Minggu, 04 Juli 2010

Tentang belum P21-nya BAP empat tersangka kasus Blou di Flores Timur

 

Hampir tiga tahun berlalu dari peristiwa tragis di Blou di Flores Timur – peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran. Aksi pembunuhan yang terjadi pada hari Senin malam, 30 Juli 2007 itu dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Ketika memimpin aksi pembunuhan tersebut, Mikhael Torangama Kelen berstatus sebagai kepala desa terpilih. Melalui proses yang cacat hukum dan cacat moral dia tampil sebagai pemenang dalam pilkades yang diselenggarakan di desa Lewoingu pada hari Selasa, 27 Maret 2007. Dalam pilkades tersebut Yoakim Gresituli Atamaran menjadi Ketua Tim Sukses dari salah satu calon, yaitu Paulinus Hayon.

Karena protes sebagian warga, maka Bupati Flores Timur, Simon Hayon, menunda pelantikan Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu periode 2007-2013. Bagi para warga yang bersangkutan, hasil pilkades yang cacat hukum dan cacat moral itu tidak pantas untuk direstui. Lagi pula, Mikhael Torangama Kelen pun jelas terindikasi melakukan korupsi, selama periode pertama pemerintahannya sebagai kepala desa Lewoingu.

Gencarnya protes yang dilakukan oleh para warga yang bersangkutan dan penundaan pelantikan, membuat kubu Mikhael Torangama Kelen tertekan dan merasa panik. Untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi, mereka sering menggelar rapat. Ikut hadir dalam sejumlah rapat adalah Donatus Doni Kumanireng, yang sekarang berstatus sebagai seorang pensiunan pegawai negeri sipil. Sebuah bocoran dari dalam kubu Mikhael Torangama Kelen sendiri menyebutkan bahwa rencana pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran dibuat dalam sidang-sidang (=rapat-rapat).

Memang suatu pembunuhan yang berjamaah semacam itu tidak mungkin dilakukan tanpa rencana bersama. Hasil dari rencana itu diterjemahkan di Blou, dengan menggunakan momentum perginya Yoakim Gresituli Atamaran bersama isterinya ke Lato, dengan sepeda motor yang disewa dari Petrus Naya Koten, untuk menghadiri acara Nebo (kenduri) untuk almarhumah ibu Maria Ose Sogen. Faktor sepeda motor itu yang membuat Petrus Naya Koten pun mau tidak mau diterjunkan ke lapangan pembantaian di Blou pada malam itu. Ini merupakan bagian dari strategi untuk bisa menguasai calon korban mereka itu. Kehadiran Petrus Naya Koten di lapangan permainan jahat pada malam itu jelas terpantau. Tetapi di kemudian hari, setelah ditekan dan dihasut oleh rekan-rekannya sesama penjahat, dia pun menggunakan jurus dusta. Bersama Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota lain dalam komplotannya, mereka membentuk paduan suara dusta.

Sebenarnya tidak jadi soal, jika para pelaku pembunuhan tersebut menggunakan jurus dusta untuk menutupi perbuatan jahat yang mereka lakukan. Bagi para anggota polisi yang profesional, jurus dusta seperti yang diperlihatkan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu dapat ditangkal dengan mudah. Dalam kasus Blou, berbagai sarana untuk menangkalnya sebenarnya tersedia. Tetapi sarana-sarana dimaksud tidak digunakan untuk membongkar hingga tuntas kasus pembunuhan tersebut. Bahkan sejak awal terdapat oknum-oknum polisi yang ikut berpartisipasi merekayasa kasus pembunuhan tersebut menjadi kasus kecelakaan lalu lintas. Dengan setia mereka memenuhi keinginan Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya untuk menutup rapat kasus kejahatan tersebut. Kesetiaan semacam itu jelas punya harga, bukan? 

Setelah Mikhael Torangama Kelen dan  tiga anggota komplotannya ditetapkan sebagai tersangka, penyidik Polres Flores Timur diharapkan mengembangkan arah penyelidikan dan penyidikan mereka ke setiap mata rantai kejahatan yang dibangun oleh Mikhael Torangama Kelen. Dan urusan semacam itu sebenarnya mudah dilaksanakan, karena semua informasi, bahan, dan barang bukti toh tersedia. Tetapi apa yang disebut pengembangan itu tidak terjadi sebagaimana mestinya. Maka tak mengherankan bila BAP Mikhael Torangama Kelen dan tiga anggota komplotannya itu hanya bisa mondar-mandir antara markas Polres Flores Timur dan kantor Kejaksaan Negeri Flores Timur di Larantuka. Dari kantor Kejaksaan Negeri Larantuka, kami memperoleh informasi bahwa penyidik belum memenuhi permintaan jaksa, maka berkas itu dikembalikan lagi dan lagi ke Polres Flores Timur. Pengembalian tersebut dimaksudkan agar penyidik memantapkan alat-alat bukti. Ini perlu agar di pengadilan, pihak tersangka tidak mudah membantah perbuatan jahat yang mereka lakukan.

Hingga kini masih ditunggu keseriusan penyidik Polres Flores Timur untuk mengembangkan penyelidikan dan penyidikan mereka hingga menjangkau setiap mata rantai kejahatan tersebut. Bagi kami, selama penyidik masih enggan melakukan pengembangan penyelidikan dan penyidikan termaksud, BAP Mikhael Torangama Kelen dan tiga anggota komplotannya itu sebaiknya ditunda untuk P21. Apalagi di dalam kenyataan, yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan tersebut bukan hanya empat orang yang ditetapkan sebagai tersangka itu.

Harga dari proses penundaan tersebut ialah bahwa citra kampung Eputobi, desa Lewoingu kian terpuruk, karena dikepalai oleh seorang kepala komplotan pembunuh berdarah dingin. Sebagai kepala komplotan pembunuh berdarah dingin, dia terus berusaha menggunakan segala macam cara untuk menutup-nutupi perbuatan sangat keji yang dilakukannya.

Yang dia lupakan ialah bahwa selama hampir tiga tahun sudah dia terpenjara dalam dirinya sendiri, pertama, oleh kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran yang terus diingkarinya, dan kedua, oleh kasus korupsi yang dilakukannya. Dia juga lupa bahwa kekuasaan apa pun di dunia ini akan berakhir. Dan oknum-oknum penegak hukum yang selama ini bersedia bekerjasama dengannya untuk menutup perbuatan jahatnya itu bisa diganti kapan saja bahkan bisa ditindak pula secara hukum. Dalam proses waktu ke depan hal-hal tersebut dapat terjadi. Proses waktu akan menunjukkan kepada Mikhael Torangama Kelen dan kenyadunya, yaitu Donatus Doni Kumanireng, dkk rekan-rekan seperjuangan mereka bahwa dusta demi dusta yang mereka perlihatkan selama ini akan merusak diri mereka sendiri.

Dan jangan lupa, bahwa masyarakat Lewoingu tidak akan membiarkan kejahatan itu tidak diberantas, karena membiarkan kejahatan itu tidak diberantas merupakan suatu kejahatan. ***