koten menyapanya dengan ramah, “Kelake……” Orang yang disapanya pun berhenti, lalu bertanya, “Mau pulangkah…..?” “Ya,” jawab Petrus Naya Koten. “Ayo…., naik,” ajak Yoakim Gresituli Ata Maran.

Petrus Naya Koten pun naik dan duduk di belakang Yoakim Gresituli Ata Maran. Berdua mereka bergerak ke arah Wairunu. Dengan kedua tangannya, Petrus Naya Koten memeluk erat Yoakim Gresituli Ata Maran seraya mengingatkan dia untuk tidak ngebut. Kepada Yoakim Gresituli Ata Maran dia berkata, “Saya takut kalau ngebut, kita berjalan perlahan-lahan saja.”

Setelah mengetahui bahwa Petrus Naya Koten dan Yoakim Gresituli Ata Maran sedang bergerak meninggalkan Bokang dan Wairunu, beberapa orang yang mengendarai dua sepeda motor itu tancap gas. Dengan cepat mereka menembus gelap malam ke arah Wairunu lalu selanjutnya ke arah Lewolaga. Di tempat yang telah mereka tentukan, yaitu di Blou, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga, mereka berkoordinasi dengan Mikhael Torangama Kelen, Lambertus Lagawuyo Kumanireng serta kawan-kawan mereka lainnya untuk melakukan pencegatan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran, yang bersama salah seorang anggota komplotan mereka sedang bergerak ke tempat mereka menunggu.

Tak lama kemudian Yoakim Gresituli Ata Maran dan Petrus Naya Koten muncul di hadapan mereka. Seperti singa yang sedang lapar, orang-orang yang sedang dikuasai iblis itu pun menghadang dan langsung mengancam keselamatan Yoakim Gresituli Ata Maran. Aksi penghadangan itu membuat Yoakim Gresituli Ata Maran menghentikan sepeda motor yang dikendarainya. Pada saat itu, Petrus Naya Koten turun dari sepeda tersebut. Sesudah itu Yoakim Gresituli Ata Maran berusaha menembus hadangan dengan menabrak sepeda motor GL hitam yang oleh Yoka Kumanireng dipalang di depannya. Upaya tersebut membuat sepeda motor GL hitam dan pengendaranya sempat terpelanting ke aspal.

Mengetahui nyawanya terancam, Yoakim Gresituli Ata Maran berusaha memberikan perlawanan terhadap serangan keroyokan yang mulai dilancarkan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Mikhael Torangama Kelen adalah orang pertama yang melayangkan pukulan ke muka Yoakim Gresituli Ata Maran. Setelah menerima pukulan itu, Yoakim Gresituli Ata Maran bertanya, “Mengapa kamu memukul aku?” “Karena kamu keras kepala,” jawab orang yang memukulnya. Pukulan-pukulan lain pun mengenainya. Pada suatu momen, suatu pukulan keras dengan sepotong kayu keras yang dilancarkan oleh Yohakim Tolek Kumanireng membuat Yoakim Gresituli Ata Maran jatuh di pinggir jalan.

Tak lama kemudian sebuah mobil dari arah timur berhenti di tempat para penjahat itu sedang beraksi. Mata pengemudi mobil itu melihat seseorang sedang tergeletak di pinggir jalan di sebelah kanannya. Matanya juga melihat beberapa pria sedang berdiri di dekat orang yang sedang tergeletak itu. Salah seorang dari mereka tidak mengenakan helm (helmet). Dia ingat dengan baik wajah orang yang tidak mengenakan helm itu.

Dalam hatinya, pengemudi mobil itu mengira bahwa orang yang sedang tergeletak itu membutuhkan pertolongan. Maka dia pun turun dari mobilnya. Kemudian dia menghampiri mereka yang sedang berdiri di situ. Dia ingin tahu apa sesungguhnya yang terjadi dengan orang yang sedang tergeletak itu. Kepada mereka dia bertanya tentang apa yang terjadi. Kepadanya mereka menjelaskan bahwa mereka mau ke pesta, tetapi terjadi kecelakaan lalulintas. Setelah mendengar itu dia pun menawarkan bantuan. Dia mau membawa korban ke klinik atau rumah sakit terdekat agar korban bisa mendapat pertolongan. Tetapi mereka yang berada di situ menolak tawaran pertolongannya. Karena tawaran pertolongannya ditolak, pengemudi mobil itu pun meninggalkan tempat itu. Tetapi dalam hatinya dia bertanya, “Benarkah terjadi kecelakaan lalulintas? Kalau benar terjadi kecelakaan lalulintas, mengapa mereka itu tidak mau ditolong?”

Setelah mobil itu pergi, orang-orang yang sedang dikuasai iblis itu meneruskan aksi mereka. Untuk memuaskan hawa nafsu kriminal mereka, mereka menyeret orang yang sudah tak berdaya itu ke sebuah pondok yang terletak 70 meter di sebelah utara jalan raya. Di pondok itu terdapat sebuah bangku kayu cukup panjang. Di bangku kayu itu, Yoakim Gresituli Ata Maran didudukkan dengan muka menghadap ke timur. Pada bangku kayu itu, mereka mengikat tangan dan kakinya. Mereka membungkus kepalanya dengan kaos rombeng dan selembar kain. Dalam posisi semacam itu, mereka dengan leluasa menganiaya dan menyiksanya. Untuk mempermalukan dia, mereka pun menghantam alat kelaminnya.

Rasa sakit yang dideritanya membuat dia menangis seraya menyerukan pertolongan. Tetapi tak ada yang datang menolongnya. Sebagai jawaban atas tangis dan seruannya itu, salah seorang dari penjahat itu menyundut mulutnya dengan api rokok. Serangkaian pukulan dengan kayu akhirnya meremukkan tengkorak belakangnya. Matanya pun membiru legam akibat hantaman kayu. Dia akhirnya tak bisa bersuara apa-apa. Di bangku kayu itu dia akhirnya sekarat. Dari kepalanya yang remuk mengucur darah. Darahnya membasahi bangku kayu itu. Selembar kain dan kaos rombeng yang mereka pakai untuk membungkus kepalanya pun basah oleh darahnya.

Dalam keadaan sekarat dia dibawa ke pinggir jalan raya. Kemudian mereka meletakkannya di dalam parit, persis di mulut sebuah gorong-gorong. Di situ dia dibaringkan. Di situ dia menghembuskan nafasnya yang terakhir di dunia ini, pada subuh hari Selasa 31 Juli 2007.

Setelah melampiaskan hawa nafsu jahat mereka, orang-orang yang sedang dikuasai iblis itu berkumpul di pondok tempat Yoakim Gresituli Ata Maran dianiaya dan disiksa secara kejam. Sebelum meninggalkan ladang pembantaian itu, beberapa di antara mereka pergi ke pantai Waigema untuk membersihkan diri dengan air laut. Sebelum kembali ke Eputobi, Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng mengontak Kupang untuk melaporkan kepada si aktor intelektual tentang keberhasilan pelaksanaan proyek kriminal mereka di Blou.

Ketika tiba kembali di Eputobi pada malam itu, mereka disambut oleh gonggongan anjing. Beberapa di antara mereka berkumpul di rumah Mikhael Torangama Kelen. Di situ mereka begadang hingga tiba pagi hari Selasa 31 Juli 2007.

Pada pagi hari itu, Mikhael Torangama Kelen, Lambertus Lagawuyo Kumanireng dan beberapa anggota komplotan mereka pergi ke Blou. Yang mereka lakukan pagi itu ialah memposisikan sepeda motor yang dikendarai Yoakim Gresituli Ata Maran guna menimbulkan kesan bahwa kematiannya akibat kecelakaan lalu lintas. Dari mulut para penjahat itu, beredar kabar bohong, yaitu bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu karena kecelakaan lalulintas.

Pada hari Selasa siang 31 Juli 2007, jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran tiba di rumah duka di Eputobi. Pada hari Rabu 1 Agustus 2007, jenazahnya dikuburkan di Riang Duli, Lewoingu.***