Sabtu, 04 Oktober 2008

Apa Implikasi Logis dari Perbuatan Merusak Adat?

Tindakan pengrusakan adat yang terjadi di kampung Eputobi pada tahun 2006 (kasus TK Demon Tawa), pada tahun 2007 (kasus upacara adat di kampung lama dengan menyalahgunakan barang-barang pusaka yang bukan milik para pelaku upacara itu), dan pada tahun 2008 (kasus sumpah adat), merupakan pelanggaran berat, menurut hukum adat Lewoingu, khususnya menurut hukum adat Lewowerang. Dengan terlibat pula dalam peristiwa pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran, pada Senin malam, 30 Juli 2007, bobot pelanggaran yang dilakukan oleh gerombolan pengacau Lewoingu itu menjadi berlipat ganda.

Yang tidak disadari oleh banyak orang ialah bahwa upaya pengacauan seperti yang terjadi di Eputobi itu nyaris merembet ke Lewolaga. Di antara pentolan-pentolan pengacau di Eputobi itu, ada yang sempat menghasut antek-anteknya di Lewolaga untuk tidak mengakui Ata Maran dan De Ornay sebagai Kebele'eng Rahayang (Pemimpin Tertinggi Adat di Lewoingu). Gerakan yang secara keras anti terhadap kepala desa Lewolaga yang sekarang sempat muncul. Gerakan ini semacam antitesa terhadap gerakan oposisi di Eputobi. Untung bahwa upaya untuk mengacaukan masyarakat Lewolaga itu dapat diredam sejak dini. Tetapi salah satu pentolannya masih sibuk berkasak-kusuk hingga kini.

Para pengacau memang mampu mengacaukan masyarakat. Jika mereka tidak mampu mengacaukan masyarakat, mereka tidak perlu disebut pengacau. Para pembunuh mampu membunuh orang. Jika mereka tidak mampu membunuh orang, mereka tidak perlu disebut pembunuh. Para pengacau dan penjahat mampu juga menipu. Jika mereka tidak mampu menipu, mereka tidak perlu disebut penipu.

Tetapi mereka tidak mampu menyadari bahwa siapa yang mengacaukan masyarakat akan dikacaubalaukan hidupnya; siapa yang bermain pedang akan dimakan oleh pedangnya; dan siapa yang menipu akan ditipu. Selain itu, siapa yang merusak suatu tatanan adat dengan sendirinya tersingkir dari tatanan adat yang bersangkutan. Siapa yang merusak persatuan sosial budaya, dia tersingkir dari arena persatuan itu. Dia tak pantas lagi menjadi bagian yang sah dari persatuan itu.

(Lalu dapat ditambahkan, siapa yang menyuap akan kehabisan uang. Siapa yang disuap dapat uang suap, tetapi akan dipecat dari pekerjaannya, lalu dibui seperti yang dialami oleh jaksa Urip Tri Gunawan).

Sangat penting bagi kita untuk memperhatikan, bahwa tatanan adat Lewoingu adalah hasil kesepakatan para nenek moyang Lewoingu. Tatanan adat Lewowerang adalah hasil kesepakatan para nenek moyang Lewowerang. Tatanan adat Lewolein adalah hasil kesepakatan para nenek moyang Lewolein. Tanpa kesepakatan luhur itu tak mungkin ada Lewolein, tak mungkin ada Lewowerang, tak mungkin ada Lewoingu.

Kesepakatan itu didasari pada prinsip moral yang bahwa persatuan itu lebih baik bagi manusia Lewoingu ketimbang hidup sendiri-sendiri seperti di zaman pra Lewoingu. Keamanan, keadilan, dan kesejahteraan lebih terjamin dalam suatu tatanan sosial budaya yang dibentuk bersama ketimbang ketimbang dalam kesendirian. Dalam persatuan, persoalan-persoalan hidup lebih mudah ditanggulangi ketimbang dalam kesendirian.

Sebelum berdirinya Lewoingu, persatuan sudah menjadi fundasi moral bagi berbagai komunitas adat Lamaholot. Hingga kini, prinsip moral itu mereka junjung tinggi. Haram bagi mereka untuk mencabik-cabik persatuan adat yang disimbolkan dengan Koke-Bale. Tak ada satu orang pun dalam komunitas mereka yang bangkit untuk mempersoalkan posisi-posisi dan tugas-tugas adat.Tidak ada suku yang bangkit melawan suku-suku lain untuk merebut posisi-posisi adat tertentu. Sebagai makhluk adat, setiap mereka taat pada asas-asas adat yang telah berlaku dari generasi ke generasi sejak tatanan adat mereka terbentuk. Tugas mereka ialah merawat dan melestarikan nilai-nilai luhur, tata adat yang baik warisan nenek moyang mereka.

Jika di Lewoingu, khususnya di Eputobi ternyata bangkit sejumlah orang yang berusaha secara sistematis untuk melakukan pengrusakan tatanan adat, itu berarti mereka mau menarik diri dari arena persatuan yang dulu disepakati oleh para nenek moyang Lewoingu. Tampak jelas bahwa mereka tidak lagi membutuhkan hidup bersama dalam tatanan sosial budaya Lewoingu.

Dengan membunuh orang yang tidak bersalah itu, yaitu Yoakim Gresituli Ata Maran, mereka menunjukkan diri sebagai makhluk barbarik, yang sungguh-sungguh tak pantas untuk diterima dalam tatanan adat masyarakat beradab Lewoingu. Yang juga tak pantas lagi menjadi bagian yang sah dari masyarakat beradab Lewoingu ialah mereka yang mendukung dan membenar-benarkan pengrusakan adat dan pembunuhan orang yang tidak bersalah itu.

Jadi implikasi logis dari perbuatan merusak adat Lewoingu, khususnya perbuatan merusak adat Lewowerang ialah bahwa mereka yang merusak itu tidak lagi menjadi bagian yang sah dari komunitas adat Lewowerang. Itu berarti, mereka pun tidak lagi menjadi bagian yang sah dari masyarakat adat Lewoingu. Jika para pengacau itu mau membentuk suatu tatanan adat baru bagi kelompok mereka, tak pantas Lewowerang atau Lewoingu menjadi kerangka refenrensinya.

Dengan memisahkan diri dari tatanan adat Lewowerang atau pun Lewoingu, mereka dengan sendirinya kehilangan hak dan wewenang adat mereka dalam konteks Lewoingu. ***