Kamis, 01 Januari 2009

2009: Tahun Penegakan Hukum

Malam telah turun dan menyelimuti Jakarta, ketika baris ini diketik. Suasana Natal masih terasa. Tapi hari-hari terus berlalu. Dan kini kita sudah berada di awal tahun 2009. Tak lama lagi, fajar pertama di tahun 2009 akan merekah, membawa terang baru bagi kehidupan manusia di dunia ini.

Di Jakarta, detik-detik pergantian tahun ditandai dengan pesta kembang api yang sangat meria. Sesaat setelah memasuki tahun 2009, dari kampung Eputobi meluncur ucapan Selamat Pesta Tahun Baru. Ya, Selamat Pesta Tahun Baru untuk anda yang membaca tulisan ini.

Meskipun diramalkan sebagai tahun yang masih ditandai dengan krisis ekonomi, bagi kami, 2009 merupakan tahun yang penuh harapan, terutama harapan akan penegakan hukum atas kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran. Siapa pun yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan pada Senin malam 30 Juli 2007 diharapkan dapat dibekuk dan ditindak secara hukum. Sepanjang tahun 2008, keluarga korban dan berbagai komponen masyarakat beradab di kampung Eputobi dan sekitarnya telah berusaha agar hukum diterapkan secara jelas dan tegas terhadap mereka yang terlibat langsung atau pun tidak langsung dalam peristiwa pembunuhan tersebut.

Proses penegakan hukum atas kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu sudah mulai diterapkan pada tahun 2008, berdasarkan alat-alat bukti yang cukup. Namun upaya penegakan hukum itu menjadi terkatung-katung oleh hambatan-hambatan tertentu. Sudah menjadi rahasia umum, faktor apa yang menjadi penyebabnya. Tetapi hambatan-hambatan itu bersifat sementara. Dan di tahun 2009 akan dilakukan dobrakan yang lebih kuat agar terjadi terobosan ke arah penindakan hukum secara jelas dan tegas terhadap mereka yang melakukan kejahatan tersebut, termasuk dalang dan aktor intelektualnya, termasuk mereka yang selama ini berusaha menutup-nutupi kejahatan kemanusiaan yang sangat mengerikan itu.

Sampai kapan pun, pihak keluarga korban tidak akan membiarkan kasus pembunuhan itu tidak ditangani secara meyakinkan. Membiarkan kasus kejahatan itu tidak ditangani berarti memberi ruang bagi tumbuh dan berkembangnya kejahatan di kampung Eputobi. Memberi ruang bagi tumbuh dan berkembangnya kejahatan merupakan salah satu bentuk kejahatan. Karena itu, siapa pun penjahat-penjahat Eputobi itu, siapa pun dalang dan aktor intelektual mereka, siapa pun penyandang dana mereka, siapa pun yang membantu mereka dengan cara menutup-nutupi perbuatan jahat yang mereka lakukan itu harus kita hadapi.

Selama ini terdapat sejumlah orang Eputobi baik yang tinggal di kampung Eputobi dan sekitarnya maupun yang berada di perantauan yang membela Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Di antara mereka terdapat dua orang imam dan seorang biarawati asal kampung Eputobi. Si biarawati pernah mengatakan bahwa tidak ada saksi yang menyaksikan bahwa Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Jelas bahwa si biarawati yang satu ini tidak tahu persoalan yang sesungguhnya terjadi, tetapi ikut nimbrung.

Dua orang imam dimaksud pernah tampil di mimbar gereja Santo Yosef Eputobi dalam kesempatan yang berbeda. Dari kata-kata yang terucap di mimbar itu, banyak orang tahu bahwa mereka berpihak kepada kelompok penjahat Eputobi itu. Karena berpihak kepada kelompok penjahat tersebut, salah satunya tak segan-segan, tak malu-malu menggunakan media tertentu untuk menyebarkan fitnah dan celaan terhadap salah seorang anggota keluarga korban. Padahal seorang imam katolik seharusnya menjadi teladan dalam hal-hal yang baik bagi umatnya.

Tipe imam semacam itu yang dianggap baik oleh mereka yang berpihak kepada komplotan penjahat Eputobi itu. Pada suatu hari Minggu, seorang pensiunan guru, yang terkenal pro ke kubu Mikhael Torangama Kelen datang ke gereja stasi Eputobi untuk mengikuti misa. Dikiranya yang memimpin misa pada hari Minggu itu adalah si imam itu tadi. Setelah mengetahui bahwa yang memimpin misa adalah salah seorang dari pastor paroki Lewolaga, dia pun langsung meninggalkan gereja sambil memaki-maki pastor yang sedang memimpin misa itu. Kata-kata yang dia gunakan untuk memaki-maki pastor itu terbilang sangat kotor.

Tanpa disadari, dua orang imam dimaksud, si biarawati, dan si pensiunan guru pun ikut dalam barisan orang-orang yang membesar-besarkan kepala pelaku pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran. Maka tak mengherankan bila orang seperti Mikhael Torangama Kelen dkk pun terus nekad dan ngotot membantah keterlibatan mereka sebagai pelaku utama pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran. Padahal tersedia cukup alat bukti, yang menunjukkan bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itulah yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam, 30 Juli 2007.

Upaya penegakan hukum atas kasus pembunuhan tersebut sejauh ini masih terkendala. Tetapi keluarga korban dan seluruh kekuatan pendukungnya terus berjuang untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Dan kami berharap, 2009 merupakan tahun penegakan hukum atas kasus kejahatan kemanusiaan itu. Diharapkan siapa pun yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam peristiwa pembunuhan tersebut akan ditindak tegas secara hukum. ***