Senin, 14 Januari 2008

Pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Lewoingu

Lewoingu adalah nama suatu kampung sekaligus nama suatu komunitas budaya di Flores Timur. Kampung dan komunitas budaya itu mulai ditempa beberapa abad lalu (abad pertengahan) atas inisiatif seorang tokoh bernama Gresituli. Sejak awal pembentukan dan selama beberapa abad kemudian, kampung Lewoingu terdiri dari dua subkampung. Subkampung yang satu bernama Dumtana (sekarang disebut Dung Tana) atau Lewolein. Subkampung yang lain bernama Dumbata (sekarang disebut Dung Bata) atau Lewowerang. Kedua subkampung ini terletak bersebelahan dan hanya dibatasi oleh suatu pelataran kecil.
Kampung bernama Lewoingu itu terletak sekitar 200 meter di atas permukaan laut, di atas suatu gunung bernama Ile Hinga. Dia berada di sebelah barat kota Larantuka, dengan rentang jarak antarkeduanya 30 kilo meter.
Sejak pembentukan desa gaya modern, Lewoingu dijadikan nama suatu desa. Lewoingu adalah sebutan formal politik untuk kampung bernama Eputobi, yang terletak pada kilometer 29 di sebelah barat kota Larantuka. Tetapi istilah Lewoingu tidak identik dengan kampung Eputobi. Kampung Eputobi itu baru dibangun pada tahun 1935 atas inisiatif Petrus Nuba Ata Maran, yang didukung oleh seorang misionaris Jerman bernama P. Kremers SVD. Yang disebut Lewoingu itu mencakup pula Riang Duli, Riang Kung, Riang Wolor, dan Lewolaga. Riang Duli, Riang Kung, dan Riang Wolor kini membentuk satu desa bernama Dung Tana-Lewoingu yang bertetangga dekat dengan Eputobi-Lewoingu. Sedangkan Lewolaga adalah suatu desa buatan penjajah Belanda. Desa ini terletak di pinggir pantai selatan.
Ketiga desa itu merupakan suatu komunitas budaya yang disebut budaya Lewoingu. Penduduk di ketiga desa itu mewarisi tradisi adat istiadat yang sama, yang selama beberapa abad menjadi pedoman hidup mereka sehari-hari. Kiranya jelas bahwa sebagai komunitas budaya, Lewoingu mengacu pada suatu tatanan masyarakat yang memiliki pandangan hidup dan nilai-nilai luhur tertentu yang dijadikan visi dan cita-cita bersama, yang perilaku dan tindakan hidup sehari-harinya diatur menurut hukum adat yang sama.
Menarik bahwa tatanan masyarakat Lewoingu itu dibentuk oleh beragam suku, yang pada suatu waktu di masa lalu berani bersepakat secara bebas untuk membentuk kehidupan bersama, setelah lama masing-masing mengembara tak jelas arah, kemudian sempat tinggal terpisah-pisah dalam kelompok keluarga masing-masing.
Baik sebagai kampung maupun sebagai komunitas budaya, Lewoingu dibangun berdasarkan prinsip kemanusiaan universal, yakni bahwa kehidupan setiap manusia harus dipelihara, dirawat dengan baik, dalam suasana aman dan damai agar dia dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang manusiawi. Jadi, suatu kampung haruslah menjadi suatu tempat yang nyaman dan aman bagi warganya untuk dihuni. Dan suatu masyarakat haruslah menjadi suatu ruang di mana manusia secara bebas mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia adanya. Sejak masa kuno, para bapak ibu Lewoingu telah menjadikan perlindungan hak asasi manusia sebagai tujuan utama perjuangan hidup mereka.
Perlindungan hak asasi manusia itu dilaksanakan secara khas oleh Suku Ata Maran. Sejak awal terbentuknya Lewoingu, hingga sekarang suku ini memainkan peran khas sebagai penegak hak asasi manusia. Sebut saja beberapa contoh.
Pada suatu waktu zaman dulu, nenek moyang dari mereka yang sekarang menyebut diri Kumanireng Blikololong itu hampir punah, karena mendapat serangan hebat dari musuh. Yang tersisa hanya dua orang anak laki-laki. Yang satu diberi nama Brahang Tana. Yang lain diberi nama Ratu Noeng. Nama Brahang Tana merupakan simbol bahwa dia itu sebenarnya sudah berada dalam tanah yang sedang ditikam-tikam oleh musuh. Dan tampaknya dia akan mati oleh tikaman-tikaman musuh itu. Nama Ratu Noeng merupakan simbol bahwa dia itu sudah digantung oleh musuh, dan hanya tinggal menunggu waktu untuk menemui ajalnya. Tetapi dua orang anak ini tidak jadi meninggal, karena diselamatkan oleh nenek moyang Ata Maran. Kedua anak ini dibawa lari dan disembunyikan di rumah Ata Maran, maka mereka pun selamat dari ancaman pembunuhan. Dari kedua orang inilah tradisi suku Kumanireng Blikololong berlanjut.
Tindakan penyelamatan itu terjadi berulang kali dalam sejarah Lewoingu. Dalam abad ke-20, misalnya, suku Ata Maran berhasil menyelamatkan sejumlah orang yang ingin dibunuh oleh musuh. Rumah Ata Maran menjadi tempat perlindungan yang sangat aman bagi orang-orang yang terancaman nyawanya oleh keganasan musuh. Perlindungan semacam itu pernah diberikan antara lain kepada Subang Kumanireng Blikololong dan isterinya bernama Belaong Manuk, Sepulo Kelen dan isterinya bernama Lelo, Bei Kelen beserta isteri dan anak-anak mereka, Sedu Kelen, Doweng Kelen, Keba Kelen, Oi Lein, Bare Kumanireng Blikololong.
Selain itu suku Ata Maran pun memberikan tanah untuk tempat tinggal dan tanah untuk dijadikan sumber rejeki sehari-hari kepada orang-orang yang melarikan diri dari kampung asalnya karena alasan tertentu. Tanah juga diberikan kepada masyarakat setempat untuk membangun tempat ibadat (gereja), sekolah, dan pasar. Orang tua Mari Sogen, misalnya, memperoleh tanah pemberian Ata Maran itu. Pada tahun 1979, Ata Maran menyerahkan tanahnya seluas 350 hektar kepada pemerintah Kabupaten Flores Timur untuk dijadikan permukiman baru bagi masyarakat yang kampung atau desanya tertimpa bencana banjir bandang. Tanah seluas itu hanya diimbali dengan Rp 5 juta (lima juta rupiah), yang dapat diperoleh melalui proses perjuangan yang sangat alot. Uang Rp 5 juta itu pun harus dibagikan pula secara adil kepada berbagai pihak terkait.
Menyembuhkan orang sakit juga menjadi tugas khas suku Ata Maran. Memang terdapat pula penyembuh-penyembuh lain di Lewoingu. Tetapi sejarah telah membuktikan bahwa cukup banyak penyakit yang timbul di daerah itu, yang hanya dapat disembuhkan dengan ramuan tradisional yang diwariskan dari nenek moyang Ata Maran. Misalnya, Ata Maran menyelamatkan nyawa banyak orang yang terkena penyakit cacar. Ingatlah, bahwa di masa lalu, ilmu kedokteran belum menemukan obat untuk mengatasi penyakit cacar. Dan di seluruh dunia, banyak orang meninggal akibat serangan cacar. Tapi di Lewoingu, penyakit cacar dapat diatasi degan mudah. Ata Maran pun menolong banyak ibu yang terserang infeksi payu dara serta menyelamatkan bayi-bayi yang sakit akibat gizi buruk. Semua itu dikerjakan dengan senang hati dan cuma-cuma.
Budaya penegakan hak-hak asasi manusia ternyata memiliki akar historis yang sangat kuat di Lewoingu. ***