Jumat, 12 Februari 2010

Ceritera tentang pesta di kubur

 

Pada suatu malam yang dingin berkumpul sejumlah orang di suatu kubur di suatu kampung di suatu pulau terpencil. Dengan setelan hitam-hitam mereka berdiri mengelilingi kubur bisu. Dari luar kubur itu tampak molek berdandankan keramik-keramik indah. Tetapi di dalamnya tersimpan bangkai-bangkai busuk. Dari situ aroma busuk menyebar tanpa bisa dicegah.

Untuk apa mereka berkumpul di situ di malam yang dingin ketika para warga kampung itu hendak berangkat ke peristirahatan malam? Ternyata mereka mau berpesta pora. Lihatlah di situ sudah disiapkan berbagai peralatan musik lengkap dengan para artisnya. Hidangan lezat pun sudah disediakan di atas meja perjamuan malam. Untuk menghangatkan badan tersedia beberapa kumbang arak.

Yang tidak tersedia adalah alat penerang. Sesuai dengan syarat yang disepakati, pesta itu harus diselenggarakan dalam gelap. Karena itu sebelum datang terang pagi hari berikutnya, pesta pun harus sudah berakhir. Dengan demikian setiap peserta pesta itu dapat kembali ke tempat tinggal mereka masing-masing dalam keadaan aman. Jika sampai kedapatan terang matahari, maka tak ada satu pun dari mereka yang dapat menemukan jalan untuk kembali ke rumahnya.

Dalam gelap mereka berpesta pora. Setelah menyantap hidangan, dan meminum arak mereka menari-nari, berjingkrak-jingkrak di seputar kubur itu, mengikuti irama musik yang makin lama makin merangsang nafsu mereka untuk bergoyang-goyang. Tetapi pada malam itu tak ada goyangan rokatenda apalagi poco-poco. Tak ada pula goyangan dangdut, apalagi jaipongan. Yang ada hanyalah goyang-goyangan maut. Yang dipentaskan pada malam itu hanyalah tarian-tarian kematian yang sangat digemari  oleh para iblis.

Ikut bergoyang-goyang pada malam itu dua ekor anjing hitam besar. Mereka berasal dari alam lain. Dan hampir saban tengah malam selama beberapa tahun terakhir mereka berpatroli di lorong-lorong kampung itu. Kehadiran mereka biasanya ditandai dengan suara lolongan sahut menyahut anjing-anjing lainnya. Jika ada suara lolongan anjing, maka penduduk kampung itu tahu bahwa ada setan yang sedang berpatroli. Kalau sudah begitu hanya orang-orang bermental baja yang berani keluar rumah untuk mengintai apa yang sesungguhnya terjadi.

Tetapi dalam acara pesta itu tak terdengar sedikit pun suara lolongan anjing. Di situ kedua ekor anjing hitam itu hanya ikut bergoyang-goyang sambil mengibas-ngibaskan ekor mereka masing-masing, tanda bahwa mereka pun gembira dan puas. Sesekali kedua anjing itu menongolkan taring-taring mereka, sekedar pamer bahwa taring-taring mereka masih ada. Tetapi taring-taring mereka ternyata sudah tumpul, dan gigi gerigi lainnya sudah keropos. Tumpulnya taring-taring mereka membuat mereka hanya bisa menggertak lawan tetapi tak bisa mencabik-cabiknya. Keroposnya gigi gerigi mereka membuat mereka tak bisa lagi bisa menggigit dan mengunyah mangsa-mangsa mereka. Tak lama lagi mereka pasti menjadi anjing-anjing ompong. Ketika saatnya tiba mereka pasti menjadi bahan tertawaan masyarakat setempat.

Malam semakin larut. Pesta pun terus berlanjut. “Ayo, goyang terus sampai pagi.” Begitu teriak beberapa peserta pesta yang sudah dimabuk oleh air kata-kata. “Ayo, goyang terus sampai pagi.” Sahut yang lain.

Musik terus dimainkan. Goyangan-goyangan maut pun terus dipertontonkan. Dingin malam tak lagi terasa. Gairah untuk terus bergoyang dan bermabuk ria tak bisa distop. Karena terlalu asyik bergoyang-goyang, mereka lupa waktu. Mereka terus bergoyang hingga datang terang di pagi hari yang baru.

Begitu terang mulai menampakkan dirinya di ufuk timur, kedua ekor anjing langsung meloncat agar dapat kembali ke alamnya. Mereka tiba-tiba lenyap dari arena pesta. Tetapi para peserta lainnya terangkap oleh terang hari yang baru itu.  Begitu datang terang, gemuruh pesta pun langsung lenyap dan semua peserta pesta itu pun rebah ke tanah dan langsung terlelap. Tak lama kemudian tubuh-tubuh yang terlelap itu pun lenyap dari pandangan mata masyarakat sekitar. Yang nampak di situ adalah potongan-potongan kayu kering. Oleh masyakarat setempat potongan-potongan kayu kering itu dikumpulkan lalu dibakar di samping kubur itu. Api menghanguskan setiap potongan kayu situ. Bahkan debu-debunya pun tuntas dilahap api.

Tak lama kemudian beredar berita tentang kematian orang-orang yang berpesta pora sepanjang malam di kubur itu. Malaikat kematian berjalan dari lorong ke lorong, dari rumah ke rumah mereka untuk mencabut nyawa mereka satu per satu. Tubuh-tubuh mereka yang sudah tak bernyawa dikuburkan di suatu tempat. Sedangkan jiwa mereka dibuang ke dalam lautan api kekal. Di situ pesta pora kematian mereka rayakan untuk selama-lamanya bersama  para anjing hitam serta para ular beludak yang selama ini mereka sembah. Tapi di situ tak ada sedikit pun tawa ria. Yang ada di situ hanya ratap tangis abadi. ***