Kamis, 24 September 2009

Ke mana larinya dana dari tanah rantau itu?

 

Adalah Donatus Doni Kumanireng, seorang pensiunan pegawai negeri sipil, yang tinggal di Kupang, NTT, yang pernah tampil sebagai salah seorang penggalang dana, setelah Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng ditangkap dan ditahan di Polres Flores Timur karena keterlibatan mereka dalam peristiwa pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam. 30 Juli 2007. Bermodalkan hanphone, orang ini berusaha menghubungi orang-orang yang dianggapnya dapat memberikan sokongan dana bagi urusan kriminal yang sedang dihadapi oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu. Permintaan sumbangan dana untuk urusan kriminal tersebut menjangkau pula sejumlah orang di tanah rantau.

Selain Donatus Doni Kumanireng orang lain dalam kubu mereka pun berusaha menggalang dana untuk urusan yang sama. Dalam hal itu mereka tampak kompak. Mungkin karena mereka merasa senasib, maka mereka pun merasa perlu untuk sepenanggungan dalam hal biaya.

Upaya mereka sempat membuahkan hasil. Dana dari tanah rantau, misalnya, mengalir deras ke sebuah rekening di sebuah bank di kota Larantuka, Flores Timur. Pemilik rekening itu adalah seseorang dari kampung Eputobi yang mulutnya terkenal bacot. Tapi hingga kini para perantau pengirim dana itu belum tahu untuk apa saja uang yang mereka kirim sebanyak beberapa kali itu digunakan. Para anggota keluarga mereka yang di kampung Eputobi pun belum tahu berapa banyak uang yang pernah mendarat di rekening tersebut. Mereka juga tidak tahu ke kantong siapa saja uang itu mengalir. Tapi si pemilik rekening tentu tahu ke mana uang itu disebarkan.

Mungkin karena berpegang pada prinsip senasib dan sepenanggungan itu tadi, maka mereka pun, selama ini, berusaha untuk tutup mulut. Tapi yang namanya uang itu tidak hanya dipakai untuk menutup mulut. Uang juga bisa membuat orang buka mulut selebar-lebarnya, apalagi dalam urusan itu terjadi ketidakadilan, atau terjadi penyalahgunaan.

Ikut bergotong royong untuk menutup-nutupi kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya adalah cara yang selama ini ditempuh oleh sejumlah orang baik yang bermukim di kampung Eputobi maupun yang bermukim di luarnya, termasuk yang merantau ke negeri orang. Tetapi yang namanya kejahatan itu tak bisa ditutup-tutupi. Di Boru, ibukota kecamatan Wulanggitang, sekian tahun lalu, misalnya, suatu kasus pembunuhan yang melibatkan oknum polisi tertentu sebagai pelakunya coba ditutup rapat.  Tetapi upaya itu akhirnya sia-sia. Tiga tahun kemudian, kasus kejahatan itu akhirnya terungkap seluruhnya. Oknum polisi yang terlibat itu pun ditindak tegas. Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak membutuhkan oknum polisi yang merangkap sebagai penjahat itu.

Makin lama makin kelihatan bahwa faktor fulus itu berbicara banyak dalam urusan yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek kejahatan di Blou dan hal-hal terkait sesudahnya. Kekuatan fulus itu pula yang sempat disinggung oleh kepala komplotan penjahat Eputobi itu dalam suatu pertemuan yang digelar di Polres Flores Timur pada bulan Oktober 2007.

Tetapi hendaklah diingat, bahwa siapa yang bermain uang dia akan mati oleh uang. Siapa yang ikut menyumbangkan uangnya untuk urusan tersebut pun akan terkena akibat buruknya. Sedangkan di antara yang menerima uang haram itu pun ada yang sudah merasakan akibatnya yang mengerikan. Ceritera mengerikan itu dengan sendirinya akan terulang pada setiap mata rantai aliran dana-dana yang dipakai untuk menutup-nutupi kejahatan tersebut. ***