Jumat, 19 Februari 2010

Ini nyawa, bukan uang atau harta

 

Saban hari, sejak beberapa waktu lalu, Mikhael Torangama Kelen, tersangka kasus Blou, yang oleh Bupati Flores Timur diaktifkan kembali sebagai kepala desa Lewoingu, “dikuliahi” oleh seorang anak muda tentang pentingnya tanggung jawab.  Ya, setiap hari, anak muda itu mendesak Mikhael Torangama Kelen untuk bertanggung jawab. Kepada Mikhael Torangama Kelen, anak muda itu sering mengingatkan begini, “Ini nyawa, bukan uang dan harta. Maka engkau harus bertanggung jawab; engkau harus jujur.”

Tuntutan semacam itu berulang kali disuarakannya di hadapan orang-orang yang menyaksikannya. Mulanya banyak orang tak menaruh perhatian pada apa yang dikatakannya, karena dia dianggap sedang menderita “sakit kepala.” Tetapi karena tuntutannya itu terus menerus disuarakannya secara konsisten disertai dengan peragaan-peragaan yang cocok dengan apa yang terjadi di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007, banyak orang lantas memberikan perhatian khusus padanya.

Yang jadi pertanyaan banyak orang di Eputobi ialah, dari mana kata-kata semacam itu dia peroleh? Dan, bagaimana mungkin dia bisa memperagakan apa yang terjadi di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007? Padahal pada malam, ketika Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya beraksi di Blou, anak muda itu tidak berada di kampung Eputobi. Waktu itu dia berada di tanah rantau, jauh dari kampung halamannya. Karena mengalami gangguan kesehatan dia kembali ke Eputobi dan lebih banyak berdiam di rumah kedua orangtuanya. Baru belakangan ini dia keluar rumah dan mempertontonkan sesuatu yang berhasil menyedot perhatian banyak orang.

Jawaban atas dua pertanyaan tertera di atas belum dapat ditemukan. Yang jelas sejak kembali dari tanah rantau anak muda itu dikenal sebagai orang yang menderita “sakit kepala.” Tetapi apa yang disuarakannya dan diperagakannya klop betul dengan fakta-fakta yang terjadi pada Senin malam, 30 Juli 2007 di Blou yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur itu. Karena itu, banyak orang mulai melihat apa yang dikatakan dan diperagakannya sebagai suatu keanehan yang masuk akal.

Dia menuntut tanggung jawab terutama dari orang yang memimpin aksi pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran. Tanggung jawab itu dia tuntut, karena yang dicabut dari tanah di Blou itu adalah nyawa seorang anak manusia. Tanggung jawab itu dituntut, karena yang ditumpahkan di Blou pada malam itu adalah darah manusia. Darah dan nyawa manusia itu tak boleh dikorbankan oleh siapapun demi apapun. Maka kepada Mikhael Torangama Kelen, dia menegaskan, “Ini nyawa, ini darah, maka engkau harus bertanggung jawab; ini bukan uang atau harta.”

Memang, uang dan harta dapat anda korbankan demi kepentingan atau tujuan anda, karena uang dan harta itu sarana bagi kepentingan dan tujuan manusia. Tetapi anda sama sekali tak berhak, tak berwenang untuk mengorbankan darah dan nyawa orang lain demi kepentingan atau tujuan anda. Setiap manusia adalah makhluk yang bermartabat luhur, yang memiliki tujuan pada dirinya sendiri. Manusia bukanlah sarana bagi pemenuhan kepentingan atau tujuan sesamanya. Karena anda telah berani menumpahkan darah orang dan berani pula mencabut nyawanya, maka anda dituntut untuk mempertanggungjawabkannya.

Tuntutan tersebut berlaku tidak hanya bagi Mikhael Torangama Kelen, tetapi berlaku juga bagi setiap anggota komplotannya yang beraksi di Blou dan bagi aktor-aktor intelektual serta penyandang dananya, bahkan berlaku juga bagi siapa pun yang terlibat dalam konspirasi untuk menutup-nutupi kejahatan tersebut. Tetapi alangkah eloknya, bila Mikhael Torangama Kelen berani maju untuk menjadi contoh pelaksanaan tanggung jawab itu. Jika ini terjadi, maka masyarakat Eputobi akan mengenang dia sebagai kepala desa yang berani membunuh orang, dan berani pula mempertanggungjawabkan perbuatan jahatnya itu secara hukum. ***