Senin, 25 Oktober 2010

Aktor intelektual tragedi Blou

 

Aksi kekerasan yang menyebabkan kematian Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 itu dirancang dalam serangkaian pertemuan yang digelar di kampung Eputobi dan di beberapa tempat lain. Pertemuan-pertemuan itu diprakarsai oleh si aktor intelektual. Mulanya pertemuan-pertemuan yang digelarnya berlabelkan diskusi. Tetapi itu hanyalah suatu kedok. Kelompoknya kemudian menampakkan diri sebagai suatu komplotan kriminal yang merancang pembunuhan terhadap beberapa orang dari kubu yang beroposisi dengan Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan. Dalam rancangan awal, tiga orang dijadikan sasaran pembunuhan, dengan catatan Yoakim Gresituli Ata Maran adalah orang pertama yang ingin mereka habisi. Kemudian ditambah lagi dua orang. Rancangan kriminal itu dibuat secara cukup rinci hingga mencakup cara menghindari diri dari tanggung jawab hukum.

Ketika rancangan kejahatan itu direalisasikan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007, si aktor intelektual berada di rumahnya di suatu kota. Tetapi dia mengikuti tahap demi tahap kegiatan kriminal yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan melalui saluran telepon. Setelah mendapat laporan bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran sudah berhasil dimatikan, pada malam itu juga dia memberikan petunjuk tentang cara memperlakukan sepeda motor yang dikendarai korban agar terkesan bahwa kematiannya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Petunjuknya itu dilaksanakan secara harafiah oleh Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng.  

Setelah berhasil membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran, mereka – para operator lapangan dan si aktor intelektual – sempat merasa puas dan senang. Salah seorang yang ikut merestui pelaksanaan operasi kriminal tersebut sempat mengekspresikan rasa girangnya ketika jenazah korban dibawa masuk ke kampung Eputobi. Dari jauh, si aktor intelektual mengikuti seluruh rangkaian adegan yang terjadi pada hari Selasa 31 Juli 2007 di Eputobi. Pada hari itu dia merasa bahwa kelompoknya telah memenangkan perang. Bersama beberapa orang yang sealiran dengannya, mereka sempat mengarang-ngarang ceritera tentang sebab kematian Yoakim Gresituli Ata Maran.

Tetapi kepuasan dan kegembiraannya tidak berlangsung lama, karena si aktor intelektual pun tahu apa akibat dari suatu perbuatan kriminal. Pikirannya dihantui rasa takut. Karena itu dia pun memutuskan untuk tidak segera pergi ke kampung Eputobi. Dia takut berurusan dengan polisi. Ketakutan yang sama melanda setiap orang yang berperan sebagai operator lapangan. 

Setelah mengetahui bahwa polisi ternyata belum juga menyikapi peristiwa pembunuhan tersebut secara tegas, maka si aktor intelektual memberanikan diri muncul di kampung Eputobi. Di sana dia menggelar pertemuan dengan berbagai unsur dari kubunya di rumah Lambertus Lagawuyo Kumanireng. Lalu dengan sepeda motor dia mengantar salah seorang operator peristiwa Blou, yang sedang mengalami cedera di kepala untuk berobat. Di suatu klinik orang yang bersangkutan sempat menjalani rawat-ngingap. Selama dirawat di situ, dia sering dilanda rasa gelisah yang membuat dia tidak tenang dan susah tidur.

Setelah berhasil melakukan pendekatan khusus dengan oknum-oknum aparat penegak hukum setempat, si aktor intelektual sempat merasa lega. Dia pun mengira bahwa urusan hukum terkait dengan peristiwa pembunuhan di Blou berhasil dihindari karena adanya kerja sama mereka dengan oknum-oknum penegak hukum tertentu. Si aktor intelektual lalu sibuk menggalang upaya untuk mengkriminalisasi keluarga korban. Dalam rangka itu dia sering memunculkan diri di Larantuka dan di kampung Eputobi seraya menggelar pertemuan-pertemuan. Tetapi upayanya itu berbalik menjadi perangkap yang membuat Mikhael Torangama Kelen dan tiga orang anak Lamber Liko Kumanireng ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polres Flores Timur. Kejadian itu membuat nyalinya sempat menciut drastis. Dia takut berurusan dengan polisi. Nyalinya kembali muncul ke permukaan setelah permainan di belakang layar kembali digelar. Si aktor intelektual tahu berapa biaya yang perlu dikucurkan agar permainan di belakang layar itu berhasil dimainkan sesuai dengan irama yang diinginkannya.

Karena berkas perkara atas nama Mikhael Torangama Kelen dan tiga anggota komplotannya belum berhasil P21, maka pada hari Sabtu 16 Agustus 2008 keempat tersangka itu dikeluarkan dari ruang tahanan Polres Flores Timur. Hal itu menggembirakan hati si aktor intelektual. Dia mengira bahwa keempat tersangka sudah dibebaskan dari proses hukum. Dalam dirinya sempat tumbuh niat untuk meminta SP3 agar dapat melakukan gugat balik. Maka pada tahun 2009, beberapa aksi unjuk rasa digenjot. Tetapi aksi-aksi tersebut akhirnya berakhir dengan kekecewaan yang hingga kini masih membekas dalam benak mereka yang terlibat. Aksi unjuk rasa yang digelar pada bulan November 2009 itu menjadi momen yang justru mempermalukan orang seperti Mikhael Torangama Kelen dan Petrus Naya Koten. Dalam momen itu, posisi mereka sebagai pelaku kejahatan di Blou dipertegas. Hal ini terjadi di luar dugaan para pengunjuk rasa lainnya.

Seusai unjuk rasa, si aktor intelektual meninggalkan Larantuka. Dia membawa rasa kecewa di hatinya ke rumahnya. Di kemudian hari rasa kecewanya itu terkomplikasi dengan kejadian-kejadian tertentu yang membuat nyalinya menciut hingga ke titik terendah. Pengalaman-pengalaman pahit yang dialaminya pasca aksi unjuk rasa yang sia-sia tersebut memaksa dia untuk mundur ke garis belakang. Padahal perang yang dikobarkannya masih jauh dari selesai. Hari-hari hidupnya semakin dibayang-bayangi oleh bangkai kejahatan dengan korban Yoakim Gresituli Ata Maran. Makin lama dia makin asyik bergumul dengan dirinya sendiri. ***