Minggu, 08 Maret 2009

Ceritera di Balik Dua Aksi Unjukrasa di Larantuka

Masih ingat dua kali aksi unjukrasa di Larantuka, yang dikoordinir oleh San Kweng? Unjukrasa pertama dilakukan pada hari Jumat, 18 Desember 2008. Unjukrasa kedua digelar pada hari Kamis, 12 Februari 2009. Tujuan kedua aksi unjukrasa itu sama, yaitu meminta SP3 pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran. Namun kedua unjukrasa itu gagal mencapai hasil. Aksi unjukrasa kedua malah berbuntut pada kekecewaan para pesertanya. Bagaimana tidak kecewa? Apa yang dijanjikan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Perkara pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran tak mungkin di-SP3-kan.

Sebelum unjukrasa pertama, San Kweng menghubungi beberapa wartawan. Salah satu yang dihubungi adalah wartawan tabloid Suara Mandiri. Namun berita tentang aksi unjukrasa yang dimuat di Suara Mandiri mengandung kekeliruan. Di situ dikatakan bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran adalah mantan kepala desa Lewoingu. Padahal semasa hidupnya Yoakim Gresituli Ata Maran tidak pernah menjadi kepala desa Lewoingu. Almarhum juga tidak pernah mencalonkan diri menjadi kepala desa Lewoingu. Suara Mandiri juga memberitakan bahwa keluarga korban berpartisipasi dalam aksi unjukrasa itu. Berita ini sungguh tidak sesuai dengan kenyataan. Tidak ada satu pun anggota keluarga korban yang berpartisipasi dalam unjukrasa tersebut. Mana mungkin anggota keluarga korban mau bekerjasama dengan pihak tersangka untuk mendukung kepentingan mereka?

Dalam dua kali aksi unjukrasa tersebut San Kweng membawa nama PADMA Indonesia. Memang Direktur PADMA Indonesia, Dr. Norbert Betan SVD merestui aksi unjukrasa itu. Maka tak mengherankan bila suara San Kweng seperti dimuat di Pos Kupang tanggal 19 Desember 2008 itu nyambung dengan suara direktur PADMA Indonesia. Tetapi pengetahuan direktur PADMA Indonesia itu tentang kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran kelihatan sangat sedikit. Ini tidak mengherankan mengingat sumber pengetahuannya hanya berasal dari San Kweng. Padahal San Kweng sendiri tidak pernah melakukan investigasi secara luas dan mendalam atas kasus kriminal tersebut. Maka tak mengherankan bila komentar Direktur PADMA Indonesia itu tentang proses penanganan perkara tersebut hingga penangkapan empat orang tersangka itu pun tidak nyambung dengan kenyataan yang terjadi.

Bagi Direktur PADMA Indonesia, penangkapan empat orang tersangka itu hanya berdasarkan ceritera yang direkam dalam kaset. Padahal di dalam kenyataan tidak demikian. Penangkapan Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng itu dilakukan berdasarkan alat-alat bukti yang cukup.

Yang jadi pertanyaan ialah dari mana Direktur PADMA Indonesia itu tahu tentang adanya kaset rekaman termaksud. Ternyata Direktur PADMA Indonesia itu mengaku memiliki rekaman termaksud. Meskipun dia tidak menjelaskan apa isi rekaman yang ada di tangannya, namun mudah diduga bahwa yang dia miliki adalah CD yang berisi rekaman keterangan dari saksi kunci, yang dibuat oleh tim penyidik dari Polda NTT. CD itu dititipkan di Polres Flores Timur untuk kepentingan pemrosesan perkara pembunuhan tersebut. Dan barang itu mestinya tidak boleh diselundupkan keluar Polres Flores Timur.

Beberapa waktu lalu, yaitu pada bulan Januari 2009, kami mendengar berita bahwa CD itu tidak ditemukan lagi di Polres Flores Timur. Nasib CD ini sama dengan nasib berkas-berkas laporan pihak keluarga korban yang disampaikan kepada Kapolres dan Kasat Reskrim Polres Flores Timur sebelum bulan April 2008. Pada waktu itu tak ada berkas laporan dari pihak keluarga korban yang tersisa di file resmi Polres Flores Timur.

Jika Direktur PADMA Indonesia mengaku memiliki rekaman tersebut, tentu ada oknum yang menyelundupkan rekaman tersebut keluar dari Polres Flores Timur. Direktur PADMA Indonesia sendiri berceritera bahwa dia memperoleh rekaman itu dari orang yang bekerja untuk dia. Luar biasa jalinan kerjasama mereka. Melalui San Kweng, tangan PADMA Indonesia ikut mengais-ngais dalam perkara kriminal yang sangat mengerikan itu.

Tujuan segala macam upaya San Kweng adalah membebaskan Mikhael Torangama Kelen dkk itu dari status mereka sebagai tersangka pelaku pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran. Dalam rangka itu, dia perlu masukan-masukan. Di Wureh Adonara, pada suatu hari dia berdiskusi dengan seorang perantau. Si perantau menyarankan dia untuk tidak bicara dulu soal rekonsiliasi sebelum ada kepastian hukum bahwa empat orang tersangka itu bukan pelaku pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran. Mereka sepakat bahwa yang perlu diperjuangkan adalah keputusan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Itulah sebabnya, San Kweng pun berusaha keras untuk meminta SP3. Padahal sebelumnya sudah beberapa kali Pimpinan Polres Flores Timur menjelaskan kepada pihak tersangka bahwa SP3 termaksud tidak bisa diterbitkan.

Tentang tuntutan SP3 itu, Direktur PADMA Indonesia berkomentar bahwa orang (baca: pihak tersangka) berhak meminta SP3. Masa' orang-orang yang berdasarkan alat-alat bukti yang cukup ditetapkan sebagai tersangka pelaku pembunuhan berencana berhak memperoleh SP3? ***