Senin, 01 Februari 2010

JPU itu (Gerson Saudila) layak diganti

 

Salah satu ganjalan yang menyebabkan berlarut-larutnya proses hukum terhadap para tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Atamaran adalah terus dikembalikannya berkas perkara pembunuhan tersebut oleh Jaksa Penuntut Umum bernama Gerson Saudila SH kepada penyidik Polres Flores Timur. Pengembalian berkas perkara tersebut untuk kelima kalinya terbilang aneh bin ajaib. Dikatakan aneh bin ajaib karena berkas tersebut, menurut penyidik, sudah dilengkapi dengan alat-alat bukti yang cukup. Jika kita memperhatikan jumlah saksi dan alat bukti lainnya, maka kecukupan alat bukti seperti disinyalir oleh penyidik itu patut diakui kebenarannya.

Yang juga mengherankan ialah cara kerja si JPU yang bersangkutan yang melatari pengembalian berkas perkara pembunuhan tersebut untuk kelima kalinya. Begini ceriteranya. Pada tanggal 24 Februari 2009, penyidik menyerahkan untuk kelima kalinya berkas perkara pembunuhan dengan tersangka Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tole Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng ke Kejaksaan Negeri Larantuka. Menurut KUHAP, jika berkas tersebut dipandang belum sempurna, dalam tempo empat belas hari, berkas tersebut sudah dikembalikan ke penyidik disertai dengan petunjuk agar penyidik dapat melengkapi apa-apa yang dianggap masih kurang. 

Ternyata ketentuan itu tidak diindahkan sama sekali oleh Gerson Saudila. Berkas tersebut dipendamnya di lacinya di Kejaksaan Negeri Larantuka hingga tanggal 6 Mei 2009, dengan catatan pada tanggal 3 April 2009, pihak penyidik Polres Flores Timur menerima sepucuk surat yang menyampaikan bahwa penyidik perlu mencari lagi satu saksi mata. Pengembalian berkas perkara pada tanggal 6 Mei 2009 itu dilakukan setelah salah seorang anggota keluarga korban mencek langsung nasib berkas tersebut di Kejaksaan Negeri Larantuka. Pengecekan itu diperlukan mengingat ketidakjelasan nasib berkas tersebut telah memakan waktu lebih dari dua bulan.

Sebagai seorang jaksa, Gerson Saudila mestinya tahu persis bahwa cara kerja samacam itu bertentangan dengan KUHAP. Mungkin dia terlalu sibuk. Tetapi kesibukan tak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan keterlambatannya dalam merespons berkas perkara pembunuhan tersebut. Kepada setiap pakar hukum, praktisi hukum yang saya mintakan pendapatnya tentang cara kerja semacam itu, merasa heran. Cara kerja semacam itu tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di negara ini.

Yang jadi pertanyaan ialah, “Mengapa seorang jaksa penuntut umum yang sudah berpengalaman bisa menempuh cara kerja semacam itu?” Jawabannya hanya Gerson Saudila yang tahu. Yang jelas, pada tahun 2008, si JPU yang bersangkutan pernah beberapa kali ditemui oleh beberapa orang dari pihak atau keluarga tersangka. Etiskah seorang JPU membiarkan dirinya ditemui beberapa kali oleh pihak atau keluarga tersangka pelaku pembunuhan tersebut?

Nah apakah Gerson Saudila layak dipertahankan sebagai JPU untuk perkara pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran? Jawabannya jelas. Dia layak diganti dengan JPU-JPU lain yang berkomitmen lebih jelas untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Kepala Kejaksaan Negeri Flores Timur di Larantuka dan Kepala Kejaksaan Tinggi NTT di Kupang diharapkan sudi memperhatikan saran tersebut. ***