Senin, 19 Oktober 2009

Ke Sukutukang mereka pernah coba mengadu nasib

 

Berbagai cara ingin ditempuh oleh Mikhael Torangama Kelen dkk untuk menutup-nutupi perbuatan sangat keji yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007. Jalan ke Sukutukang pun pernah mereka coba tempuh, beberapa waktu lalu. Sebelum meluncur ke sana, Mikhael Torangama Kelen dan Evi Kumanireng berharap akan memperoleh  bantuan sesuai keinginan mereka.

Tetapi di Sukutukang kedua orang itu menjadi tak berkutik. Bahkan untuk mengeluarkan sepatah kata pun mereka tak mampu. Padahal di kampung Eputobi, kedua orang itu terkenal boros dengan kata-kata yang “aduhai” rasanya. Di Sukutukang dunia mereka menjadi terbalik. Di situ tak ada kata yang dapat mereka ucapkan. Di situ pun tak ada senyum yang bisa mengembang di bibir mereka masing-masing. Di situ tangan-tangan mereka pun tak kuasa untuk saling menepuk.

Masih segar dalam ingatan banyak orang yang hadir di pasar Eputobi, pada hari Jumat, 26 Oktober 2007, tentang tepuk tangan dan sorak kegembiraan di kubu Mikhael Torangama Kelen setelah mereka mendengar pernyataan K. Melki Bagailan bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu murni karena kecelakaan lalulintas. Seusai pertemuan yang digelar untuk menyebarkan kebohongan itu, mereka saling berjabat tangan. Di antara mereka ada yang mengeluarkan kata-kata, “Sudah beres.” Sebelum dan sesudah pertemuan itu, K. Melki Bagailan dan anggota-anggota timnya beramahtamah di rumah Mikhael Torangama Kelen. Di situ senyum ceria saling mengembang.

Oleh Mikhael Torangama Kelen dkk, hari-hari sesudah pertemuan itu diisi dengan banyak usaha untuk menumbuhkan rasa percaya diri, untuk menimbulkan kesan bahwa bukan mereka yang melakukan perbuatan sangat keji di Blou pada malam itu. Untuk itu, mereka tak segan-segan mengkambinghitamkan orang-orang lain sebagai pelaku kejahatan yang sangat mengerikan itu. Di gereja St. Yosef Eputobi, para tersangka itu pun dengan enteng membawa kaki mereka ke depan untuk menerima komuni dari imam yang mempersembahkan misa. Lantas dengan congkak, Mikhael Torangama Kelen pun pernah mengatakan begini, “Biar kalian sembahyang seraya tengadah ke langit dan membungkuk ke tanah pun, kalian tak akan membuat saya masuk bui.” Lantas kepada Arnold Manuk yang sedang berlibur di Eputobi, dia pun sempat menyatakan diri sebagai bukan pelaku pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran seraya mengeluarkan air matanya. Suara “alim” dan air matanya pada hari itu berhasil mengecoh orang yang berada di hadapannya itu. Dalam upacara 17 Agustus 2009 di lapangan sepak bola di Eputobi, dia pun sempat melontarkan tuduhan terhadap orang lain sebagai pengacau kampung Eputobi. 

Tetapi di Sukutukang pada suatu hari lain, segala macam kecohan yang selama ini dia mainkan tak sanggup dia perlihatkan. Berbagai ilmu dan jurus yang selama ini dia andalkan pun tak mampu dia kerahkan. Mirip boneka, kedua orang itu membisu, mematung, tanpa suara, tanpa kata-kata di rumah yang asing bagi mereka itu. Yang punya rumah tahu mengapa keadaan demikian dapat terjadi pada kedua orang itu. Kepada mereka, dia hanya berkata begini, “Saya tidak perlu mengatakan kepada kalian kesalahan apa yang kalian lakukan. Pulang saja dulu, dan pikirkan baik-baik. Kalau punya kesalahan terhadap orang-orang lain, akui kesalahan kepada orang-orang yang bersangkutan dan minta maaf kepada mereka.”

Mendengar itu, kedua orang itu pun mundur teratur dari rumah itu, tanpa suara, tanpa kata. Mereka kembali ke Eputobi, ke kampung yang telah mereka legamkan dengan segala macam cara. Tapi apakah Mikhael Torangama Kelen sadar akan kesalahan (baca kejahatan) sangat besar yang dia dkk telah lakukan itu? ***