Rabu, 13 Januari 2010

Sudah cukup alat bukti tapi belum P21

 

Bertele-telenya penanganan perkara pembunuhan atas Yoakim Gresituli Atamaran terus mengundang pertanyaan, “Mengapa berkas perkara yang sudah jelas ujung pangkalnya itu belum juga P21?” Sementara masyarakat Lewoingu pun kian muak melihat masih bebas melenggangnya Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya yang melakukan pembunuhan tersebut. Hanya karena para warga masyarakat yang bersangkutan masih mau mengikuti seruan untuk bersabar, maka sampai sejauh ini mereka pun masih berusaha memperpanjang kesabaran mereka dan memilih diam. Untuk apa? Ya, untuk memberi kesempatan kepada para aparatur penegak hukum setempat untuk memproses perkara kejahatan tersebut hingga menghukum para pelakunya setimpal dengan perbuatan mereka. Artinya, masyarakat yang bersangkutan berusaha memberi prioritas pada proses hukum untuk memberantas kejahatan tersebut.

Jelas bahwa masyarakat yang bersangkutan mengharapkan negara ini, melalui para aparatur penegak hukum setempat, menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab, yaitu menghukum para pelaku pembunuhan tersebut seberat-beratnya. Tetapi para aparatur penegak hukum setempat memilih jalan yang sangat berliku sehingga berkas perkara pembunuhan tersebut belum juga P21 hingga kini. Dengan demikian para pelaku pembunuhan tersebut dibiarkan melenggang bebas. Sambil melenggang bebas para penjahat itu berusaha mengkambinghitamkan orang-orang lain sebagai pelaku kejahatan yang mereka lakukan di Blou itu.

Hambatan pertama bagi kelancaran proses hukum atas kasus pembunuhan tersebut datang dari oknum-oknum polisi tertentu, yang memilih ikut dalam koor kebohongan kreasi Mikhael Torangama Kelen dkk. Produk favorite bersama mereka pada waktu itu ialah ini: Yoakim Gresituli Atamaran itu meninggal murni karena kecelakaan lalulintas. Padahal tak ditemukan satu pun jejak apalagi bukti bahwa di ruas jalan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 dan pada Selasa pagi hingga pukul 09.00 waktu setempat tanggal 31 Juli 2007 terjadi kecelakaan lalulintas dengan korban Yoakim Gresituli Atamaran, warga kampung Eputobi, desa Lewoingu, Flores Timur. Untuk memantapkan kebohongan bersama itu digunakanlah istilah lakalantas tunggal.

Kebohongan tersebut kemudian dapat diatasi melalui proses penyelidikan dan penyidikan setelah Polda NTT turun tangan. Melalui serangkaian penyelidikan dan penyidikan ditemukan bukti-bukti awal yang cukup tentang para pelaku pembunuhan tersebut. Berdasarkan bukti-bukti awal yang cukup itulah dilakukan penangkapan dan penahanan terhadap Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tole Kumanirng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng. Selama 120 hari, keempat tersangka ditahan di Polres Flores Timur. Karena proses penyidikan di Polres Flores Timur berjalan lamban, maka hingga masa penahanan para tersangka berakhir, berkas perkara kejahatan yang mereka lakukan belum juga P21. Karena itu, keempat tersangka pun dikeluarkan dari sel Polres Flores Timur pada hari Sabtu 16 Agustus 2008.

Pada bulan Januari 2009 penyidik menemukan seorang saksi lain selain saksi yang sudah ada. Keterangan saksi yang bersangkutan bersesuaian dengan keterangan Petrus Naya Koten. Keberadaan Petrus Naya Koten di tempat kejadian perkara tidak hanya diketahui oleh saksi yang bersangkutan, tetapi diketahui juga oleh seorang saksi lain lagi, bahkan di antara mereka sempat terjadi dialog. Kemudian seorang saksi lain lagi secara jelas melihat sosok salah seorang tersangka sedang berdiri bersama beberapa pria di pinggir jalan di tempat kejadian perkara pada Senin malam 30 Juli 2007.

Itu semua adalah kisah nyata. Maka tampak jelas kebohongannya ketika Petrus Naya Koten menarik kembali keterangannya dari BAP yang ditandatanganinya pada bulan Mei 2008. Seandainya hanya seorang Petrus Naya Koten itu saja yang menyaksikan penganiayaan hingga tewas Yoakim Gresituli Atamaran, penyangkalannya atas keterangannya sendiri itu merupakan modal yang cukup bagi para tersangka untuk meloloskan diri dari jerat hukum.

Entah logika apa yang dipakai oleh Petrus Naya Koten. Tetapi tampak jelas bahwa dia menggunakan dua pernyataan kontradiktoris untuk membicarakan suatu peristiwa yang sama. Pertama dia mengatakan,

“Saya menyaksikan bahwa Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tole Kumanireng, Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng membunuh Yoakim Gresituli Atamaran.”

Lalu tentang peristiwa yang sama dia juga mengatakan,

“Saya tidak menyaksikan bahwa Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tole Kumanireng, Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng membunuh Yoakim Gresituli Atamaran.”

Tidak mungkin dua pernyataan kontradiktoris itu sama-sama benar atau sama-sama salah. Jika pernyataan yang satu benar, maka pernyataan yang lain pasti salah, dan sebaliknya. Nah yang jadi pertanyaan ialah, “Di antara kedua pernyataan tersebut manakah yang pasti benar?” Pertanyaan ini dapat dijawab dengan mudah. Yang pasti benar adalah pernyataannya yang pertama.  Sedangkan pengingkarannya atas pernyataan tersebut pasti salah. Mengapa demikian?

Karena, pernyataannya yang pertama itu didukung dengan fakta-fakta seperti ditunjukkan dengan jelas oleh saksi-saksi lainnya. Saksi-saksi lain yang bersangkutan mengenal kehadiran sosoknya di tempat kejadian perkara pada malam kejadian perkara. Dan hal ini didukung oleh keterangan seorang saksi lain lagi yang secara jelas mengenal kehadiran sosok salah seorang tersangka, yang pada malam kejadian perkara itu berdiri di pinggir jalan di tempat kejadian perkara. Itulah sebabnya dikatakan bahwa keterangan Petrus Naya Koten yang pertama itu bersesuaian dengan keterangan dari saksi-saksi lainnya. Keterangan Petrus Naya Koten dan keterangan saksi-saksi lainnya  sama-sama mengacu pada peristiwa yang sama, yaitu peristiwa pembunuhan Yoakim Gresituli Atamaran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Pernyataannya yang mengingkari pernyataannya yang pertama itu bertentangan dengan fakta-fakta tersebut di atas.

Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut dan alat-alat bukti lainnya, pengakuan jujur dari Mikhael Torangama Kelen dan ketiga orang anak dari suku Kumanireng Blikopukeng itu tidak diperlukan, kalau mereka memang nekad untuk mempertahankan kebohongan. Proses hukum atas mereka dapat berjalan tanpa perlu pengakuan dari mulut mereka masing-masing. Dalam proses hukum itu nanti, Petrus Naya Koten yang selama ini berstatus sebagai saksi dengan sendirinya dinaikkan statusnya menjadi tersangka, karena dia berkomplot dengan Mikhael Torangama Kelen untuk mensukseskan proyek pembunuhan atas Yoakim Gresituli Atamaran. Hukuman atasnya pun akan menjadi lebih berat karena dengan kebohongannya, dia ikut menghambat kelancaran proses hukum atas perkara pembunuhan tersebut. Dalam proses hukum selanjutnya, sejumlah orang lain yang selama ini terindikasi terlibat dalam peristiwa pembunuhan di Blou itu pun akan dijadikan tersangka dan diadili.

Tetapi mengapa berkas perkara yang sudah dilengkapi dengan alat-alat bukti yang cukup itu belum juga P21? Jawabannya ialah begini, karena masih ada hambatan lain dari luar lingkup tanggung jawab penyidik. Memang penyidik pun belum mengembangkan penyidikan ke setiap orang dari kubu Mikhael Torangama Kelen, yang terindikasi terlibat dalam peristiwa pembunuhan tersebut. Kenyataan ini memang sangat memprihatinkan. Tetapi dari alat-alat bukti yang sudah berhasil ditemukan oleh penyidik, berkas perkara pembunuhan dengan empat tersangka pelakunya itu mestinya sudah memenuhi syarat untuk P21.

Jika hingga hari ini berkas perkara pembunuhan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu belum P21, itu tidak berarti bahwa berkas perkara tersebut tidak bisa P21. Masih diperlukan waktu agar berkas perkara tersebut bisa P21. Mereka yang selama ini berusaha menghambat kelancaran proses hukum atas perkara pembunuhan tersebut tidak akan tahan menghadapi ujian sang waktu. ***