Kamis, 25 Februari 2010

Apa arti upacara-upacara adat itu?

 

Beberapa hari lalu, di eputobi di kampung Eputobi, desa Lewoingu di Flores Timur, kubu Mikhael Torangama Kelen menggelar lagi suatu upacara adat dengan binatang korban seekor kambing. Untuk kesekian kalinya upacara semacam itu mereka gelar di tempat itu. Tetapi belum ada informasi yang jelas tentang apa tujuan utama dari pelaksanaan upacara adat tersebut.

Di masa lalu, upacara semacam itu pernah dibuat dengan target jatuhnya korban nyawa tiga puluh orang di kubu barat, yang mereka pandang sebagai musuh. Tiga puluh nyawa itu dilambangkan dengan tiga puluh helai bulu kambing yang dikorbankan dalam upacara itu. Tetapi di dalam kenyataan tak ada satu pun upacara adat, termasuk sumpah adat yang pernah mereka gelar menurut versi mereka itu berdayaguna. Orang yang membawa kepala kambing korban dalam suatu acara sumpah yang mereka gelar pada bulan Mei 2008 dan menggantungnya di Lewohari akhirnya meninggal dunia dalam keadaan sangat mengenaskan.

Setelah jatuh sejumlah korban di kubu mereka, di kalangan mereka pun timbul pertanyaan, “Apa arti upacara-upacara adat itu?” Ya, maksud hati menyumpahi warga dari kubu barat, apa daya kuasa tak sampai. Sumpah adat yang mereka lakukan malah menjadi bumerang yang memangsa diri mereka sendiri. Sementara itu maksud mereka untuk menutupi perbuatan jahat Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya di Blou pun mengalami kegagalan. Proses hukum terhadap Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya terus berjalan.

Maka tak mengherankan bila sebagian dari mereka mulai menyadari bahwa upacara-upacara adat yang mereka gelar selama ini tak berarti apa-apa. Macam apa pun sumpah yang pernah mereka buat tak berdayaguna sama sekali. Kubu mereka malah sedang dilanda proses pembusukan dari dalam.

Proses pembusukan itu berjalan secara perlahan tetapi pasti terus berjalan hingga mencapai puncaknya. Dan tak ada satu pun dari mereka yang dapat mengatasinya. Masyarakat Eputobi, masyarakat Lewoingu dan sekitarnya masih akan menyaksikan terjadinya adegan-adegan yang menentukan masa depan Lewoingu secara keseluruhan. Intinya kekuatan baik dari langit dan bumi bersatu padu untuk menyapu bersih “sampah-sampah” dari kampung Eputobi. Dan tak ada satu pun dari mereka yang dapat mencegah apalagi menghentikan beraksinya kekuatan tersebut.

Menyadari ketidakberdayaan kekuatan sendiri, beberapa waktu lalu mereka pernah meminta bantuan seseorang yang dikenal sebagai “orang pintar” untuk mengatasi suatu masalah yang belakangan ini sangat memusingkan kepala mereka. Tetapi setelah mengetahui penyebab-penyebab terjadinya persoalannya, “orang pintar” yang bersangkutan kontan angkat tangan. Secara jujur, dia mengatakan bahwa dia tidak dapat mengatasi masalah yang sedang mereka hadapi, karena masalahnya terlalu rumit. Jika “orang pintar” yang mereka andalkan saja angkat tangan, apalagi mereka sendiri.

Tetapi Mikhael Torangama Kelen dan tokoh-tokoh inti dalam lingkaran terdekatnya belum mau kapok juga. Mereka terus menampilkan diri sebagai orang-orang yang berani maju pantang mundur melawan kebenaran. Mereka nekad melawan kebenaran sejarah, melawan kebenaran adat, dan melawan fakta-fakta tentang tragedi Blou. Tidak hanya itu. Mereka juga nekad maju meyumpahi orang-orang yang berjuang membela kebenaran dan keadilan. Sebagai kepala desa, Mikhael Torangama Kelen melakukan kegiatan-kegiatan yang terbilang aneh. Hal ini pernah disinggung pula oleh sejumlah pengamat lokal. Mereka merasa heran bahwa kepala desa yang bersangkutan lebih sibuk melakukan kegiatan-kegiatan yang merusak persatuan dan kesatuan masyarakatnya ketimbang kegiatan-kegiatan yang menumbuhkembangkan persatuan kesatuan, yang meningkatkan kebaikan dan keadilan sosial bagi segenap lapisan masyarakatnya. Mereka merasa heran dengan perbuatannya merusak adat warisan leluhur, dan terlebih dengan perbuatan kriminalnya di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007. Lalu di antara pengamat-pengamat lokal ada pula yang sempat bertanya kepada salah satu tokoh di kubu barat, “Mengapa orang seperti itu kalian pilih menjadi kepala desa kalian?” Terhadap pertanyaan itu, si tokoh muda hanya bisa menjawab, “Siapa yang memilih dia menjadi kepala desa kami?”

Jika anda memperhatikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para kepala desa di daerah Flores Timur, maka anda dengan mudah menemukan bahwa hanya kepala desa Lewoingu itu yang demikian sibuk menggelar upacara-upacara adat yang dirancang untuk menghabisi sebagian warga desanya. Hanya kepala desa yang satu itu yang memposisikan para oposisi sebagai musuh yang perlu diberantas, sehingga segala macam cara pun ditempuh. Hanya kepala desa yang satu itu yang dengan sadar dan sengaja merancang skenario pembunuhan terhadap lawan politiknya dan turun ke lapangan untuk melakukan apa yang diskenariokannya.

Kesibukan semacam itu tidak memiliki preseden baik dalam sejarah Lewoingu maupun dalam sejarah kampung Eputobi, desa Lewoingu. Kepala-kepala kampung Eputobi, kepala-kepala desa Lewoingu sebelumnya pun pernah mendapat kritik dari sebagian warga yang mereka pimpin. Bahkan ada pula yang mendapat perlawanan cukup keras dari orang-orang tertentu. Tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang melawan kritik atau pun perlawanan dengan kekerasan fisik. Tidak ada satu pun dari mereka yang sibuk menggelar upacara-upacara adat yang dimaksudkan untuk menghabisi orang-orang yang dipandang sebagai oposisi. Tidak ada satu pun dari mereka yang melakukan pembunuhan terhadap lawan politiknya. 

Yang tidak disadari oleh tokoh-tokoh adat kubu timur ialah bahwa apa pun upacara adat, termasuk sumpah yang mereka gelar, dengan niat jahat itu, sia-sia belaka. Berapa pun jumlah bulu yang mereka cabut dari kambing korban tidak akan berhasil menjadi representasi dari jatuhnya korban-korban di kubu barat. Sehebat apa pun kekuatan dukun yang mereka andalkan, kekuatannya akan sia-sia belaka. Pada akhirnya mereka akan saling memangsa satu sama lain, kalau mereka meneruskan tekad jahat mereka.

Tokoh-tokoh adat kubu timur lupa bahwa untuk menyelenggarakan suatu upacara adat, termasuk upacara sumpah adat yang berdayaguna diperlukan tokoh-tokoh adat yang memiliki wewenang untuk melakukannya. Penggunaan wewenang itu pun harus didasarkan pada kebenaran. Wewenang untuk itu tidak boleh digunakan secara serampangan.

Tentang sumpah perlu disampaikan bahwa sumpah adat dapat dilakukan antar-sesama sekampung yang saling berperkara. Jika pihak yang salah tetap berkeras menyatakan diri benar, maka sumpah adat perlu dilakukan untuk menyatakan kebenaran. Karena itu sumpah adat itu harus dilakukan berdasarkan kebenaran. Setelah sumpah adat dilakukan oleh kedua belah pihak yang berperkara di hadapan para pemuka adat, masyarakat yang bersangkutan menunggu hasilnya. Hasil dari sumpah adat ialah terjadinya kematian di pihak yang salah. Sedangkan di pihak yang benar tidak jatuh korban. Jatuhnya korban di pihak yang salah itu biasanya terjadi dengan cara yang mengerikan.

Sebagai ilustrasi tambahan dapat dicatat di sini bahwa dalam sengketa batas tanah di kampung Eputobi tempo doeloe pernah dibuat kepasak atau sumpah adat antara pihak Atamaran dan pihak Kumanireng Blikopukeng. Sumpah adat itu akhirnya memakan korban di pihak Kumanireng Blikopukeng. Kejadian itu membuat generasi Kumanireng Blikopukeng pada waktu itu tidak berani lagi mempersoalkan batas tanah tersebut. Dalam sengketa batas tanah tempo  doeloe itu, suku Kumanireng Blikololong tidak mau melibatkan diri, karena mereka mengetahui bahwa Atamaran berposisi sebagai ema-bapak (orang tua) bagi mereka. Suku Lamatukan yang mengetahui sejarah tanah itu tidak mau melibatkan diri dalam persoalan tersebut.

Karena tidak tahu sejarah, sejumlah oknum dari generasi Kumanireng Blikopukeng yang sekarang mempersoalkan lagi batas tanah tersebut. Karena buta tuli akan kebenaran sejarah, beberapa oknum dari suku Kumanireng Blikololong pun ikut aktif dalam gerakan melawan Atamaran. Bahkan di antara mereka ada pula yang berpartisipasi dalam peristiwa Blou, baik sebagai pengatur strategi maupun sebagai pelaksana lapangan. Hingga kini mereka masih aktif bergerilia melawan Atamaran.

Tetapi apa hasil dari segala kasak-kusuk mereka itu? Hasilnya tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Yang mereka tuai sekarang adalah derita dan duka lara. Apakah mulai timbul pertobatan di antara mereka? Entahlah. Itu urusan mereka masing-masing. Mereka mau kembali ke jalan yang benar atau tidak, itu tidak penting lagi bagi kelompok kami. Yang penting bagi kami adalah bahwa pagelaran kebenaran mesti terus dilanjutkan. Tidak baik kalau masyarakat Eputobi atau masyarakat Lewoingu terus dibiarkan dibodohi dan disesatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Upaya pihak Atamaran dan segenap lapisan sosial pendukungnya untuk mengungkapkan kebenaran tak dapat dihalangi oleh siapa atau pihak mana pun. Kami berjuang dengan cara kami dan dengan irama yang kami tentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan kami sendiri. Di hadapan kami terbuka berbagai pilihan untuk memberantas kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu. Di hadapan kami terbuka berbagai pilihan cara untuk menata kembali tatanan sosial budaya masyarakat setempat.

Kami juga berjuang berdasarkan modal pengetahuan tentang sejarah Lewoingu yang kami miliki dari generasi ke generasi. Dalam garis pedoman sejarah itulah kami antara lain melangkah maju dan terus maju.

Orang-orang yang berkubu ke timur tampaknya tidak mengetahui bahwa orang yang oleh Mikhael Torangama Kelen diangkat menjadi ketua masyarakat adat versi mereka itu tidak memiliki wewenang adat untuk melakukan upacara-upacara adat seperti yang selama ini mereka gelar. Karena itu mustahil dia memiliki password untuk dapat mengakses kekuatan-kekuatan yang ingin mereka manfaatkan sesuai selera mereka. Lewotana Lewoingu tidak pernah memberikan passwordnya  kepada dia dan kepada tokoh-tokoh lain dalam kubu timur. Passwordnya pun tidak dimiliki oleh siapa pun oknum dari suku Kebele’eng Keleng yang bergabung dalam kubu timur. 

Tetapi para anggota kubu barat di kampung Eputobi tahu persis siapa atau pihak mana yang mempunyai passwordnya. Dan mereka juga mengetahui bahwa dengan cara apa pun password termaksud tak dapat diketahui oleh orang atau pihak lain. Itulah sebabnya upacara-upacara adat termasuk sumpah adat yang digelar di eputobi di kampung Eputobi itu menjadi bahan tertawaan para warga kubu barat. Para warga kubu barat tahu persis bahwa 1) Upacara-upacara adat itu dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki wewenang adat untuk melakukannya; 2) Pelaksanaan upacara-upacara adat itu tidak berdasarkan kebenaran, tetapi berdasarkan suatu niat jahat.

Karena itu tidak mengherankan bila pelaksanaan upacara adat semacam itu selama ini akhirnya menjadi bumerang yang mulai memangsa pihak pelakunya sendiri satu demi satu. Pelan tapi pasti formula itu berlaku dalam berbagai bentuk. Proses itu terjadi secara alamiah. Dan tak ada satu pun dari mereka yang dapat mengatasi dampak destruktifnya bagi kubunya.

Biarlah kalian mulai menuai apa yang selama ini kalian tabur. Jika di antara kalian ada yang mau bertobat, sekarang inilah waktu yang tepat bagi kalian untuk bertobat. ***