Senin, 03 Agustus 2009

Hodung Werang dan ceritera tentang penemuan jenazah korban

 

Moses Hodung Werang adalah seorang petani asal Balaweling, Solor, tinggal di Lewolaga. Dia adalah orang yang pada Selasa pagi 31 Juli 2007 menemukan jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou, dalam perjalanan pulangnya dari Watololong ke Lewolaga. Ceritera penemuan jenazah korban pembunuhan itu dimulai dari pantulan cahaya dari dalam parit di bawah deker. Tertarik oleh pantulan cahaya itu, dia pun bergerak ke arah sumbernya. Ternyata pantulan cahaya itu berasal dari sebuah sepeda motor yang terletak di bawah sana, di dalam parit. Dan dia pun merasa kaget, ketika matanya pun menangkap sesosok orang yang tergeletak di situ dalam keadaan tidak bernyawa. Tetapi dia tidak tahu siapa nama orang itu. Jam penemuan jenazah korban itu, menurut Hodung Werang, 09.00 waktu setempat.

Posisi jenazah korban, seperti dituturkan oleh Hodung Werang, adalah seperti orang sedang tidur dengan sisi kiri badan menyentuh lantai. Kepalanya di sebelah timur, mukanya menghadap ke arah selatan. Tepat di bawah kepalanya terdapat genangan darah. Darahnya tampak masih segar. Tangan kanannya sedikit menjorok ke selatan, tangan kirinya lurus mengarah ke kedua pahanya. Ketika ditemukan dalam parit itu korban tidak mengenakan alas kaki. Sandal yang pada telapak dalamnya bertuliskan OMEGA, yang dikenakannya waktu dia ke Lato tidak berada di tempat kejadian perkara (TKP). Beberapa sentimeter di sebelah utara jenazah korban terdapat sebuah sepeda motor yang diposisikan menghadap ke timur. Sepeda motor itu dalam keadaan utuh, tidak mengalami kerusakan.

Dari situ dia bergegas ke rumahnya di Lewolaga, kemudian ke Pos Polisi Titehena yang berjarak beberapa ratus meter dari tempat tinggalnya. Dia melaporkan penemuannya itu tadi ke Kapospol Titehena yang waktu itu dijabat oleh Fransiskus Raga L. Bersama Kapospol Titehena dan seorang anggota polisi lainnya, Hodung Werang kembali ke Blou. Sekitar 09.30, mereka tiba di tempat jenazah korban ditemukan.

Kapospol yang datang ke (TKP) itu rupanya tidak membawa perlengkapan seperti police line dan alat tulis. Setelah menyadari bahwa alat tulis diperlukan, baru dia menyuruh seorang bawahannya untuk mengambilnya di kantornya. Tetapi bagaimana dengan police line? Tidak jelas apakah Pospol Titehena memiliki police line atau tidak memilikinya. Yang jelas Fransiskus Raga L. sama sekali tidak memasang police line untuk mengamankan TKP.

Dengan kamera ponsel, polisi itu membuat beberapa gambar. Salah satu gambar memperlihatkan bekas ikatan tali di pergelangan tangan korban. Ada pula gambar yang dibuat dari arah utara, sehingga yang nampak jelas adalah sepeda motor Yamaha Jupiter milik Petrus Naya Koten itu. Sedangkan jenazah korban terhalang oleh sepeda motor itu.

Sekitar lima belas menit setelah Kapospol Titehena berada di TKP di Blou, muncul sebuah sepeda motor dari arah Lewolaga. Pengendara sepeda motor Supra Fit itu adalah Mikhael Torangama Kelen, yang pada waktu itu berstatus sebagai kepala desa terpilih untuk Lewoingu. Di jok belakang sepeda motor itu duduk Lambertus Lagawuyo Kumanireng. Mereka tidak mengenakan helm (helmet). Ketika melintas di TKP, pengendara sepeda motor itu bergelagat untuk tancap gas. Tetapi sempritan Kapospol Titehena akhirnya menghentikan sepeda motor itu.   

Ketika ditanya mau ke mana, Mikhael Torangama Kelen dengan enteng menjawab bahwa mereka mau ke Maumere. Fransiskus Raga L. lalu mengajak Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng melihat jenazah korban yang sedang tergeletak di parit. Kepada Mikhael Torangama Kelen, Fransiskus Raga L. bertanya, “Kenal jenazah siapa itu?” Mikhael Torangama Kelen menjawab, “Kenal.” Kemudian, Mikhael Torangama Kelen pun mengatakan, “Ini baru rasa.”

Fransiskus Raga L. kemudian menyuruh Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng untuk menyampaikan tentang penemuan jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou kepada keluarganya (kepada keluarga korban) di kampung Eputobi. Dengan senang hati, Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng meluncur kembali ke Eputobi. Di Horotiwang, Lambertus Lagawuyo Kumanireng beberapa kali mengangkat kedua tangannya yang terkepal ke atas sebagai ekspresi kegembiraan. Begitu tutur seorang saksi mata.

Setelah tiba di kampung Eputobi, Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng tidak menyampaikan berita tersebut kepada keluarga korban. Mereka hanya berpura-pura membicarakan penemuan jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran kepada sesama mereka, yang sebelumnya sudah sama-sama tahu tentang apa yang sesungguhnya terjadi dengan orang yang jenazahnya ditemukan di dalam parit di Blou itu. Dari mulut ke mulut kabar duka itu kemudian merambat secara terbuka, hingga akhirnya sampai juga ke rumah keluarga korban.

Sesudah tiba di Eputobi, Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng tidak kembali lagi ke Blou, apalagi ke Maumere. Pada hari itu, mereka tidak bermaksud ke Maumere. Jawaban bahwa mereka mau ke Maumere itu tadi hanyalah suatu tipuan. Mereka hanya mau jalan-jalan lagi ke Blou untuk melihat lebih jauh seperti apa nasib korban sekaligus mereka juga bermaksud menghilangkan jejak kriminal mereka. Duet antara kedua orang ini yang menentukan “kesuksesan” operasi kriminal yang digelar pada Senin malam, 30 Juli 2007. (Bersambung)