Jumat, 14 Agustus 2009

Menyikapi upaya penyesatan informasi tentang tragedi Blou

 

Beberapa anggota polisi yang berusaha mengusut kasus pembunuhan atas Yoakim Gresituli  Ata Maran pernah mengkhawatirkan penyesatan informasi yang dilakukan oleh orang-orang yang pada waktu itu terindikasi sebagai pelaku. Kekhawatiran mereka itu didasarkan pada pengalaman mereka dalam menangani perkara kriminal, dan pada “rapihnya” cara kerja para pelaku, sehingga menimbulkan kesan bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran murni karena kecelakaan lalulintas. Di balik “kerapihan” cara kerja mereka, mereka pun tentu telah menyiapkan segala macam jurus untuk menyangkali perbuatan jahat yang mereka lakukan. Salah satu caranya adalah melakukan penyesatan informasi tentang kasus pembunuhan tersebut.

Dari keterangan salah seorang saksi kunci, kita mengetahui bahwa penyesatan informasi itu sudah dilakukan sejak malam kejadian perkara, di Tobi Bele’eng yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Ketika ditanya tentang apa yang sedang terjadi, para penjahat Eputobi yang mengeroyok Yoakim Gresituli Ata Maran mengatakan bahwa mereka mau ke pesta, tetapi terjadi kecelakaan lalulintas.

Jika benar terjadi kecelakaan lalulintas, mengapa tawaran pertolongan ditampik oleh mereka yang berada di tempat kejadian perkara? Kalau benar terjadi kecelakaan lalulintas, mengapa korbannya dibiarkan mati di dalam parit yang berjarak beberapa ratus meter dari tempat penghadangan dan tempat awal aksi pengeroyokan dan penganiayaan?

Upaya penyesatan informasi pertama itu kemudian dilanjutkan dengan upaya pembungkaman mulut orang-orang tertentu yang mengetahui ihwal peristiwa kriminal dengan korban Yoakim Gresituli Ata Maran itu. Mulut Petrus Naya Koten, misalnya, sering disetel agar perbuatan jahat yang mereka lakukan di Blou itu tidak bocor. Ada saksi yang diancam dibunuh.  Selain itu mereka juga menyebarkan fitnah terhadap keluarga korban, dan menuduh beberapa orang lain sebagai pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Padahal pada Senin malam 30 Juli 2007 itu, orang-orang yang mereka kambinghitamkan itu menonton televisi di rumah Yosef Kehuler. Sedangkan Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya termasuk Petrus Naya Koten “berpesta ria” di Tobi Bele’eng dan Blou. Atau meminjam istilah Sedu-Doweng Kelen, pada malam itu mereka pusa mang (injak padi) di Blou.

Secara tertulis, penyesatan informasi tentang tragedi Blou itu pernah dilakukan oleh Donatus Doni Kumanireng, baik melalui buku tamu eputobi.net maupun melalui sebuah situs pribadinya. Melalui eputobi.net dia menyesatkan publik dengan mengatakan bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu disebabkan oleh kecelakaan lalulintas. Melalui situs pribadinya, dia menyesatkan publik dengan mengatakan bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu disebabkan oleh kepasa’ (sumpah) yang dilakukan oleh pihak Kumanireng. Apa sih arti suatu sumpah yang tidak didasarkan pada kebenaran?

Secara lebih halus upaya penyesatan informasi tentang tragedi Blou pun nampak dalam tulisan Marselinus Sani Kelen di weblognya. Dalam artikelnya berjudul “Sikap Suku Kelen Terhadap Konflik di Kampung Halaman ‘Desa Lewoingu,’” Sani Kelen mengatakan bahwa kematian saudara Yoakim Gresituli Maran lebih merupakan sebuah sandiwara, ada yang memainkan gitar menabuh gendrang dan yang lain menari. Selain itu dia juga mengatakan bahwa semakin kencang polarisasi itu diciptakan semakin kecil kemungkinan untuk mendapat pelaku kejahatan sesungguhnya.

Dalam “Meretas Batas Diantara Tersangka dan Terpidana,” Marselinus Sani Kelen mengemukakan sejumlah informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan.  Dalam tulisannya itu dia antara lain mengatakan bahwa

“Bukti permulaan yang dipakai dalam penangkapan Mikhael Torang Kelen cs adalah didasarkan pada karena keadaan hubungan konflik terbuka yang terjadi dalam proses pemilihan kepala desa. Keadaan itu kemudian diperkuat dengan sebuah kerasukan yang seolah-olah menjelaskan tentang siapa sesungguhnya pelaku pembunuhan itu.”

Pernyataan-pernyataan semacam itu jelas ngawur. Penangkapan dan penahanan terhadap Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng pada hari Jumat, 18 April 2008 sore itu didasarkan pada keterangan saksi-saksi. Polisi tidak menggunakan fenomena yang disebutnya kerasukan itu sebagai bukti awal. Jika fenomena tersebut diperhitungkan sebagai bukti awal, Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawannya sudah diciduk polisi pada akhir November 2007. Penetapan Mikhael Torangama Kelen dkk sebagai tersangka pelaku pembunuhan tersebut didasarkan pada bukti-bukti awal yang cukup. Maka sangkaan sebagai pelaku kejahatan tersebut patut dikenakan kepada mereka. Itulah sebabnya, mereka pun disebut tersangka.

Dalam proses penyidikan baik yang dilakukan oleh tim penyidik dari Polda NTT maupun oleh tim penyidik dari Polres Flores Timur, Mikhael Torangama Kelen dkk menyangkali perbuatan jahat yang disangkakan kepada mereka. Tetapi penyangkalan mereka itu bertentangan dengan keterangan saksi-saksi. Pendek kata terdapat alat-alat bukti yang cukup yang menunjukkan bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannyalah yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Kecukupan alat bukti itulah yang membuat Kapolres Flores Timur mengatakan bahwa dijamin bahwa keempat tersangka itulah yang menghabisi Yoakim Gresituli Ata Maran.

Kecukupan alat bukti itu pula yang membuat Mikhael Torangama Kelen dan tiga anak kandung dari Lamber Liko Kumanireng itu tetap berstatus sebagai tersangka hingga kini. Bahwa keempat tersangka itu dikeluarkan dari sel Polres Flores Timur, itu ya. Alasannya, karena berkas perkara kejahatan yang mereka lakukan belum mencapai status P21. Jadi pernyataan bahwa keempat tersangka itu dibebaskan demi hukum tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam dunia hukum istilah dikeluarkan dari tahanan dan dibebaskan itu beda definisinya. Mana mungkin seorang tersangka dibebaskan demi hukum sedangkan statusnya tetap sebagai tersangka pelaku kejahatan.

Yang juga perlu diperhatikan ialah bahwa hingga kini, berkas perkara pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran belum ditolak oleh pengadilan mana pun yang ada di republik ini. Karena, berkas perkara tersebut belum berhasil diajukan ke pengadilan. Jaksa penuntut umum (JPU) yang bersangkutan pun tidak menolak berkas perkara tersebut. Yang terjadi ialah JPU itu mengembalikan berkas perkara tersebut ke Polres Flores Timur. Pengembalian itu disertai petunjuk-petunjuk perbaikan agar berkas perkara itu layak dinaikkan statusnya menjadi P21. Maka jelas bahwa pernyataan bahwa berkas perkara pembunuhan tersebut ditolak oleh pihak pengadilan itu tidak sesuai dengan kenyataan. 

Jika tidak ditemukan unsur-unsur pidana yang dilakukan oleh para tersangka, maka proses penyidikan atas kasus pembunuhan tersebut sudah distop di tingkat penyidik. Memang ada upaya dari pihak tersangka untuk memotong proses itu di tingkat penyidik, yaitu dengan cara menuntut SP3 dari Kapolres Flores Timur. Tetapi tuntutan itu tidak dipenuhi berdasarkan alasan-alasan hukum yang jelas.

Dengan mengemukakan informasi-informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan-kenyataan tersebut, Marselinus Sani Kelen pun sangat berpotensi menjadi bagian dari upaya penyesatan informasi tentang tragedi Blou. Tampak jelas bahwa memiliki semangat untuk mencari kebenaran saja tidak cukup, kalau anda sungguh-sungguh mau mencari kebenaran. Kebenaran hanya dapat ditemukan jika dalam pencariannya anda bertolak dari fakta-fakta. Dengan kata lain, omongkosonglogi bukanlah ilmu yang relevan dipakai untuk mencari kebenaran, termasuk kebenaran yang berkaitan dengan tragedi Blou. ***