Selasa, 08 September 2009

Ada yang sibuk mencuci tangan, ada yang dikambinghitamkan, ada yang berandai-andai, ada yang berkeluh kesah

 

Setelah berhasil mengerahkan anggota-anggota komplotannya untuk membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran, pada Senin malam 30 Juli 2007, Mikhael Torangama Kelen punya kesibukan-kesibukan tertentu. Salah satu kesibukannya adalah mencuci tangannya yang berlumuran darah korban kebrutalannya itu. Tetapi semakin sering dia berusaha, darah korban kebrutalannya semakin melumuri kedua tangannya itu. Maka setiap tampil di depan masyarakat pendukungnya di Eputobi, dia tak pernah lupa untuk menyampaikan bahwa kedua tangannya itu bersih.

Tangan yang kotor memang perlu dicuci hingga bersih. Tapi tangan yang berlumuran darah orang yang tak bersalah tak bisa dicuci hingga bersih. Lumuran darah di tangannya akan terus dibawa hingga ke liang kuburnya nanti. Seandainya kedua tangannya itu benar-benar bersih, dia tak perlu begitu sibuk menyampaikannya kepada publik. Karena, bersih atau tidaknya kedua tangannya gampang dilihat oleh mata para warga masyarakat di sekitarnya. Gencarnya dia menyampaikan kepada publik bahwa kedua tangannya bersih justru mengindikasikan bahwa kedua tangannya sebenarnya sangat kotor oleh lumuran darah korban kebrutalannya itu. Seseorang yang tidak terlibat aktif dalam peristiwa pembunuhan itu tidak perlu sibuk berkampanye bahwa dirinya tidak terlibat.

Lihatlah betapa tenangnya orang-orang yang oleh kubu Mikhael Torangama Kelen dikambinghitamkan sebagai pelaku pembunuhan pada Senin malam, 30 Juli 2007 itu. Meskipun difitnah sedemikian buruknya, mereka berusaha menghadapinya dengan tenang. Mereka tidak perlu berkasak-kusuk berkampanye untuk membersihkan tangan mereka, karena tangan mereka selama ini bersih. Mereka sendiri tahu, orang-orang terdekat mereka masing-masing tahu, rekan-rekan mereka juga tahu persis di mana mereka berada dan apa yang mereka lakukan pada Senin malam 30 Juli 2007 di kampung Eputobi. Sejak sore hingga malam hari itu sampai pagi hari berikutnya mereka berada di kampung Eputobi. Pada Senin malam 30 Juli 2007, beberapa di antara mereka yang dikambinghitamkan itu menonton televisi di rumah Yosef Kehuler sambil menunggu kedatangan sahabat dan saudara mereka Yoakim Gresituli Ata Maran. Yang lain berada di rumah mereka masing-masing.

Tetapi di manakah Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng berada pada malam hari itu? Heheeee… Di buku tamu eputobi.net, Donatus Doni Kumanireng pernah berusaha menjawab pertanyaan tersebut. Tetapi di dalam kenyataan, jawabannya itu asal bunyi. Meskipun asal bunyi, dia sebenarnya menyampaikan bahwa pada Senin malam 30 Juli 2007, Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng sempat tidak berada di kampung Eputobi. Pada selasa pagi, 31 Juli 2007, di Eputobi, Sedu-Doweng Kelen, bapak kecil dari Mikhael Torangama Kelen, berceritera bahwa wia bau’ung kame pusa mang lali Blou (tadi malam kami injak padi di Blou).

Fitnah yang disebarkan oleh para penjahat itu akhirnya sampai juga ke kuping oknum-oknum polisi tertentu, termasuk ke kuping seorang oknum polisi yang mengaku ditugaskan menangani perkara pembunuhan tersebut. Tanpa mengikuti secara cermat jalan ceritera pembunuhan tersebut, tanpa melakukan analisa yang mendalam atas berbagai informasi terkait, oknum polisi yang bersangkutan pun berandai-andai …………………. 

Beberapa waktu lalu kepada salah seorang yang namanya dikambinghitamkan sebagai salah seorang tersangka pelaku kejahatan di Blou, oleh kubu Mikhael Torangama Kelen, oknum polisi yang bersangkutan bertanya begini, “Bagaimana seandainya dalam perkembangan nanti pak ini jadi tersangka?” Lantas oknum polisi yang bersangkutan pun sempat berkata begini, “Jangan-jangan pak ini dijebak oleh keluarga Ata Maran.”

Pengandaian tersebut di atas jelas keliru, karena tidak sesuai dengan kenyataan. Begitu pula halnya dengan dugaan bahwa Ata Maran menjebak orang dalam kasus pembunuhan salah seorang anggota keluarganya itu. Keluarga Ata Maran itu menjadi korban kebrutalan dari komplotan penjahat Eputobi yang dipimpin oleh Mikhael Torangama Kelen, masa’ keluarga Ata Maran diandaikan menjebak orang yang terbilang bagian dari keluarganya sendiri?

Jika oknum polisi yang bersangkutan berandai-andai seperti tertera di atas, seorang oknum polisi lainnya sempat berkeluh kesah. Dia antara lain berkeluh kesah tentang TKP yang sudah hancur, dan tentang tidak kooperatifnya pihak keluarga korban dengan polisi. Dan masih ada keluhan-keluhan lain yang pada dasarnya tidak patut dikeluhkan oleh seorang anggota kepolisian negara RI.

Dengan tegas oknum polisi yang satu ini pun mengatakan bahwa baru kali ini dia menemukan adanya keluarga korban yang paling tidak kooperatif dengan polisi. Oknum polisi yang satu ini pun berceritera, bahwa pihak tersangka lebih kooperatif dan berkoordinasi dengan polisi. Luar biasa…., bukan, ceriteranya yang polos dan apa adanya ini? Lalu orang ini pun bilang dia dan pihaknya berposisi netral. Padahal dalam menghadapi kasus kejahatan, polisi patut berpihak pada kebenaran.

Dalam berurusan dengan polisi dalam rangka pengungkapan kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran, baru kali ini keluarga korban mendapat penilaian buruk semacam itu. Kapolres Flores Timur dan anggota-anggota polisi lain yang secara profesional melakukan pengusutan kasus kejahatan besar tersebut tidak membuat penilaian semacam itu terhadap keluarga korban. Kapolda NTT, Direktur Reskrim Polda NTT, Kapolri, Kepala Bagian Reskrim Mabes Polri, Presiden RI, dan lembaga-lembaga lain di republik ini yang mendapat laporan-laporan dari keluarga korban tentang kasus pembunuhan tersebut pun tidak pernah menilai negatif keluarga korban. Laporan-laporan dari keluarga korban justru sangat membantu polisi untuk menangani kasus pembunuhan tersebut.

Pengungkapan kasus itu di media elektronik seperti internet pun bermanfaat bagi pencegahan terulangnya perbuatan keji oleh Mikhael Torangama Kelen dkk. Cara itu pun ditempuh karena adanya upaya-upaya konkret dari oknum-oknum polisi tertentu di Polres Flores Timur untuk menutup kasus pembunuhan tersebut, tanpa melalui proses pengusutan. Berbulan-bulan lamanya laporan-laporan keluarga korban tidak diperhatikan. Padahal indikasi-indikasi awal tentang terjadinya pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran sangat jelas. 

Mengapa penanganan perkara kejahatan besar itu dibiarkan berlarut-larut, padahal ujung pangkal dari perkara tersebut sudah terang benderang? Wajarkah para tersangka dan rekan-rekan mereka yang juga terindikasi terlibat dalam kasus pembunuhan tersebut masih juga dibiarkan bebas berkeliaran? Bukankah memberantas kejahatan merupakan tugas polisi?

Ketimbang membuang waktu dengan berandai-andai yang tidak sesuai dengan kenyataan, daripada hanya berkeluh-kesah tanpa dasar yang jelas, oknum-oknum polisi yang bersangkutan sebaiknya berusaha menunjukkan prestasi terbaik mereka masing-masing dalam membongkar kasus kejahatan besar itu. Masa’ kasus kejahatan yang sudah demikian jelas ujung pangkalnya itu masih juga dianggap belum jelas. Jika aparat kepolisian setempat mau bekerja secara serius dan penuh tanggung jawab, dalam tempo 30 hari, seluruh aspek kriminal dari kematian Yoakim Gresituli Ata Maran bisa terungkap seluruhnya. ***