Rabu, 15 Juni 2011

Uang, Kekuasaan, Kejahatan

Temuan demi temuan kian mempertegas fakta bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotan kriminalnyalah yang menghabisi Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou, Flores Timur pada Senin malam 30 Juli 2007. Temuan mutakhir menunjukkan bahwa pembunuhan tersebut dirancang sebagai suatu proyek yang memberikan keuntungan finansial kepada orang-orang yang terlibat di dalamnya. Belum ada temuan tentang berapa persisnya anggaran yang disediakan untuk pelaksanaan proyek kriminal tersebut. Yang sudah jelas ialah bahwa setiap eksekutor utama diimbali dua juta rupiah. Tiga anak kandung Lamber Liko Kumanireng dan seorang saudara mereka termasuk eksekutor utama.  Secara bersama-sama mereka meraup delapan juta rupiah.

Beberapa orang lain yang juga terlibat dalam pelaksanaan proyek kriminal tersebut pun dijanjikan diimbali masing-masing dua juta rupiah. Tetapi di antara mereka ada yang baru dibayar satu juta rupiah. Yang satu juta lagi belum masuk ke kantong mereka. Entah kenapa. Yang jelas, mereka yang hadir di tempat kejadian perkara dan menyaksikan adegan pembunuhan tersebut pun diberi jatah. Jatah itu diberikan sebagai uang tutup mulut. Jatah itu mereka peroleh dari tangan Mikhael Torangama Kelen.

Jatah juga diberikan kepada mereka yang tidak terlibat langsung dalam aksi pembunuhan di Blou tetapi bersedia mendukung upaya Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya untuk menutup perbuatan sangat keji yang mereka lakukan itu. Termasuk dalam kelompok ini adalah jaringan mafia hukum. Mereka yang aktif dalam jaringan ini mendapat jatah yang terbilang besar. Tetapi belum ada informasi yang jelas tentang angka yang diterima oleh masing-masing anggota mafia hukum yang bersangkutan. Pernah ada “bocoran” bahwa salah satu dari mereka memperoleh jatah empat juta rupiah. Tetapi hingga kini kebenarannya belum terkonfirmasi. Terlepas dari belum terkonfirmasinya kebenaran “bocoran” tersebut, pelaksanaan proyek kriminal di Blou dan upaya untuk menutupinya menghabiskan banyak uang.

Beberapa puluh juta rupiah mereka habiskan untuk mempertahankan kekuasaan Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu. Bagi Mikhael Torangama Kelen sendiri, kekuasaan tersebut perlu dipertahankan, karena dari situlah dia dengan leluasa bisa memperoleh keuntungan-keuntungan finansial, baik dengan cara halal maupun dengan cara tidak halal. Maka ketika kursi kekuasaannya digoyang dengan kasus korupsi yang dilakukannya, dia dan kroni-kroninya panik. Karena takut kursi kekuasaan tersebut terbang melayang menjauhinya, dia pun menggalang aksi untuk melawan kelompok masyarakat yang memprotes praktek-praktek korupsi yang dilakukannya selama periode pertama pemerintahannya. Tokoh-tokoh gerakan antikorupsi di desa itu diancam dibunuh.

Guna merealisasikan rencana jahat itu, salah seorang kroni Mikhael Torangama Kelen mencari pembunuh bayaran dari luar lingkaran mereka. Tetapi upayanya itu tak berhasil. Dengan penawaran dua juta rupiah per orang, mereka akhirnya berhasil merekrut pembunuh bayaran dari dalam lingkaran mereka. Pada Senin malam 30 Juli 2007, Mikhael Torangama Kelen sendiri menuntun para pembunuh bayaran itu ke Blou. Di situ mereka secara bersama-sama mengeroyok dan menganiaya Yoakim Gresituli Ata Maran hingga meninggal.

Mikhael Torangama Kelen dan tiga anggota komplotannya telah ditetapkan sebagai tersangka sejak tanggal 18 April 2008. Tetapi proses hukum atas mereka berjalan di tempat. Penanganan perkara pembunuhan tersebut penuh dengan kejanggalan. ***