Jumat, 15 Oktober 2010

Kegelisahan seorang aktivis

 

Dia mengaku diri sebagai seorang aktivis dari suatu LSM yang konon memperjuangkan penegakan keadilan dengan cara tanpa kekerasan. Dia masih muda. Dan sepak terjangnya lumayan hebat. Di masa lalu dia sempat sibuk bergerak di seputar “altar Tuhan.” Entah sekarang, setelah sepak terjangnya yang bertolak belakang dengan kegiatan “sucinya” itu di sorot dari segala arah. Yang jelas dalam hari-hari belakangan ini si aktivis dilanda kegelisahan yang membuat dia sempat hilir mudik tak tentu arah.

Orang-orang yang telah mengetahui ceritera di balik ketidaktenangannya akhir-akhir ini kontan maklum. Maklum, si aktivis pun berada dalam satu kubu dengan para pelaku lapangan tragedi Blou. Kalau diusut-usut, dia pun punya saham tertentu bagi pelaksanaan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Paling kurang dia mengetahui adanya rencana matang pelaksanaan kejahatan tersebut, tetapi dia tidak mau berusaha mencegahnya.

Pada Senin siang 30 Juli 2007 dia memunculkan dirinya di Eputobi dan berusaha menemui orang yang direncanakan untuk dibunuh pada hari itu oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Tetapi upayanya itu gagal, karena orang yang menjadi target pembunuhan para penjahat Eputobi itu sudah pergi ke Lato, ibu kota Kecamatan Titehena, di Flores Timur. Setelah mengetahui bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran meninggal di Blou, dia menyesali keterlambatannya menemui korban.

Seandainya dia punya itikad baik, dia mestinya dapat menyampaikan apa yang diketahuinya tentang rencana pembunuhan tersebut kepada polisi. Di dalam kenyataan, dia justru tampil sebagai salah satu ujung tombak lapangan yang berusaha keras untuk membuat keempat tersangka pelaku pembunuhan tersebut lolos dari jerat hukum. Dalam rangka itu dia pun tak segan-segan menemui orang-orang “pintar” tertentu.

Sepak terjangnya secara jelas menunjukkan bahwa dia mendedikasikan dirinya demi membela kekerasan yang menyebabkan kematian Yoakim Gresituli Ata Maran. Dengan sadar dan sengaja si aktivis berusaha agar para pelaku kejahatan tersebut tidak diproses secara hukum. Dan dia mengira upayanya itu berhasil.

Setelah mengetahui bahwa proses hukum atas para tersangka pembunuhan tersebut terus berjalan, muka si aktivis pun kontan menciut. Seluruh dirinya pun disergap kegelisahan yang membuat penampilannya sempat menjadi aneh. Rupanya dia baru menyadari bahwa pertarungan masih jauh dari selesai, dan roda-roda hukum masih terus berputar, hingga mencapai titik yang pas untuk dapat menjerat siapa pun yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam peristiwa pembunuhan tersebut. ***