Jumat, 20 Mei 2011

Di mana lilin demi kematian itu dipasang?

Beberapa hari sebelum Paskah 2011, salah seorang berasal-usul kampung Eputobi mengatakan kepada seorang warga kampung yang sama bahwa sebelum Yoakim Gresituli Ata Maran meninggal, dirinya sudah tahu bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran akan meninggal. “Dari mana engkau bisa mengetahui bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran akan meninggal?” Tanya orang yang mendengar pernyataannya. Apa jawabannya?

Dia menjelaskan, bahwa “Sebelum Yoakim Gresituli Ata Maran meninggal, saya bersama Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng pergi ke kampung lama (Lewo Okineng). Di sana kami memasang lilin di makam Gresituli. Di situ kami sembahyang. Setelah kembali dari kampung lama, kami memperoleh petunjuk bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran akan meninggal.”

Setelah berceritera demikian, dia memberikan isyarat untuk tidak menyampaikan apa yang baru saja diceriterakannya itu kepada orang lain. Isyarat tersebut mengindikasikan bahwa apa yang mereka lakukan di kampung lama itu merupakan suatu rahasia yang perlu dijaga kerahasiaannya. Padahal apa yang dianggapnya rahasia itu sudah menjadi rahasia umum sejak hari jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran ditemukan di Blou. Yang perlu diperhatikan ialah bahwa dia sendiri pada dasarnya akhirnya mengungkapkan tentang keterlibatannya dalam perencanaan pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran.

Yang perlu juga diperhatikan ialah bahwa Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng adalah dua orang dari sekian banyak praktisi black magic yang selama ini beroperasi di kampung Eputobi. Mereka termasuk kalangan pengguna ilmu hitam yang berbasiskan kekuatan roh jahat. Salah seorang andalan mereka pernah mengaku diri sebagai orang merah. Ya, seorang pengguna ilmu hitam biasa disebut juga orang merah. Makin tinggi level ilmu hitamnya, makin merah dia. Orang yang mengaku diri sebagai orang merah itu pernah mengatakan kepada salah seorang kakak dari korban pembunuhan di Blou begini, “Adikmu sudah, engkau menunggu giliran.”

Karena dimotori oleh sejumlah praktisi black magic, maka dalam skenario mereka, mereka pun berencana untuk menghabisi Yoakim Gresituli Ata Maran dengan menggunakan black magic. Selain itu mereka juga menyiapkan rencana  penggunaan kekuatan fisik. Kedua alternatif itu diusahakan berjalan paralel. Dalam rangka penggunaan black magic, Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng serta beberapa anggota komplotan mereka sering “berziarah” ke kampung lama. Dari “ziarah” dengan niat kriminal itu, mereka berharap bisa menghabisi Yoakim Gresituli Ata Maran tanpa perlu menggunakan kekuatan fisik. Delapan hari sebelum tanggal 30 Juli 2007, mereka “berziarah” ke kampung lama untuk memastikan tanggal kematian Yoakim Gresituli Ata Maran. Di sana mereka kembali memasang lilin di makam Gresituli, bapak pendiri Lewoingu. Selain itu mereka juga menodai Ling Pati dengan niat jahat mereka itu. Dalam ziarah itu mereka memastikan bahwa pada hari Selasa, 24 Juli 2007, Yoakim Gresituli Ata Maran akan meninggal.

Setelah kembali dari “ziarah” dengan niat kriminal itu, mereka menunggu datangnya hari Selasa, 24 Juli 2007. Hari Selasa yang ditunggu akhirnya tiba. Tetapi Yoakim Gresituli Ata Maran tak mati pada hari itu. Pada hari itu dia tampil segar bugar. Kenyataan ini membuat mereka merasa heran.  Mereka lalu memutuskan untuk menghabisi dia dengan metode kedua, yaitu dengan menggunakan kekuatan fisik, yang juga telah lama mereka persiapkan. Karena tak ada satu pun dari mereka yang berani berhadapan sendirian dengan Yoakim Gresituli Ata Maran, mereka lalu memutuskan untuk membunuhnya secara berjamaah, tidak di kampung Eputobi, tetapi di luar kampung Eputobi, dan waktunya bukan siang, tapi malam hari. Maka Blou pun dipilih dan waktunya adalah Senin malam, 30 Juli 2007.

Sebagai tahap persiapan akhir, pada tanggal 29 Juli 2007, mereka kembali “berziarah” ke kampung lama. Kali ini mereka tak lagi mengharapkan kekuatan black magic dari kampung lama. Soalnya, black magic tak dapat diandalkan. Yang mereka lakukan di sana adalah makan bersama iblis besar yang selama ini diyakini bertahta di kampung lama. Acara ini mereka lakukan sekedar untuk memotivasi diri mereka untuk berani melakukan pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran pada hari Senin 30 Juli 2007. Pembunuhan itu telah direncanakan dalam serangkaian pertemuan sebelum tanggal 30 Juli 2007. Tetapi pelaksanaannya tertunda-tunda karena mereka sempat berusaha mengandalkan black magic.

Rencana pembunuhan itu diketahui oleh dia yang pernah bersama Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng memasang lilin di makam Gresituli di kampung lama. Apakah dia juga ikut “berziarah” ke kampung lama pada hari Minggu tanggal 29 Juli 2007? Hingga kini, saya belum memperoleh informasi yang jelas tentang itu. Yang jelas dia itu tidak tinggal di kampung Eputobi. Jika ada hari libur dan jika ada kesempatan, baru dia muncul di kampung Eputobi. Pada hari Rabu dalam Pekan Suci 2011, dia berada di kampung Eputobi. Selama ini, dia tampil sebagai salah satu pendukung setia Mikhael Torangama Kelen. Ketika pelantikan Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu tertunda-tunda, dia ikut berkasak-kusuk, termasuk ke kantor Bupati Flores Timur, demi pelantikan jagoannya itu. Dalam rangka menggalang dukungan bagi pelantikan Mikhael Torangama Kelen, dia pernah mengundang berbagai pihak di Eputobi untuk menghadiri suatu pertemuan. Tetapi pertemuan yang dirancangnya gagal dilaksanakan. 

Pada bulan April 2011, dia bertamu ke eputobi.net. Di situ, dia menggoreskan catatan-catatan baik atas namanya sendiri maupun atas nama orang lain. Ya, jika demi kematian Yoakim Gresituli Ata Maran, dia ikut memasang lilin di makam Gresituli, demi ambisi pribadinya, dia mencatut nama orang lain. ***