Jumat, 04 September 2009

Mewaspadai rancangan destruktif badut-badut politik adat di Lewowerang-Lewoingu

 

Selain mengadakan upacara adat tertentu di sebuah rumah di dekat lapangan sepak bola di Eputobi, kubu Mikhael Torangama Kelen beberapa waktu  lalu pun berkumpul di epu di tobi yang terletak di tengah kampung tersebut. Di situ mereka makan mukang (rengki). Acara makan bersama itu merupakan rangkaian dari upacara 30 helai bulu kambing. 30 helai bulu kambing itu mereka jadikan lambang untuk 30 orang dari pihak lawan yang konon dijadikan target untuk mati.

Tampaknya sudah menjadi kebiasaan kelompok tersebut untuk merancang kematian orang-orang yang dianggap sebagai lawan melalui upacara-upacra seperti (kepasa) sumpah, dan semacamnya. Tetapi di dalam kenyataan, upacara-upacara yang bertujuan kriminal semacam itu tidak pernah mempan. Kepada mereka perlu ditegaskan bahwa upacara semacam itu akan berdaya efektif, jika didasarkan pada kebenaran. Sedangkan upacara-upacara yang mereka lakukan selama ini bertujuan untuk menutup-nutupi pembunuhan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya pada Senin malam, 30 Juli 2007 di Blou. Di dalam kenyataan, upacara-upacara semacam itu malah memangsa orang-orang dalam kubu mereka sendiri. Kenyataan semacam itu mestinya menyadarkan mereka. Tetapi kesadaran itu tampaknya tak ada lagi dalam diri mereka.

Biar saja mereka terus nekad untuk mempertahankan cara-cara semacam itu. Dan kita-kita yang lain biar jadi penonton setia yang menyaksikan apa saja yang bakal terjadi pada mereka. Ingatlah bahwa siapa yang merancang kematian bagi orang-orang yang tidak bersalah akan dimangsa oleh sang kematian dengan cara yang mengerikan. Itu adalah hukum alam yang sudah lazim berlaku dalam sejarah manusia. Alam semesta tidak akan membiarkan orang-orang yang tidak bersalah itu menjadi korban dari penyalahgunaan adat istiadat itu.  Jika mereka terus nekad dengan rancangan kriminal semacam itu, maka sang kematian pun akan datang dan memilih mereka satu per satu seperti halnya orang memilih buah-buah lontar yang matang, yang jatuh bertebaran di tanah.

Sebagai bagian dari kenekadan konyol semacam itu, belakangan ini mereka pun mulai mewacanakan perlunya pengangkatan Kebele’eng Rayahang baru sesuai selera mereka. Di antara mereka ada yang mulai mengusulkan agar dibentuk formasi baru untuk Koten, Kelen, Hurit, Maran. Tetapi di antara mereka pun ada yang belum berani menyetujui usul semacam itu.

Dengan mengajukan usul semacam itu mereka menampilkan diri sebagai badut-badut politik adat, yang makin lama makin tak tahu diri. Masyarakat adat sejati Lewoingu perlu mewaspadai agar badut-badut itu tidak melanjutkan upaya mereka untuk merusak tatanan adat Lewowerang-Lewoingu. ***