Kamis, 15 Oktober 2009

Penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu perlu dilaporkan ke pihak berwajib

 

Di Polres Flores Timur, seorang anggota polisi pernah menyinggung tentang informasi mengenai adanya indikasi korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen. Entah dari mana informasi itu dia peroleh, yang jelas perbuatan menyalahgunakan keuangan desa Lewoingu oleh Mikhael Torangama Kelen telah dikonfirmasi oleh Ketua Banwas Daerah Flores Timur di kantor Bupati Flores Timur pada bulan Januari 2008. Jumlah uang yang disalahgunakan oleh Mikhael Torangama Kelen mencapai angka Rp 14 juta. Angka ini diperoleh dari hasil audit sementara yang dilakukan oleh Tim Banwasda Flores Timur. Angka itu bisa jadi membengkak, jika pekerjaan audit tersebut diteruskan hingga tuntas. Tetapi di dalam kenyataan, pekerjaan audit itu berhenti di tengah jalan. Usul agar proses audit atas Mikhael Torangama Kelen dilanjutkan tidak mendapat tanggapan hingga kini.

Sebelum Kepala Banwasda Flores Timur menyampaikan laporan tentang hasil audit tersebut, di Bagian Tata Pemerintahan di kantor Bupati Flores Timur, sudah terjadi kasak-kusuk oleh oknum-oknum staf tertentu untuk menggoalkan rencana pelantikan Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu. Pada bulan Oktober 2007, seorang staf di bagian tersebut mengusulkan begini, “Jadwal pelantikan kepala desa Lewoingu sudah disusun. Biarlah dia dilantik dahulu. Setelah itu baru diturunkan lagi.” Usul aneh itu dia kemukakan setelah dia mendengar informasi bahwa Mikhael Torangama Kelen terindikasi melakukan korupsi dan terlibat dalam perkara pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran.

Ketika keberatan atas rencana pelantikan Mikhael Torangama Kelen ingin disampaikan kepada Bupati Flores Timur, seseorang yang mengaku diri sebagai protokoler, dengan kasar menanggapi bahwa Mikhael Torangama Kelen itu telah dipilih oleh warga, jadi rencana pelantikan itu tak bisa dibatalkan. Dari nada pembicaraannya, tampak jelas bahwa si protokoler yang satu ini bersemangat membela orang yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran itu. Semangat semacam itu tentu dipicu oleh faktor tertentu.

Mengetahui adanya indikasi praktek korupsi dan keterlibatan Mikhael Torangama Kelen dalam peristiwa pembunuhan tersebut, seorang pejabat di lingkungan kantor Bupati Flores Timur berusaha untuk mengkensel kalau perlu membatalkan rencana pelantikan tersebut. Tetapi pada akhirnya suaranya tidak diindahkan oleh para pengambil keputusan politik di kantor daerah Flores Timur itu. Pejabat yang bersangkutan malah tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Ini aneh tapi nyata.

Bupati yang sebelumnya terkesan konsisten dengan pelaksanaan peraturan terkait dan berusaha menjalankan pemerintahan secara bersih dan berwibawa, malah menyetujui usul pelantikan tersebut. Padahal Bupati sendiri sudah mengetahui bahwa pelaksanaan pemilihan kepala desa Lewoingu pada Selasa, 27 Maret 2007 itu cacat hukum, bahwa Mikhael Torangama Kelen secara jelas terindikasi melakukan korupsi, dan bahwa Mikhael Torangama Kelen juga terindikasi menjadi tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Pada hari Rabu, 16 Januari 2008, Bupati Flores Timur itu mundur dari konsistensi dan tekadnya tersebut. Bersama rombongannya, pada hari itu, dia meluncur ke Eputobi untuk melantik Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu. Pelantikan itu bersyarat. Salah satu syaratnya ialah bahwa dalam tempo enam bulan, Mikhael Torangama Kelen harus mengembalikan uang sebesar Rp 14 juta yang disalahgunakannya itu.  Apakah syarat itu sudah dipenuhi atau belum dipenuhi, tidak jelas hingga kini.

Penyelesaian ala Bupati Flores Timur itu jelas bertentangan dengan semangat reformasi, juga berlawanan dengan semangat presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberantas korupsi. Yang seharusnya dilakukan oleh Simon Hayon pada waktu itu ialah menunda atau kalau perlu membatalkan pelantikan tersebut, dan meneruskan kasus penyalahgunaan uang oleh Mikhael Torangama Kelen itu ke Kejaksaan Negeri Larantuka. Tetapi hal itu tidak dia lakukan, sehingga dapat menjadi preseden buruk di kemudian hari.

Dari metode penyelesaian tersebut, orang dapat belajar bahwa melakukan korupsi tidak apa-apa, kalau ketahuan, ya diaturlah sedemikian rupa agar tidak perlu diproses secara hukum, yang penting uang yang sudah dikorupsi dapat dikembalikan. Padahal pernah terjadi di Sumatra Utara, seorang pejabat dipenjara karena mengkorupsi uang sebesar Rp 1 juta. Ada sejumlah kepala desa pun dipenjara gara-gara menyalahgunakan raskin dan mengorupsi uang bantuan langsung tunai dan uang-uang lainnya.

Setelah mendengar bahwa korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen itu bukan sekedar isu, anggota polisi itu tadi pun mengusulkan agar masyarakat Eputobi melakukan unjuk rasa di kantor Bupati untuk memprotes pelantikan orang itu sebagai kepala desa Lewoingu. Sebelum usul itu dikemukakan, perwakilan dari kubu oposisi desa Lewoingu sudah berulang kali menyampaikan protes mereka secara terhormat ke Bupati Flores Timur. Mereka menolak rencana pelantikan Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu berdasarkan alasan hukum dan moral yang jelas. Tetapi upaya mereka itu akhirnya tidak mendapat tanggapan positif dari Bupati Flores Timur.

Anggota polisi yang bersangkutan pun merasa heran dengan langkah Bupati Flores Timur yang mengaktifkan kembali seorang tersangka pelaku pembunuhan berencana itu sebagai kepala desa Lewoingu pada tanggal 23 Januari 2009. Keputusan Simon Hayon untuk mengaktifkan kembali Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu itu dibuat tanpa koordinasi dengan Kepala Polres Flores Timur. Keputusan Bupati tersebut mengecewakan berbagai pihak dan kalangan yang menghendaki tegaknya kebenaran dan keadilan di bumi Flores Timur.

Yang perlu diperhatikan ialah bahwa kasus kejahatan seperti korupsi itu dapat ditangani secara hukum. Sambil menunggu perkembangan lebih lanjut dari penanganan perkara pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran, kasus penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen itu dapat dilaporkan ke pihak berwajib, baik kepada kantor kepolisian setempat maupun ke Kejaksaan Negeri Larantuka. Jika laporan tersebut tidak mendapat tanggapan positif dari pihak berwajib setempat, laporan dapat disampaikan ke aparat penegak hukum yang lebih tinggi, yaitu ke Kupang dan ke Jakarta. Dalam rangka itu perlu dibangun kerja sama dengan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang mempunyai kepudulian real atas pemberantasan korupsi dari bumi Nusantara. Ingatlah bahwa daya rusak korupsi itu jauh lebih besar ketimbang terorisme.

Saya berharap ada anggota polisi di Polres Flores Timur yang membaca tulisan ini, sehingga tahu bahwa Mikhael Torangama Kelen itu tidak hanya terlibat dalam perkara pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran. Dia jelas terindikasi melakukan korupsi. Upaya pembongkaran kasus korupsi yang dilakukannya oleh kubu oposisi di desa Lewoingu pada tahun 2007, menjadi salah satu alasan tersembunyi di balik pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran. Oh ya, ada lagi informasi yang perlu diketahui, yaitu bahwa Mikhael Torangama Kelen adalah orang yang di masa lalu pernah memimpin aksi pengeroyokan terhadap seorang anggota polisi di Boru. Orang ini juga menjadi penyebab terjadinya perkelahian antara kampung Eputobi dengan kampung Leworook sekian tahun lalu.

Saya berharap tulisan ini dapat mendorong anggota-anggota polisi tertentu di Polres Flores Timur untuk mulai menaruh perhatian real pada kasus korupsi tersebut. Dari situ, anda-anda dengan mudah menemukan kaitan logis antara kedua kasus tersebut. ***