Kamis, 16 Oktober 2008

Oktober 2007 (Bagian Ketiga)

Pagi hari Jumat, 12 Oktober 2007, saya memperjelas batas tanah di sebelah timur rumah Anis Kelen. Dengan cara itu, kami harap Anis Kelen dan isterinya tidak lagi menambah-nambah halaman rumah mereka ke sebelah timur. Tanah tempat tinggal mereka itu bukan tanah milik Anis Kelen. Di situ dia pada dasarnya hanya numpang tinggal. Tetapi penumpang yang satu ini kadang-kadang bertindak seperti pemilik sah atas tanah itu.

Siang hari itu, saya pun berkesempatan bertemu dengan Petrus Naya Koten alias Pendek Pite, orang yang hingga hari itu masih saya percayai sebagai saudara, dan sebagai sahabat dekat almarhum Akim Maran. Kepada saya dia masih saja mengeluh tentang penahanan sepeda motornya di Polsek Wulanggitang di Boru. Tentang penahanan sepeda motornya itu, seorang rekannya pernah berguyon, yang masuk bui malah sepeda motor, bukan pelaku-pelakunya. Sebagai salah satu barang bukti utama, sepeda motor memang layak ditahan untuk kepentingan pengusutan perkara kejahatan Senin malam, 30 Juli 2007. Tetapi bagi Pendek Pite, penahanan sepeda motor itu merugikan dirinya, karena sehari-hari sepeda motor itu dipakai untuk mencari uang.

Di balik keluhannya itu sebenarnya tersembunyi suatu rasa takut. Ya, dia takut berurusan dengan polisi. Rasa takutnya itu mulai terbaca pada hari Selasa, 2 Oktober 2007. Tetapi pada waktu itu saya belum menaruh perhatian pada pertanyaan, "Mengapa orang ini harus takut berurusan dengan polisi?" Pada waktu itu, saya hanya berusaha menolong mengurus administrasi sepeda motornya yang ditahan itu. Namun di kemudian hari, tepatnya pada Senin, 22 Oktober 2007, jawaban atas pertanyaan tersebut datang sendiri. Kejadian pada hari Senin pagi itu memudahkan kita untuk menemukan salah satu mata rantai baru dalam jaringan penjahat yang menewaskan Akim Maran.

Apa yang terjadi pada hari Senin, 22 Oktober 2007? Kita akan melihatnya pada bagian keempat dari rangkaian tulisan berjudul "Oktober 2007."

Sabtu, 13 Oktober 2007 adalah hari persiapan akhir bagi anak-anak SDK St. Pius X yang akan menerima Komuni Pertama pada hari Minggu, 14 Oktober 2007. Persiapan akhir ditandai dengan doa bersama oleh umat basis di rumah anak yang akan menerima Komuni Pertama. Di tempat tinggal Epeng Maran, anak laki-laki dari almarhum Yoakim Gresituli Ata Maran, pun diadakan doa bersama. Doa bersama itu dihadiri pula oleh anggota-anggota keluarga dari Riang Duli dan dari Lewolaga.

Misa Komuni Pertama di gereja Eputobi, pada hari Minggu 14 Oktober 2007, berlangsung meriah. Namun di tengah kemeriahan itu timbul pula rasa duka di hati sebagian umat, karena mereka menyaksikan Epeng Maran yang tidak didampingi oleh ayah kandungnya sendiri. Melihat Epeng Maran, mereka ingat akan Akim Maran, yang mati secara amat mengenaskan di Blou, akibat kebiadaban sejumlah orang Eputobi. Banyak air mata lantas bertumpah-ruah di gereja itu. Pada hari itu, Epeng Maran didampingi oleh ibunya dan Plasidus Nuba Ata Maran.

Resepsi untuk Epeng Maran diadakan secara sederhana di rumah keluarga Ata Maran di kampung Eputobi. Hadir dalam resepsi itu anggota-anggota keluarga, sanak saudara, dan handai taulan. Sejak hari Sabtu, 13 Oktober 2007 hingga Senin pagi 15 Oktober 2007, di rumah keluarga Ata Maran di Eputobi berkumpul cukup banyak orang.

Mungkin karena itu, maka di pihak orang-orang yang waktu itu terindikasi jelas sebagai pembunuh Akim Maran timbul rasa curiga. Rasa curiga itu terjadi, karena di hati mereka memang sedang menumpuk bangkai kejahatan yang mereka lakukan pada Senin malam 30 Juli 2007. Karena merasa takut sekaligus sebagai salah satu bentuk unjuk gigi, di antara mereka ada yang lantas melaporkan soal berkumpulnya anggota-anggota keluarga Ata Maran itu ke polisi. Mereka pikir, cara semacam itu akan mempan untuk menakut-nakuti kluarga Ata Maran. Padahal keluarga Ata Maran tidak akan takut dengan gertakan macam apa pun.

Hari Selasa pagi sekitar pukul 09.00 seorang intel polisi dari Polsek Wulanggitang muncul di rumah keluarga Ata Maran di Eputobi. Katanya, dia ingin mencek ada perkumpulan apa di rumah keluarga Ata Maran. Setelah dijelaskan bahwa yang berkumpul di rumah itu adalah anggota keluarga yang merayakan acara Komuni Pertama anak dari almarhum Akim Maran, polisi itu langsung balik kanan dan pergi. Bersama Kapospol Titehena, intel itu meluncur ke arah Lewolaga dengan sepeda motor.

Pihak keluarga Ata Maran kemudian menanyakan alasan kedatangan intel itu kepada Kapolsek Wulanggitang di Boru. Ketika ditanya tentang siapa yang menyuruh intel itu datang ke rumah keluarga Ata Maran di Eputobi, Kapolsek hanya menjawab, "Itu perintah dari atas." Tapi dari atas mana, tidak disebutkannya secara jelas. Mungkin saja, yang dimaksud dari atas itu dari Polres Flores Timur.

Yang jelas sampai dengan Oktober 2007, mereka yang terindikasi sebagai pembunuh Akim Maran masih menjalin hubungan "mesra" dengan oknum-oknum polisi tertentu. ***(Bersambung)