Jumat, 11 Desember 2009

Mereka tidak mewakili masyarakat Lewoingu

 

Masyarakat Lewoingu dengan tegas menentang dan mengutuk kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007. Masyarakat Lewoingu juga menentang segala macam upaya yang dilakukan oleh siapa pun untuk menghambat atau untuk menghentikan proses hukum atas para tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran yang, untuk sementara, terdiri dari empat orang itu.

Kalau begitu, siapakah mereka yang berunjukrasa di Mapolres Flores Timur pada Jumat, 13 November 2009 itu? Apakah mereka itu mewakili masyarakat Lewoingu?

Mereka terdiri dari para tersangka dan antek-antek mereka. Berapa pun jumlah mereka, mereka itu merupakan kelompok kecil baik dalam skala kampung Eputobi maupun dalam skala Lewoingu secara keseluruhan. Yang perlu ditegaskan di sini ialah bahwa mereka yang berunjukrasa itu tidak mewakili masyarakat Lewoingu baik dari segi adat maupun dari segi sosial politik. Masyarakat adat Lewoingu sejak zaman kuno hingga kini menentang keras penggunaan cara-cara jahat untuk memenuhi kepentingan politik orang atau kelompok tertentu. Maka menurut hukum adat Lewoingu, pelaku kejahatan apalagi pelaku pembunuhan patut diganjari dengan hukuman mati. Demikian pula masyarakat politik demokratis modern pun mengharamkan penggunaan mentode kejahatan untuk mempertahankan kekuasaan seseorang atau sekelompok orang. Dalam negara hukum demokratis, seorang pembunuh berencana dapat dikenai hukuman mati.

Kiranya jelas bahwa mereka yang beberapa waktu lalu berunjukrasa di Larantuka untuk menuntut SP3 itu mewakili para penjahat yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Meskipun beberapa dari peserta unjukrasa itu terbilang dalam suku Kebele’eng di Lewowerang-Lewoingu, tetapi mereka bukanlah penentu arah kebijakan adat istiadat Lewowerang-Lewoingu. Sehingga mereka tak bisa menjadi representasi dari masyarakat adat Lewowerang-Lewoingu, apalagi menjadi representasi masyarakat adat Lewoingu secara keseluruhan.

Untuk menyanggah kekuasaan politiknya yang kian membusuk itu, Mikhael Torangama Kelen membentuk suatu masyarakat adat, yang diketuai oleh seseorang yang sama sekali tidak punya otoritas dan wewenang adat, menurut tradisi adat Lewoingu. Masyarakat adat bentukan Mikhael Torangama Kelen berada di luar tatanan adat Lewowerang-Lewoingu sejati. Yang dia bentuk itu adalah suatu masyarakat adat politis, yang tidak sesuai dengan masyarakat adat hasil kesepakatan para leluhur Lewowerang-Lewoingu, yang bersokogurukan delapan suku.

Dengan membentuk suatu masyarakat adat politis semacam itu, Mikhael Torangama Kelen pada dasarnya telah mengeluarkan dirinya dan sejumlah orang Eputobi dari arena masyarakat adat Lewowerang-Lewoingu sejati. Dengan demikian Lewowerang-Lewoingu dengan pandangan hidup dan nilai-nilai luhurnya, dengan Koke Balenya tidak bisa lagi menjadi kerangka referensi aktivitas sosial budaya mereka. Dengan membentuk suatu masyarakat adat politis semacam itu, Mikhael Torangama Kelen dan para pengikutnya perlu mencari kerangka referensi lain bagi aktivitas sosial adat mereka. Apalagi aktivitas sosial adat mereka selama lebih dari dua tahun terakhir lebih dimotivasi oleh kepentingan untuk menutup-nutupi kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk pada Senin malam, 30 Juli 2007 di Blou, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga, di Flores Timur. Untuk kepentingan itulah Mikhael Torangama Kelen dkk menghalalkan segala macam cara.

Para leluhur Lewowerang-Lewoingu mengharamkan perilaku barbarik seperti yang diperlihatkan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu. Hal ini dengan mudah dapat dilacak dari sejarah Lewowerang-Lewoingu atau dari sejarah Lewoingu secara keseluruhan. Hingga kini perilaku barbarik itu ditentang keras di seluruh kawasan Lewoingu. Para penentangnya adalah kelompok mayoritas yang untuk sementara memilih diam guna memberikan kesempatan kepada para aparatur penegak hukum di Flores Timur memproses kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran secara hukum.

Makin lama makin kentara bahwa Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan termasuk para pendukung mereka yang merupakan kelompok kecil di Lewoingu itu tidak lagi memiliki kesadaran akan mana yang baik dan mana yang buruk. Hal ini nampak jelas dari kebanggaan akan keberhasilan mereka untuk membunuh salah seorang lawan politik mereka, dan dari segala upaya mereka untuk menutup-nutupi perbuatan sangat keji yang mereka lakukan itu di Blou.

Dari orang-orang semacam itu sulit bagi kita untuk mengharapkan adanya kerendahan hati dan kejujuran untuk mengakui secara apa adanya perbuatan jahat yang telah mereka lakukan pada Senin malam, 30 Juli 2007. Tanpa sungkan-sungkan sedikit pun, mereka itu bisa mencatut nama Tuhan dan nama lewotana (kampung halaman) untuk membungkus perbuatan jahat mereka. “Mana ada maling yang mengakui dirinya maling? Kalau maling teriak maling, itu ya.” Begitu komentar orang-orang yang telah berpengalaman berurusan dengan maling. 

Jika proses hukum atas para tersangka itu terus diulur-ulur, maka para penjahat itu akan menemukan ruang yang lebih leluasa untuk terus bereksperimen dengan segala macam jurus kebohongan guna memutarbalikkan fakta-fakta hukum. Itu kekhawatiran yang sejak lama muncul dalam benak kelompok mayoritas di Lewoingu. Keseriusan aparatur penegak hukum, terutama Kapolres Flores Timur dan para anggota polisi yang berada dalam lingkup koordinasinya untuk memberantas kejahatan itu hingga tuntas sangat diharapkan oleh mayoritas masyarakat Lewoingu. Selama ini kelompok mayoritas berusaha sabar dan diam. Tetapi sabar dan diam itu tidak bisa diartikan sebagai menyetujui berlarut-larutnya proses penanganan perkara pembunuhan tersebut. ***