Minggu, 19 Juni 2011

Siapa lagi yang ingin mereka bodohi dan sesatkan?

Selama beberapa tahun terakhir sejumlah orang Eputobi berhasil dibodohi dan disesatkan oleh orang-orang yang kemudian terkenal sebagai komplotan penjahat Eputobi. Dalam lapangan operasional, komplotan itu dikepalai oleh orang yang kini menduduki kursi kepala desa Lewoingu. Di belakang dia ada aktor intelektual yang merancang proyek pembodohan dan penyesatan tersebut untuk seluruh masyarakat Lewoingu. Tetapi di dalam kenyataan, mayoritas orang Lewoingu tidak mau dibodohi dan disesatkan. Alasannya jelas. Proyek pembodohan dan penyesatan termaksud dirancang dengan cara-cara yang sangat bodoh, sehingga mudah diketahui omong kosongnya.

Upaya pembodohan yang mereka lakukan itu tampak dalam bentuk 1) pemutarbalikkan sejarah Lewoingu yang mencakup pula sejarah kepemilikan tanah ulayat di kampung Eputobi, 2) penyebarluasan berita bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu karena kecelakaan lalu lintas, 3) penyangkalan dari Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya sebagai pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran.

Pemutarbalikkan sejarah Lewoingu dengan sengaja dirancang untuk menjungkirbalikkan tatanan adat warisan para leluhur Lewoingu. Dalam rangka itu mereka menciutkan peran Gresituli sebagai pendiri Lewoingu. Versi dongeng tentang asal usul Gresituli diangkat sebagai versi sejarah. Lalu mereka itu pun membuat dongeng bahwa Raga Ata Maran itu bukan anak Sani. Peran Raga sebagai penerus kepemimpinan Sani di Lewowerang-Lewoingu mereka hapus. Upaya semacam itu dimotivasi oleh kepentingan kekuasaan adat. Mereka yang memotori aksi pengrusakan adat pada bulan April 2006 itu berusaha menonjolkan diri sebagai penguasa tertinggi adat Lewoingu. Mereka itu pula yang menyerobot batas tanah ulayat Ata Maran di kampung Eputobi pada bulan Mei 2006. Perbuatan semacam itu didorong oleh keserakhan yang selama itu terpendam dalam diri mereka.

Selain memutarbailkkan sejarah bersama Lewoingu, di antara mereka pun ada yang berusaha memutarbalikkan sejarah relasi antarsuku di Lewowerang-Lewoingu. Donatus Doni Kumanireng Blikololong, misalnya, dengan enteng beranggapan bahwa sukunya berposisi sebagai orang tua bagi suku Ata Maran. Anggapan ngawur semacam itu lahir dari kebutaannya tentang sejarah sukunya dalam kaitan dengan sejarah suku Ata Maran, juga lahir dari nafsu besarnya untuk menjadi penguasa kampung Eputobi. Ya, melalui suatu pesan singkat, orang ini pernah memperkenalkan diri sebagai penguasa kampung Eputobi kepada seseorang. Perkenalan dirinya itu dibarengi dengan pernyataan bahwa semua orang di kampung Eputobi takut dengannya.

Mudah-mudahan dia sudah belajar kembali sejarah sukunya dalam kaitan dengan suku Ata Maran. Dengan belajar kembali sejarah tersebut dia diharapkan mengerti mengapa sejak zaman Lewoingu kuno telah terjalin tali kekeluargaan yang sangat erat antara suku Ata Maran dan suku Kumanireng Blikololong. Sejak zaman Lewoingu kuno, Kumanireng Blikololong telah menjadi bagian dari keluarga besar Ata Maran. Itulah sebabnya, anggota-anggota suku Kumanireng Blikololong yang tahu akan dimensi sejarah tersebut tidak mau mengikuti langkah-laku dia. Mereka tidak mau mengkhianati Ata Maran. Mereka juga tidak mau ikut-ikutan dalam aksi pengrusakan sejarah bersama Lewoingu dengan tatanan adatnya, hasil kesepakatan para leluhur Lewoingu.

Dari aksi pengrusakan tatanan adat, termasuk penyerobotan batas tanah ulayat Ata Maran di kampung Eputobi pada tahun 2006, mereka bergerak ke aksi kriminal yang lebih dahsyat, yaitu aksi pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Aksi pembunuhan tersebut lebih didominasi oleh motif politik kekuasaan. Perbuatan sangat jahat itu terjadi, karena Mikhael Torangama Kelen bernafsu untuk kembali menduduki kursi kepala desa Lewoingu, dan dia melihat Yoakim Gresituli Ata Maran sebagai ganjalan utamanya. Demi kepentingan itulah banyak rupiah dikeluarkan, antara lain untuk membayar orang-orang yang bersedia mengeksekusi Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada hari, tanggal tersebut di atas. Selain menggunakan uang, mereka yang merancang pembunuhan tersebut pun menggunakan sentimen adat sebagaimana disinggung di atas sebagai daya rangsang keberanian dalam diri orang-orang yang mereka plotkan sebagai eksekutor utama untuk mengeksekusi Yoakim Gresituli Ata Maran pada hari, tanggal dan tempat tersebut. Agar tujuan jahat itu tercapai, di kalangan para penjahat itu pun ditumbuhkan kesadaran palsu, bahwa aksi-aksi yang mereka lakukan itu demi kebaikan lewotana (kampung halaman).

Ketika Mikhael Torangama Kelen ditangkap di Eputobi bersama dua anak Lamber Liko Kumanireng, dan ketika mereka hendak dibawa ke Polres Flores Timur, dia berujar, “Saya pergi bersama lewotana, saya akan kembali bersama lewotana.” Padahal aksi pembunuhan yang dilakukannya bersama orang-orang yang dibayarnya itu murni kriminal. Juga kriminal aksi pengrusakan adat dan penyerobotan batas tanah ulayat tersebut di atas. Mana ada lewotana yang mendukung perbuatan kriminal semacam itu? Dalam sejarah Lewoingu pramodern, kepada pelaku aksi kriminal semacam itu dikenai hukuman adat berupa hukuman mati.

Berdasarkan hukum positif modern yang berlaku di republik ini, para pelaku pembunuhan berencana tersebut dapat dikenai pasal hukuman seumur hidup mengingat dahsatnya kebiadaban yang mereka tunjukan. Secara perdata, mereka pun dapat dihukum dengan ganti rugi dalam jumlah rupiah yang sangat besar untuk membayar kerugian moral yang ditanggung oleh isteri dan anak-anak dari korban pembunuhan mereka. Gugatan perdata itu akan diajukan beriringan dengan keputusan pidana yang akan ditetapkan untuk para pelaku pembunuhan tersebut. Mampukah orang-orang seperti Donatus Doni Kumanireng dan Mikhael Torangama Kelen serta anggota-anggota komplotan mereka menanggung hukuman perdata termaksud?

Tampak jelas bahwa selama ini, mereka takut akan hukuman pidana, apalagi ditambah dengan hukuman perdata. Karena itu sejak di tempat kejadian perkara Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya menyebarkan informasi bahwa yang sedang terjadi di tempat tersebut pada malam tersebut adalah kecelakaan lalu lintas. Informasi itu dimaksud untuk membodohi dan menyesatkan publik setempat. Kalau benar terjadi kecelakaan lalu lintas, mengapa mereka hanya menonton korban yang sedang tergeletak di pinggir jalan itu. Seandainya benar terjadi kecelakaan lalu lintas, sudah semestinya mereka segera memberikan pertolongan kepada korban yang bersangkutan. Kalau benar terjadi kecelakaan lalu lintas, mengapa mereka menolak pertolongan yang ditawarkan oleh orang yang sempat menanyakan kepada mereka apa yang sedang terjadi di tempat itu.

Setelah metode pembodohan dan penyesatan tersebut gagal berhasil, mereka menggunakan metode pembodohan dan penyesatan lain, yaitu mengingkari fakta-fakta tentang pembunuhan yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Padahal fakta-fakta tentang perbuatan sangat biadab yang mereka lakukan di Blou terus bermunculan. Tak ada satu pun dari kalangan penjahat itu yang mampu membendung aliran fakta-fakta yang berkisah tentang kebiadaban yang mereka lakukan di Blou di bumi Lewoingu itu. Tampak jelas bahwa Donatus Doni Kumanireng, Mikhael Torangama Kelen, dan anggota-anggota komplotan mereka semakin kehilangan kemampuan real untuk terus membodohi dan menyesatkan publik setempat.

Mayoritas orang Lewoingu tidak mau dibodohi dan disesatkan oleh orang-orang jahat itu. Hanya orang-orang  yang harga dirinya dapat ditukar dengan uang dan raskin yang masih mau dibodohi dan disesatkan oleh para penjahat itu. Secara sadar atau tidak sadar, mereka selama ini ikut berjuang membentuk suatu komunitas kriminal di kampung Eputobi, yang belakangan ini makin rapuh posisinya. Mikhael Torangama Kelen yang selama ini mereka anggap sebagai jagoan mereka justru semakin tak berkutik oleh tekanan demi tekanan dari pihak “barat” agar dia mengakui secara jujur perbuatan sangat keji yang dilakukannya di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Dari waktu ke waktu muncul keberanian dari “barat” untuk secara langsung menyampaikan baik di hadapan Mikhael Torangama Kelen maupun di hadapan para pendukung setianya bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anak-anak Lamber Liko Kumanireng dll yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Beberapa waktu lalu di Eputobi Lamber Liko Kumanireng sendiri menghadapi langsung tudingan bahwa tiga orang anaknya pun menjadi pelaku utama pembunuhan yang terjadi di Blou itu.

Lamber Liko Kumanireng pernah menumpahkan banyak air dari kedua matanya ketika saya mengajak dia berbicara tentang kematian Yoakim Gresituli Ata Maran. Itu terjadi pada hari Minggu tanggal 30 September 2007. Tetapi menumpahkan air mata saja tidak cukup. Kini sudah tiba waktunya bagi dia untuk berani mendorong tiga anaknya yang berstatus sebagai tersangka itu untuk mengakui secara jujur perbuatan sangat jahat yang mereka lakukan, yang menyebabkan kematian Yoakim Gresituli Ata Maran dengan segala dampak buruknya bagi masyarakat Eputobi. Keberanian tersebut sangat diperlukan demi kebaikan kampung halaman Eputobi. ***