Senin, 18 Januari 2010

Aroma fulus di seputar tragedi Blou

 

Aroma fulus alias aroma uang kontan menyengat hidung kalau kita bicara tentang kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Atamaran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Maklum, pembunuhan atas orang yang tak bersalah itu dirancang sebagai suatu proyek dengan dana yang menggiurkan untuk tingkat kampung.

Investor untuk proyek kejahatan tersebut terdiri lebih dari satu orang, yang selama ini telah saling menjalin kerjasama yang rapih. Dalam usahanya mencari pelaku pembunuhan atas tiga tokoh yang beroposisi terhadap Mikhael Torangama Kelen, salah seorang anggota komplotannya menyatakan kepada pihak yang ditawari pekerjaan jahat tersebut begini, “Kalau kamu mau membunuh Yoakim Gresituli Atamaran, Yosef Kehuler, dan Sis Tukan, kamu akan dibayar oleh kepala desa.” Tetapi tawaran itu ditolak secara tegas oleh pihak yang dihubungi oleh orang yang berniat jahat itu.

Setelah gagal menemukan orang-orang yang mau dibayar untuk melakukan pembunuhan atas tiga orang tersebut, komplotan tersebut memodifikasi metode pelaksanaannya. Target operasi mereka dari tiga menjadi lima orang. Kelima orang yang dijadikan target adalah Yoakim Gresituli Atamaran, Yosef Kehuler, Sis Tukan, Pius Koten, dan Dere Hayon. Target utamanya adalah Yoakim Gresituli Atamaran. Untuk menghabisi Yoakim Gresituli Atamaran dirancang suatu metode yang dapat menimbulkan kesan kepada masyarakat setempat bahwa orang yang menjadi target utama itu mati karena kecelakaan lalulintas. Karena kesulitan menemukan orang-orang dari luar lingkarannya, Mikhael Torangama Kelen sendiri akhirnya langsung turun ke lapangan bersama anak-anak buahnya untuk mensukseskan proyek pembunuhan tersebut. Timnya diperkuat oleh tenaga tambahan yang didatangkan dari suatu tempat.

Sesuai dengan rancangan tersebut, jauh sebelum hari Senin 30 Juli 2007, pihak perencana proyek kejahatan tersebut mengadakan latihan jatuh dari sepeda motor di Blou, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur. Hasilnya nampak pada jejak ban sepeda motor terseret di tepi jalan raya di sebelah barat gorong-gorong tempat jenazah korban ditemukan pada Selasa pagi 31 Juli 2007. Jejak ban sepeda motor terseret di tempat kejadian perkara itu dibuat pada Senin malam 30 Juli 2007.  Pada titik mulainya sengaja diletakkan sebuah batu untuk menimbulkan kesan bahwa sebelum jatuh, korban yang mengendarai sepeda motor dari Lato itu menabrak batu tersebut. Padahal semua itu hanyalah suatu rekayasa guna menghilangkan jejak kejahatan mereka.

Blou dipilih, karena tempat itu dianggap ideal bagi pelaksanaan proyek kejahatan mereka. Tak jauh dari situ, yakni di sebelah utara terdapat sebuah pondok, dan di sebelah selatannya terdapat pantai Waigema. Untuk mensukseskan pelaksanaan proyek tersebut pondok dan air laut pantai Waigema diperlukan. Pondok dijadikan tempat penyiksaan dan tempat persembunyian. Air laut dipakai untuk membersihkan darah korban yang terciprat ke tubuh para pelakunya. Di jalan setapak menuju pantai Waigema itulah disembunyikan salah satu barang bukti berupa kaos berdarah. Ketika barang bukti itu ditemukan, Petrus Naya Koten langsung mengeluh pusing lalu kontan meninggalkan Blou untuk selanjutnya kembali ke Eputobi.

Lalu deker di bok atau tikungan halus itu dipilih karena di situ ada gorong-gorong yang dapat dijadikan tempat persembunyian. Seorang anggota polisi yang mengamati tempat kejadian perkara memperkirakan bahwa di dalam gorong-gorong itu pada Selasa pagi 31 Juli 2007 beberapa pelaku menyembunyikan diri ketika mereka berusaha memposisikan sepeda motor yang dikendarai korban.

Setelah kasus pembunuhan itu terungkap, aroma fulus pun kembali menyengat hidung. Kali ini melalui upaya penyuapan terhadap penyidik yang dilakukan melalui seorang oknum polisi, yang berusaha menjadi mediator. Tetapi upaya tersebut gagal karena penyidik yang bersangkutan menolak suap. Nama orang yang berupaya menyuap penyidik itu disebut oleh si mediator. Seandainya penyidik yang bersangkutan mau menerima suap, maka yang dia terima dari si penyuap adalah uang haram. Untung bahwa iman penyidik yang bersangkutan kuat, sehingga godaan itu dapat dihalau dengan mudah.

Tujuan si penyuap jelas, yaitu agar kasus pembunuhan tersebut tidak diproses secara hukum. Si mediator mengimbau agar penyidik yang bersangkutan tak perlu repot-repot mengusut perkara pembunuhan tersebut. Imbauan itu persis bertentangan dengan tugas yang dipercayakan negara ini kepada anggota kepolisian Republik Indonesia.

Yang jadi pertanyaan ialah, “Jika seorang oknum polisi mau menjadi mediator upaya penyuapan terhadap sesama anggota polisi yang ditugaskan untuk mengusut perkara pembunuhan tersebut, apakah si mediator sendiri mau menolak suap?” Pertanyaan selanjutnya, “Jika ternyata terdapat oknum-oknum penegak hukum tertentu yang dengan penuh semangat mengambil langkah-langkah sesuai permintaan pihak tersangka, apakah langkah-langkah tersebut dilakukan dengan cuma-cuma?”

Patut dicatat bahwa Anggodo Widjojo sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dan ditahan di penjara Cipinang, Jakarta. Tapi orang yang berusaha menyuap penyidik dalam perkara pembunuhan Yoakim Gresituli Atamaran masih melenggang bebas di Larantuka, ibukota Kabupaten Flores Timur. ***