Minggu, 05 Juni 2011

Pamor desa Lewoingu kian remuk

Pamor desa Lewoingu di Kecamatan Titehena, Flores Timur telah jatuh dan kian remuk. Kisah buruk itu dimulai dari aksi pengrusakan adat pada tahun 2006, kemudian oleh praktek korupsi, yang kemudian berbuntut pada peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Kejadian-kejadian buruk dan jahat itu dipelopori oleh Mikhael Torangama Kelen (MTK). Dan dengan masih bercokolnya si MTK di kursi kepala desa Lewoingu, maka keremukan pamor desa tersebut kian parah. Lewoingu tak mampu lagi tampil sebagai desa yang disegani.

Oleh para pendukungnya dan pemujanya di kampung Eputobi, si MTK disapa dengan bapak desa. Tetapi di luar kalangannya, dia dikenal sebagai seorang pengrusak tatanan adat, pelaku korupsi, dan kepala komplotan pembunuh berdarah dingin. Semua julukan ini memang layak dia sandang, ya sesuai dengan perbuatan-perbuatan jahatnya.

Dalam arena politik formal di Titehena, kehadirannya diterima secara formal. Tetapi di luar lingkungan politik formal, muncul pertanyaan, “Mengapa orang semacam itu dipilih menjadi kepala desa Lewoingu?” Pertanyaan yang sama pun muncul dari luar Titehena. Mendengar pertanyaan semacam itu, seorang warga Eputobi pun bertanya, “Siapa yang memilih dia?”

Tak perlu dijelaskan lagi di sini dengan cara-cara apa si MTK berusaha mempertahankan kursi kekuasaannya pada tahun 2007. Yang jelas, praktek korupsi yang dilakukannya selama 2000 hingga 2006 dan pembunuhan yang dilakukannya di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 dapat menjadi alasan yang memadai untuk menggagalkan dia kembali menduduki kursi kepala desa Lewoingu. Sungguh tak pantas, bila kursi kepala desa Lewoingu diduduki oleh seorang koruptor yang sekaligus menjadi seorang kepala komplotan pembunuh berdarah dingin.

Tetapi di dalam kenyataan, si pelaku korupsi dan si kepala komplotan pembunuh berdarah dingin itu masih bercokol di kursi kepala desa Lewoingu. Ini bisa terjadi berkat keputusan tidak rasional Simon Hayon, selaku Bupati Flores Timur melantik dia menjadi kepala desa Lewoingu pada bulan Januari 2008. Karena ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan di Blou, Simon Hayon kemudian menonaktifkan si MTK sebagai kepala desa Lewoingu. Tetapi Simon Hayon itu pula yang mengaktifkan dia kembali pada bulan Januari 2009. Padahal pada waktu itu hingga kini si MTK masih berstatus sebagai tersangka kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran.

Jelas bahwa permainan politik kotorlah yang berada di balik masih bercokolnya si pelaku korupsi dan si kepala komplotan pembunuh berdarah dingin itu di kursi kepala desa Lewoingu. Meskipun menentang keputusan Simon Hayon, para warga beradab di kampung Eputobi tidak menempuh cara-cara anarkis untuk menurunkan si MTK dari kursi kepala desa Lewoingu. Mereka berusaha menjunjung etika politik. Mereka berpegang pada prinsip, bahwa kebenaran dan keadilan dapat ditegakkan dengan cara yang baik.

Karena berpegang pada prinsip itu, maka kelompok masyarakat beradab di sana ditafsirkan sebagai kelompok yang lemah dan gampang dipermainkan oleh kelompok kriminal yang dipimpin oleh MTK. Di dalam kenyataan tidak demikian. Cuma tak perlu dibeberkan seperti apa kuatnya kekuatan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat beradab di Eputobi dan sekitarnya.

Dari kalangan masyarakat beradab itulah akan muncul kekuatan yang bakal mengembalikan pamor kampung Eputobi, desa Lewoingu. Anda-anda yang hanya berkoar-koar tentang perlunya damai bagi masyarakat Eputobi, tetapi mengabaikan fakta-fakta kejahatan yang dilakukan oleh si MTK dan anggota-anggota komplotannya, pada dasarnya tak punya andil apa pun untuk memulihkan pamor desa Lewoingu. Anda-anda juga tak punya andil apa pun bagi upaya ke arah perwujudan damai sejahtera bagi masyarakat Eputobi. Bagaimana mungkin anda-anda yang selama ini ikut menentang kebenaran dan keadilan yang diperjuangkan masyarakat beradab di sana dapat mengupayakan perdamaian.

Damai sejahtera di desa Lewoingu telah dirusak oleh Donatus Doni Kumanireng dan si MTK serta oleh anggota-anggota komplotan kriminal mereka. Yang selama ini secara nyata berusaha menjaga agar kerusakan sosial budaya tidak menjadi lebih parah adalah para warga masyarakat beradab yang juga disebut kelompok “jabar.” Dalam rangka itu mereka membiarkan diri tampil sebagai pihak yang lemah tak berdaya ketika diprovokasi dan dicaci maki oleh para anggota kelompok kriminal yang dipimpin oleh si MTK. Ya, di kalangan kelompok “jabar” sering muncul kata-kata, “Kita ini kelompok yang lemah.” Tetapi ketika sekali-sekali kelompok yang merasa diri lemah ini bersuara, siapa pun dari pihak yang selama ini sering memperlihatkan otot dan taring itu tak berkutik.

Aksi-aksi primitif seperti yang diperlihatkan oleh MTK dan DDK serta anggota-anggota komplotan mereka itulah yang membuat pamor desa Eputobi runtuh dan remuk berkeping-keping. Aksi-aksi jahat semacam itu membuat sebagian orang Eputobi kembali ke era primitif. ***