Jumat, 31 Juli 2009

Kebiadaban di Blou, Flores Timur

 

Dalam keadaan tak berdaya, Yoakim Gresituli Ata Maran diseret masuk ke arah utara, melalui jalan tanah di sebelah timur Tobi Bele’eng agar tidak terlihat oleh orang-orang yang melintas di jalan raya dengan kendaraan bermotor. Di sebelah kiri dan kanan jalan tanah itu tumbuh pula pohon-pohon lamatoro. Di situ dua orang anak muda dari Lewolaga pun berdiri untuk menyaksikan adegan brutal itu. Dari situ Yoakim Gresituli Ata Maran digiring ke pondok milik bapak Stanis Lewoema di Blou. Darah yang menetes dari kepalanya membasahi batu yang terletak di sebelah barat pondok itu.

Iblis yang telah menguasai para penjahat itu terus merangsang mereka untuk menganiaya lagi dan lagi Yoakim Gresituli Ata Maran hingga dia benar-benar sekarat, lalu tewas. Di pondok itu, dia mengalami siksaan amat sangat berat. Di situ korban yang sudah tak berdaya itu didudukkan di sebuah bangku kayu yang diletakkan merapat ke dinding timur pondok. Mukanya menghadap ke timur. Di bangku itu kedua tangannya diikat. Bekas ikatan di tangannya nampak jelas dalam foto yang dibuat dengan kamera ponsel oleh seorang anggota polisi.

Dalam keadaan tangan terikat, lidah dan langit-langit mulutnya disundut dengan api rokok. Mulut dan kepalanya dipukul dengan kayu hingga hancur. Bahkan alat kelaminnya pun dikerjai juga oleh para penjahat yang sangat brutal itu. Aksi-aksi brutal itu dilakukan terutama oleh Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng, Laurens Dalu Kumanireng, dan Anton Kumanireng. Pada malam itu, para penjahat yang sangat brutal itu sungguh-sungguh menghina Yoakim Gresituli Ata Maran. Dan jangan lupa, Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng pun hadir di pondok itu untuk mengatur berbagai cara untuk memperlakukan korban. Mereka juga mengatur cara untuk menghilangkan jejak kejahatan yang mereka lakukan bersama pada malam itu.

Di pondok itu Yoakim Gresituli Ata Maran akhirnya mengalami sekarat dan hanya menunggu waktu untuk menghembuskan nafasnya yang terakhir di dunia ini. Tubuhnya yang sudah tak berdaya itu kemudian diseret lalu diletakkan di dalam parit di bawah sebuah deker di sebuah bok halus di Blou. Jarak dari pondok ke deker tersebut 70 meter.

Setelah berhasil membuat Yoakim Gresituli Ata Maran sekarat, mereka melaporkan hasil kerja mereka pada malam itu ke Kupang. Selain itu mereka juga meminta petunjuk, khususnya tentang cara memperlakukan sepeda motor yang dipakai korban agar timbul kesan bahwa yang menyebabkan kematian Yoakim Gresituli Ata Maran adalah kecelakaan lalulintas. Setelah memperoleh petunjuk tentang cara memperlakukan dan memposisikan sepeda motor tersebut, mereka kembali berkumpul di pondok milik pak Stanis Lewoema itu. Pada malam itu sepeda motor Yamaha Jupiter milik Petrus Naya Koten itu tidak langsung diletakkan di samping tubuh Yoakim Gresituli Ata Maran yang sudah sekarat.

Setelah melakukan aksi-aksi brutal terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran, Yoka Kumanireng bersama beberapa pria kepergok berdiri di pinggir jalan dekat pohon asam, tak jauh dari deker tersebut. Ketika berdiri di situ dia hanya mengenakan celana tanpa baju. Sosok Yoka Kumanireng tampak jelas oleh sorotan lampu sepeda motor yang melintas di ruas jalan itu. Pada malam itu Mikhael Torangama Kelen mengenakan celana pendek dan berbaju kaos.

Seluruh rangkaian pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam, 30 Juli 2007 berlangsung cukup cepat. Ketika malam belum larut, ada di antara pelaku kejahatan itu sudah muncul di kampung Eputobi dengan pakaian kotor dan lusuh, dengan kelewang dijepit di ketiaknya. Dengan tergopo-gopo dia turun dari sebuah sepeda motor, lalu terburu-buru dia masuk ke dalam sebuah rumah yang terletak di pinggir jalan raya. Tampilannya pada malam itu seperti orang yang baru selesai berantam.

Pada pukul 11.30 waktu setempat, seorang pelaku lainnya menggelar pesta arak dengan seorang temannya. Lalu mereka berkumpul dan begadang hingga pagi di rumah Mikhael Torangama Kelen. ***

Kamis, 30 Juli 2009

Dari Bokang ke Tobi Bele’eng

 

Di pinggir selatan kampung Bokang, Petrus Naya Koten berdiri di pinggir kiri jalan (dari arah selatan ke utara) di balik pohon pisang. Di situ dia menunggu Yoakim Gresituli Ata Maran yang sudah dipastikan keberadaannya di Bokang. Untuk mencapai tempat pencegatan pertama itu, Petrus Naya Koten diantar dengan dua sepeda motor. Keberadaan dua sepeda motor itu sempat dipergoki oleh seorang warga Bokang. Beberapa saat dua sepeda motor itu nonkrong di situ. Tetapi setelah mengetahui ada yang mencari-cari Yoakim Gresituli Ata Maran, kedua sepeda motor itu langsung meluncur ke arah Wairunu. Sedangkan Petrus Naya Koten tetap berada di posisinya.

Begitu melihat Yoakim Gresituli Ata Maran muncul, Petrus Naya Koten pun keluar dari persembunyiannya, lalu menyetop sepeda motor yang dikendarai Yoakim Gresituli Ata Maran. Dengan tenang Yoakim Gresituli Ata Maran menghentikan sepeda motor, tepat di tempat Petrus Naya Koten mencegatnya. Sebelum Petrus Naya Koten naik ke jok belakang sepeda motornya, sempat terjadi percakapan singkat.

Setelah mengetahui bahwa Petrus Naya Koten sudah berhasil menjalankan tugasnya, para penjahat yang siap beraksi pun merapatkan barisan mereka di tempat penghadangan pertama, yaitu di tikungan sebelum Tobi Bele’eng (dari arah Wairunu ke Lewolaga). Perlengkapan seperti tali, kayu, besi, kaos tangan, dan minyak pun sudah mereka siapkan.

Ketika Yoakim Gresituli Ata Maran dan Petrus Naya Koten hendak melintasi ruas jalan setelah tikungan tersebut, mereka dicegat. Laju sepeda motor yang dikendarai oleh Yoakim Gresituli Ata Maran dihentikan dengan paksa oleh sepeda motor GL warna hitam yang dipalang di jalur jalan itu. Petrus Naya Koten yang sudah tahu skenario “ceritera” yang akan terjadi langsung meloncat turun. Sementara itu Yoakim Gresituli Ata Maran berusaha meloloskan diri dari hadangan dengan menabrak sepeda GL hitam yang memalangi jalannya. Tabrakan itu membuat Yoka Kumanireng dan sepeda motor GL hitamnya jatuh. Kepala belakang Yoka Kumanireng sempat membentur aspal. Namun usaha Yoakim Gresituli Ata Maran gagal, karena Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya langsung menyergapnya.

Adegan selanjutnya mengerikan. Sempat terjadi perkelahian sengit dalam gelap malam, satu melawan lima hingga enam orang. Mikhael Torangama Kelen terlibat langsung dalam perkelahian itu. Dalam perkelahian itu leher salah seorang penjahat yang tadinya jatuh di aspal dengan sepeda motor GL hitamnya itu sempat tersambar pukulan. Maka dia itu mengalami luka di kepala bagian belakang dan leher. Luka itu membuat dia tidak bisa keluar rumah sejak tanggal 31 Juli 2007 hingga beberapa waktu kemudian.

Meskipun memberikan perlawanan yang heroik, upaya Yoakim Gresituli Ata Maran untuk mempertahankan hidupnya akhirnya sia-sia. Suatu pukulan dengan kayu yang menghantam kepalanya membuat dia jatuh di pinggir kiri jalan (dari arah Wairunu ke Lewolaga) dalam posisi berlutut dengan muka menghadap ke timur. Dia kemudian jatuh dan tergeletak di pinggir jalan itu. Dia tak mampu lagi memberikan perlawanan.

Di Tobi Bele’eng pada malam hari itu terdapat lima sepeda motor, termasuk sepeda motor milik Petrus Naya Koten yang disewa oleh Yoakim Gresituli Ata Maran. Petrus Naya Koten hadir di situ. Wajah dan sosoknya dikenal dengan baik oleh seorang saksi. Untuk menghindari diri dari pukulan dan agar wajah mereka tidak dikenali oleh orang yang lewat di situ, beberapa pelaku kejahatan itu mengenakan helm.

Sejak di pinggir jalan di Tobi Bele’eng pada malam itu, para penjahat itu sudah menyebarkan kabar bohong, bahwa yang terjadi di situ adalah kecelakaan lalulintas. Kalau benar terjadi kecelakaan lalu lintas, mengapa korbannya tidak segera ditolong? Bukankah menolong korban kecelakaan lalulintas merupakan suatu kewajiban? (Bersambung)

Malam ini dua tahun yang lalu

 

Perjalanan Yoakim Gresituli Ata Maran dan Marse Kumanireng dari Lato menuju Bokang berlangsung dalam suasana tidak nyaman. Banyak ruas jalan yang rusak membuat Marse Kumanireng memilih berjalan kaki dalam sorotan lampu sepeda motor yang dengan perlahan dijalankan oleh suaminya. Di kali nyiur, mesin sepeda motor sempat terganggu. Mereka berdua harus berhenti di situ agar gangguan teknis itu dapat diperbaiki. Setelah gangguan teknis itu diatasi, mereka meneruskan perjalanan mereka menuju Bokang, yang terletak beberapa ratus meter di sebelah utara Wairunu.

Di Bokang, Marse Kumanireng mampir di rumah bapak Paulinus Witak Hayon, sementara Yoakim Gresituli Ata Maran sempat memarkir sepeda motornya agak di bawah dekat pohon asam tak jauh dari rumah itu. Dikira, dia mampir ke rumah bapak Petrus A.  Ata Maran, yang terletak dekat dengan rumah tempat Marse Kumanireng mampir. Ketika dicari di rumah tersebut, orang yang dicari itu tidak ditemukan. 

Sekitar sepuluh menit lamanya, Marse Kumanireng berada di rumah tersebut. Malam itu juga dia harus kembali ke Eputobi. Maka Boby Hayon diminta untuk mengantarnya dengan sepeda motor ke Eputobi. Karena Boby sedang mengalami gangguan kesehatan, maka Bang Hayon (Belebang Hayon) yang mengantarnya ke Eputobi. Ketika tiba di Eputobi, Marse Kumanireng mengira bahwa suaminya sudah berada di sana. Ternyata Yoakim Gresituli Ata Maran belum berada di Eputobi. Ke mana Yoakim Gresituli Ata Maran pergi sehingga dia belum juga muncul di Eputobi?

Perjalanan Yoakim Gresituli Ata Maran dari Lato menuju Bokang berada dalam pengawasan beberapa orang dari komplotan yang sudah bertekad bulat untuk membunuhnya pada malam itu juga. Setelah mengetahui situasi terakhir di Bokang itu tadi, mereka pun segera mengatur cara untuk bisa memasukkan Yoakim Gresituli Ata Maran dalam perangkap mereka. Pada malam itu mereka sudah menyiapkan tempat penghadangan berlapis di ruas jalan dari Eputobi ke Lewolaga dan di ruas jalan dari Lewolaga ke Bokang. Menurut perhitungan mereka, jika incaran mereka itu dapat lolos dari satu tempat penghadangan, dia masih bisa dicegat di tempat penghadangan lainnya. Koordinasi di antara mereka dilakukan melalui handphone (hp) dan melalui pengendara sepeda motor yang ditugaskan sebagai kurir informasi antar-lini. Maka tak mengherankan bila ada dari anggota komplotan penjahat itu yang nonkrong di jalan simpang ke Kanada. Di situ ada sinyal telkomsel dari Lato. Ada pula yang nonkrong di Doronuro’ sambil minum tuak, karena di situ pun ada sinyal telkomsel. 

Tikungan sebelum Tobi Bele’eng dari arah barat ke timur merupakan tempat penghadangan utama. Salah satu anggota komplotan penjahat yang dipimpin oleh Mikhael Torangama Kelen itu menunggu di pertigaan Wairunu-Bokang. Satu lagi dari mereka sempat nonkrong di jalan simpang ke Gero’ong. Ada yang nonkrong di sebelah timur Tobi Bele’eng. Lalu ada yang menunggu dalam gelap malam di dekat jalan menuju pantai Keletakeng.

Untuk menjerat Yoakim Gresituli Ata Maran, Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya mengatur strategi yang cukup jitu. Setelah mengetahui apa yang terjadi di Bokang pada malam itu, mereka pun segera mengirim Petrus Naya Koten alias Pite Koten alias Pendek Pite untuk menjemput Yoakim Gresituli Ata Maran, tepat di pinggir selatan kampung Bokang. Pelibatan Petrus Naya Koten dalam proyek kriminal itu didasari pertimbangan kedekatan hubungannya dengan Yoakim Gresituli Ata Maran. Apalagi dari pagi hingga malam hari itu sepeda motor Petrus Naya Koten dipakai oleh Yoakim Gresituli Ata Maran. Dengan alasan mencari motor, Petrus Naya Koten pun diajak ke Bokang untuk memerankan tugasnya sesuai dengan skenario yang sudah dibuat oleh Mikhael Torangama Kelen dkk.

Menurut perhitungan mereka, jika Petrus Naya Koten yang pertama mencegat, maka Yoakim Gresituli Ata Maran mau berhenti. Akan sangat berisiko, jika orang lain yang pertama mencegatnya. Dan perhitungan itu ternyata berlaku. Maklum rencana pembunuhan itu sudah lama mereka rancang, dengan melibatkan orang-orang yang bersekolah tinggi. Rancangan finalnya dibuat di Koke Bale Lewowerang-Lewoingu pada hari Minggu siang, 29 Juli 2007. Pembunuhan itu dijadikan proyek, sehingga kalkulasinya menjadi kalkulasi bisnis. Maka tak mengherankan bila cukup banyak orang pun lalu begitu bergairah untuk terlibat dalam proyek kriminal itu. (Bersambung)

Hari ini dua tahun yang lalu

 

Tanggal 30 Juli dua tahun lalu jatuh pada hari Senin. Ya, pada hari Senin, 30 Juli 2007, Yoakim Gresituli Ata Maran mengantar isterinya, Marse Kumanireng, membawa nera ke acara Nebo (Nebo ibu Maria Ose Sogen) di Lato. Untuk mencapai Lato yang berjarak 17 km dari kampung Eputobi, Yoakim Gresituli Ata Maran menyewa sepeda motor Yamaha Jupiter milik Petrus Naya Koten.

Ketika mereka tiba di Lato, ibukota Kecamatan Titehena, suasana tampak cukup ramai. Sejumlah orang Eputobi yang selama itu mengincar nyawa Yoakim Gresituli Ata Maran, Yosef Kehuler, dan Sis Tukan berada di sana. Sebelum Yoakim Gresituli Ata Maran dan Marse Kumanireng tiba di Lato, orang-orang itu berada di kantor Camat Titehena. Konon mereka itu mau mengikuti jalannya pembicaraan perkara tanah yang dilaporkan oleh pihak Kelasa. Dalam laporannya, pihak Kelasa menuduh bahwa pihak Ata Maran melanggar batas tanah mereka. Tetapi karena isi laporan Kelasa itu tidak terbukti, maka pertemuan untuk membicarakan perkara tersebut dibatalkan oleh Camat Titihena.

Untuk memastikan keberadaan Yoakim Gresituli Ata Maran di Lato, dua orang dari komplotan yang telah mematangkan rencana untuk membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran itu mampir pula ke acara Nebo tersebut. Hingga sore, keberadaan Yoakim Gresituli Ata Maran di situ diawasi oleh mereka. Keberadaannya di Lato pun sempat dipantau oleh Mikhael Torangama Kelen.

Setelah mengetahui bahwa calon korban mereka dapat diawasi pergerakannya, siang itu Mikhael Torangama Kelen kembali ke Eputobi untuk memantapkan rencana aksi pada malam harinya. Sedangkan Yoakim Gresituli Ata Maran dan Marse Kumanireng bertahan di acara Nebo hingga menjelang mahgrib. Ketika lampu listrik mulai dinyalakan, mereka pamit untuk kembali ke Eputobi dengan sepeda motor yang disewa dari Petrus Naya Koten.

Ketika hendak keluar dari Lato, di sepotong jalan yang rusak, sepeda motor yang dikendarai Yoakim Gresituli Ata Maran sempat oleng dan nyaris jatuh. Melihat kejadian itu, ada yang mengusulkan agar mereka menginap saja di Lato, karena hari sudah mulai gelap, dan jalan dari Lato ke Wairunu pun buruk. Tetapi Yoakim Gresituli Ata Maran bilang bahwa mereka harus pulang pada sore itu juga, apalagi Marse Kumanireng tidak bisa meninggalkan begitu saja anaknya yang belum genap satu tahun usianya. Terhadap tawaran untuk menginap di Lato, Yoakim Gresituli Ata Maran bilang begini, “Mori di hama-hama noong kewae, mata di hama-hama noong kewae.” (Di waktu hidup bersama-sama dengan isteri, di saat mati pun sama-sama dengan isteri).

Apakah kata-katanya itu menunjukkan bahwa dia sudah punya feeling bahwa dia akan meninggal pada malam hari itu? Entahlah. Yang jelas dia tahu persis bahwa sejak di acara Nebo itu dia dibayang-bayangi dari dekat oleh orang-orang dari suatu komplotan yang mengincar nyawanya. (Bersambung)

Rabu, 29 Juli 2009

Wacana perdamaian yang lucu

 

Seorang imam yang beberapa waktu lalu bervakansi tampil di gereja St. Yosef Eputobi, Flores Timur sebagai pemimpin perayaan Ekaristi pada suatu hari Minggu di bulan Juli 2009. Di situ dia sempat “bercurhat.” Dia bilang bahwa dirinya kecewa dengan tulisan-tulisan di internet yang mewartakan kekacauan dan perpecahan yang terjadi di Eputobi, sehingga ada kelompok “Jawa Timur” dan ada pula kelompok “Jawa Barat.” Dengan menggunakan kenyataan bahwa dia ternyata ditegur-sapa oleh orang-orang dari kedua belah pihak, imam itu berkesimpulan bahwa keadaan di kampung Eputobi tidak sesuai dengan apa yang ditulis di internet itu. Tak lupa dia pun menyerukan perdamaian agar terwujud keadaan yang lebih baik. Tapi apakah imam itu tahu persis seperti apa sesungguhnya keadaan di kampung halamannya?

Seorang oknum polisi pernah datang menemui salah seorang tokoh penting di pihak barat. Kepada tokoh itu, si oknum polisi menyarankan  untuk menemui Geroda Tukan guna mengurus perdamaian. Jawabannya, “Tanyakan kepada kakak-kakak korban, maukah mereka berdamai dengan orang-orang yang membunuh adik mereka?” Ketika salah seorang anak dari tokoh itu mempersoalkan ketidakseriusan polisi Polres Flores Timur dalam menangani perkara pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran, si oknum polisi bilang, “Polisi serius bekerja, tapi ada hambatan. Yang dia maksud dengan hambatan adalah komputer error.” Mati listrik, komputer error, dan mengantuk, gangguan ini gangguan itu sering dijadikan alasan bagi kelambanan penanganan perkara kejahatan tersebut. Padahal ujung pangkal dari perkara pembunuhan tersebut sudah jelas.

Sebelum itu, si “penguasaa kampung” dan antek-anteknya pun sempat sibuk berkasak-kusuk mengusulkan perdamaian. Wacana perdamaian itu mereka munculkan setelah timbul problem ini itu dalam keluarga mereka dan dalam kelompok mereka. Tanda-tanda alam memang menunjukkan bahwa siapa pun yang terlibat dalam kasus pembunuhan itu akan terkena malapetaka. Untuk menghindari diri dari problem-problem yang lebih parah, mereka pun secara licik berkasak-kusuk mewacanakan perdamaian.

Wacana perdamaian itu mereka munculkan juga karena mereka mengetahui secara jelas bahwa kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran terus diproses. Dikeluarkannya Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng dari sel Polres Timur pada hari Sabtu,16 Agustus 2008, ditafsir sebagai pembebasan keempat orang itu dari sangkaan sebagai pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Gara-gara salah tasir semacam itu, maka pihak penjahat itu pun sempat ngotot meminta SP3. Setelah dibriefing di bawah terik matahari di lapangan upacara di Mapolres Flores Timur barulah mereka kapok untuk menuntut SP3. Sejak saat itu tidak terlihat lagi kasa-kusuk mereka untuk menuntut SP3. Bagaimana mungkin SP3 dapat diterbitkan untuk suatu kasus kejahatan besar dengan tersangka-tersangka yang jelas, dengan alat-alat bukti yang jelas?

Meskipun tangannya berlumuran darah, Mikhael Torangama Kelen terus sibuk menyangkali kebiadaban yang dilakukannya di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007. Setelah tahu bahwa kasus pembunuhan tersebut terus diproses dia pun sibuk mewacanakan perdamaian. Bahkan sudah berulangkali terjadi, kepala komplotan penjahat itu mengangkat diri sebagai satu-satunya orang besar di kampung Eputobi. Dengan congkak dia menyatakan, “Orang besar di kampung ini hanya saya ini, tidak ada lagi yang lain.” Dia ingin menampilkan diri sebagai orang besar yang mau berdamai. Memang, dia adalah satu-satunya orang besar dalam hal kejahatan, termasuk korupsi di kampung Eputobi. Maka kasak-kusuknya untuk berdamai itu tampak lucu. Anda mau berdamai dengan siapa?

Gencarnya wacana perdamaian yang disuarakan oleh para penjahat dan oleh orang-orang yang tidak mengerti persoalan yang terjadi di kampung itu menimbulkan rasa lucu dalam diri banyak orang yang menyaksikannya. Dan orang-orang pun bertanya, “Dengan siapa anda mau berdamai? Siapa yang mau berdamai dengan penjahat-penjahat itu? Mengapa mereka itu (=penjahat-penjahat itu) jadi sibuk menyuarakan perdamaian? Siapa yang bermasalah dengan mereka, sehingga perlu ada perdamaian dengan mereka?”

Ingatlah bahwa pihak keluarga korban sama sekali tidak menjadi penyebab terjadinya kekacauan dan kejahatan yang merusak kampung Eputobi. Ketika pihak keluarga korban dihina, difitnah dengan gencar sampai ke para leluhurnya seperti yang dilakukan oleh Donatus Doni Kumanireng dan Marselinus Sani Kelen pun kami tetap tenang dalam menghadapi mereka-mereka itu.  Maka siapa yang butuh perdamaian?

Bagi kami, perdamaian itu bukan untuk diwacanakan, tetapi untuk diwujudnyatakan dalam praktek kehidupan anda sebagai makhluk sosial. Jika kepala komplotan penjahat Eputobi itu mau berdamai, dia perlu berdamai dengan dirinya sendiri, dengan Lewotana, dan dengan Gereja. Caranya sangat gampang, yaitu dengan mengakui perbuatan biadab yang dilakukannya bersama anggota-anggota komplotannya di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007. Setelah mengakui perbuatan biadabmu itu, ajaklah rekan-rekanmu sesama penjahat untuk menyerahkan diri ke kantor polisi. Jangan lupa ajak juga mentormu itu, yang sekarang ini lagi pusing tujuh keliling.

Karena anda butuh damai, resep tersebut perlu anda gunakan. Jangan anda menunda-nundanya lagi. Dengan terus menunda, apalagi dengan terus menerus menggunakan jurus dusta, anda dan rekan-rekan anda akan semakin tidak tenang, karena darah orang yang kalian bunuh itu akan terus mengikuti kalian. ***

Senin, 27 Juli 2009

Dongeng dan Sejarah

 

Dengan cara apa pun anda membolak-balik “buku” sejarah Lewoingu, anda tidak akan menemukan satu pun fakta bahwa Gresituli, Bapak Lewoingu itu dilahirkan di Tana Beto. Gresituli juga tidak muncul sebagai seorang bayi dari dalam tanah yang kemudian disebut Tana Beto itu. Ceritera tentang penemuan bayi di tanah tersebut merupakan suatu dongeng.

Dongeng Tana Beto di Lewoingu itu dibuat setelah Gresituli tampil sebagai pemimpin yang 1) berhasil mengalahkan Paji, dan yang 2) berhasil membangun suatu tatanan sosial baru bagi masyarakat Demong. Sebelumnya belum ada tokoh yang mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan besar semacam itu. Pekerjaan mendahsyatkan itu tentu saja mengundang rasa kagum serentak rasa segan  juga rasa penasaran masyarakat yang bersangkutan. Rasa kagum timbul karena hasil pekerjaannya sungguh “ajaib” bagi mereka. Rasa segan timbul, karena dia berwibawa dan baik. Rasa penasaran bangkit karena mereka tidak tahu siapa dan dari mana sesungguhnya orang ini, dan apa pula sesungguhnya tujuan orang yang satu ini?

Rentetan pertanyaan itu menggelitik pikiran dan hati mereka, terus mendesakkan jawaban pada diri mereka. Tapi bagaimana mungkin mereka bisa memperoleh jawabannya dari sang tokoh. Mereka tidak mengenalnya, mereka juga tidak punya akses untuk menggapai sang narasumber. Maka direkalah ceritera tentang penemuan seorang bayi di tanah yang kemudian disebut Tana Beto itu. Itulah dongeng tentang tokoh pendiri Lewoingu. Belakangan ini dongeng itu dibumbu-bumbui dengan pandangan mitis-magis tak karuan oleh oknum-oknum muda tertentu, yang sedang getol berusaha menjadi penutur sejarah Lewoingu.

Dongeng semacam itu termasuk sastra lisan. Ia sampai kepada generasi kita melalui suatu tradisi lisan yang berhasil menembus batas-bata zaman. Tetapi dongeng tetaplah dongeng. Ia tidak berbicara tentang fakta. Ia adalah hasil cipta daya fantasi. Bahkan perlu ditambahkan bahwa dongeng  Tana Beto adalah hasil cipta daya fantasi yang kerontang.

Sebagai salah satu bentuk sastra, ia pun dapat disisipkan pada bentuk sastra lainnya oleh si pereka ceritera. Maka tak perlu diherankan bila dongeng itu pun akhirnya muncul pula dalam Marang Mukeng versi tertentu, yang dibawakan oleh pihak tertentu. Kalau Marang Mukeng tertentu itu dibedah secara teliti, maka dengan mudah pula ditemukan kelemahannya.

Kekonyolan terjadi ketika dongeng itu diidentifikasi sebagai sejarah tokoh pendiri Lewoingu itu. Padahal pendiri Lewoingu itu sendiri bertutur, Go geresik tanah tawa, belia gere go gere, belia lesa go lesa. Bapak Lewoingu itu sendiri berceritera tentang perjalanannya bersama adiknya Keropong Ema dari tanah Jawa melewati Bali, Labuan Bajo, Lio, Hewa, Ile Kehue, hingga Lewokoli. Beliau pula yang bertutur tentang peristiwa tragis di Waiula’ di daerah Hewa sana yang menyebabkan meninggalnya Keropong Ema. Ketika tiba di Ile Kehue’, dia kembali menoleh memandang ke arah daerah tempat adiknya terbunuh. Untuk mengenangnya, dia pun mengucapkan kata-kata, yang jika dinyatakan dalam bahasa Lewoingu kontemporer begini, “Mo di amu’ung kae’, go mehakeng hena,’ go pana tiro lera gere.”

Dongeng tentang Tana Beto bermula dari ceritera di Ile Kehue’ itu. Pereka ceritera dongeng bilang bahwa waktu di Ile Kehue’ itu Gresituli lalu memasukkan dirinya ke dalam tanah, kemudian lahir sebagai seorang bayi di Tana Beto. Sejak awal si pereka ceritera rupanya mau menskenariokan adegan ajaib sebagai daya tarik bagi para pendengar. Keajaiban itu kemudian langsung diikuti dengan lompatan ajaib ke masa lalu, yaitu ke masa pendiri Lewoingu itu baru dilahirkan sebagai seorang bayi di tengah suatu hutan yang sama sekali asing baginya. Modal si bayi adalah tangisan yang mengundang perhatian serentak rasa iba dari orang-orang yang ada di sekitarnya.

Dongeng itu kemudian berlanjut dengan keberhasilan si bayi mengundang perhatian dan kedatangan seorang wanita bernama Bota Bewa. Si bayi lalu dibawa ke Lewohari. Di situ suatu adegan ajaib dimunculkan lagi, yaitu adegan pertumbuhannya yang cepat, sehingga hanya dalam hitungan sedikit hari si bayi berhasil bertumbuh menjadi seorang pemuda. Seorang pengapresiasi ceritera dongeng itu menambahkan bahwa dari Lewohari Gresituli pun pernah ke Lewopao.

Dongeng itu menjadi kerontang, karena si pereka ceritera gagal memberikan nama kepada si bayi. Padahal nama adalah identitas dasar yang menentukan nasib hidup seorang anak manusia. Hingga di sini alur ceriteranya menjadi macet. Dengan cara tambal sulam, kemacetan itu coba diatasi dengan ceritera pemberian busur dan pana kepada pemuda tanpa nama itu dan ceritera tentang paha hope dan weling elang.

Pada titik ini daya fantasi si pereka ceritera mulai redup, lalu serta merta dia pun meloncat ke dataran sejarah, lalu bertutur tentang perburuan rusa yang berujung pada perkenalan dirinya oleh dirinya sendiri. Kata asu yang terdapat dalam koda kiring tentang perburuan itu berarti anjing. Istilah asu itu berasal dari bahasa Jawa. Kata itu diadopsi oleh masyarakat Lamaholot dengan arti yang sama. Di Lewoingu, istilah asu mengalami perubahan fonem menjadi aho’. Kata asu yang digunakan dalam koda kiring dimaksud tidak ada kaitan dengan Lewohari apalagi dengan Lewopao yang tidak dikenal di kawasan Lewoingu.

Meskipun dongengnya kerontang, tetapi ia tetap bertahan di kalangan tertentu. Ketahanannya dimungkinkan karena ia diterima sebagai ceritera rakyat setempat. Tetapi dongeng itu tidak bermakna kalau kita berbicara tentang sejarah Lewoingu, karena ia tidak berbicara tentang fakta. Sebagai dongeng, ceritera itu ingin menyampaikan pesan simbolik bahwa yang namanya Gresituli itu orang hebat.

Tana Beto berarti tanah tempat Gresituli pernah datang atau muncul dan menginjakkan kakinya di situ. Itulah sebabnya, Tana Beto itu pun menjadi milik Gresituli yang kemudian diwariskan kepada anak cucu keturunannya yang disebut Lewoema (Lewolein). ***

Selasa, 21 Juli 2009

Menimbang “Dungbata Jatidiriku Yang Terabaikan”

 

“Dungbata Jatidiriku Yang Terabaikan” adalah judul salah satu artikel yang ditulis oleh Marselinus Sani Kelen dalam blognya (lihat http://marsel-sani-kelen.blogspot.com). Sepintas lalu, tulisan itu bertolak dari suatu niat baik, yaitu niat untuk mewujudkan kehidupan lewotana yang tenteram, lewotana yang damai, lewotana yang lohjinawi. Untuk itu pembaca diharapkan belajar dari apa-apa yang baik yang pernah dilakukan oleh para leluhur Lewoingu agar terwujud kemerdekaan, kebersamaan, kehidupan yang religius dan berperikemanusiaan, dan keadilan. Dengan belajar dari kepintaran para nenek moyang, penulis artikel tersebut berharap generasi muda kontemporer Dungbata menemukan jati dirinya.

Diandaikan, sebelum mengajak pembaca belajar dari sejarah kepintaran para nenek moyang Lewoingu itu, penulis artikel tersebut sudah belajar sungguh-sungguh dan sudah mempraktekkan pula kepintaran tersebut dalam hidupnya, sehingga dia pun dapat menjadi panutan dalam hal-hal yang baik itu. Seseorang yang sungguh-sungguh mau belajar dari kearifan para leluhur Lewoingu mestinya tidak asal bunyi ketika dia berbicara tentang konflik di Lewotana. Jika itu terjadi, dia pun dapat menjadi juru warta damai yang dapat diandalkan bagi kampung halamannya.

Tetapi, tampaknya himbauannya agar kita berkonsentrasi pada penyelesaian konflik guna mewujudkan perdamaian di lewotana itu hanya asbun alias asal bunyi saja. Tampak jelas bahwa asbunnya itu didasari pada penilaiannya tentang adanya upaya melalui tulisan untuk mempertahankan status quo konflik di kampung Eputobi. Di balik penilaiannya itu diandaikan adanya pihak yang tidak berusaha ke arah penyelesaian konflik tersebut.

Penilaian semacam itu dapat terjadi karena dia berdiri pada posisi yang satu untuk berhadapan dengan posisi yang lain. Dari posisi yang satu itu dia dengan mudahnya menilai bahwa sikap dan cara pandang pihak yang lain itu subjektif. Maka tak mengherankan bila dia pun terjebak dalam suatu penilaian subjektif, padahal penilaian subjektif itu ingin dia hindari. Dengan demikian, tanpa dia sadari, dia pun terjebak pula dalam upaya untuk mempertahankan status quo konflik dengan tulisannya itu. Tanpa dia sadari pada dasarnya dia menimbulkan polarisasi baru, yaitu kelompok yang ingin menyelesaikan konflik dan karena itu mau berdamai dan kelompok yang ingin mempertahankan konflik karena itu tidak mau berdamai. Dengan demikian tak ada nuansa damai pula dalam tulisannya itu.

Perlu dicatat di sini bahwa yang terjadi di kampung Eputobi sejak 2006 hingga kini bukan sekedar konflik biasa, tetapi kejahatan-kejahatan besar, yang berpuncak pada pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007. Yang terjadi di kampung Eputobi adalah tumbuhnya komplotan penjahat yang karena alasan-alasan politik dan sentimen-sentimen pribadi dengan mudah mengilangkan nyawa orang lain yang dianggap lawan politik dan musuh pribadi. Kelompok penjahat itu tidak hanya mengancam membunuh satu orang, tetapi lima orang. Jejak-jejak ancaman pembunuhan dan jejak-jejak para pelaku pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran mudah dilacak dan ditemukan. Apakah perkara pelanggaran adat, penyerobotan batas tanah, dan pembunuhan yang dilakukan secara berjamaah itu merupakan perkara-perkara yang sepele? Jika persoalan-persoalan itu sepele, mengapa bisa timbul perpecahan sosial budaya yang demikian parah di kampung itu? Jika yang terjadi di kampung Eputobi selama beberapa tahun terakhir adalah konflik biasa, maka konflik itu dengan mudah dapat diselesaikan dengan saling memaafkan. Tetapi untuk menghadapi dan menyelesaikan perkara kejahatan besar itu, tentu diperlukan cara-cara yang berbeda daripada cara maaf-memaafkan yang biasa.

Kalau anda ingin bercermin pada kearifan para leluhur Lewoingu, maka anda pun perlu memperhatikan bahwa para leluhur Lewoingu tidak memberi toleransi pada kejahatan. Karena itu, mereka juga tidak memberi ruang sosial budaya di komunitasnya bagi para pelaku kejahatan. Itulah sebabnya pencuri, tukang santet yang mencelakakan sesamanya, pembunuh, dan peselingkuh diberi hukuman berupa pengusiran dari kampung atau hukuman mati dengan cara diikatkan batu besar pada lehernya lalu ditenggelamkan di laut atau diterjunkan ke dalam suatu jurang yang dalam yang di bawahnya terletak batu-batu besar.

Tidak ada satu pun dari para tokoh arif bijaksana dalam sejarah Lewoingu yang membela kejahatan, yang berusaha dengan segala macam cara untuk menutup-nutupi kejahatan yang dilakukan entah oleh anggota keluarga sendiri, entah oleh orang-orang lain sekampung dengan mereka. Mereka adalah orang-orang yang mendasarkan kehidupan mereka pada kebenaran, dan berusaha secara konsisten untuk menegakkan kebenaran dalam berbagai dimensi sosial budaya masyarakat mereka pada zaman mereka hidup. Kebenaran menjadi norma dasar sekaligus orientasi hidup mereka. Sebagai norma dasar, kebenaran dijadikan pedoman penyelesaian berbagai masalah serius yang timbul dalam rangka relasi sosial di Lewoingu. Kebenaran itu pula yang menjadi dasar pelaksanaan kepasa’ atau sumpah adat. Si penipu, si penjahat yang mengangkat sumpah atau disumpah secara adat akan terkena bala. 

Lalu coba perhatikan seruan perdamaiannya. Ketika seruan perdamaiannya itu dikaitkan dengan perlunya payung hukum untuk memberikan keadilan kepada pihak korban dan para pelaku pembunuhan di Blou itu, dia mengandaikan bahwa ada pihak yang tidak mengerti payung hukum dimaksud. Seandainya ada pihak, katakanlah pihak keluarga korban tidak menghargai hukum, ceritera tentang konflik di kampung Eputobi langsung berubah total jalannya sejak penemuan jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran di dalam parit di Blou pada hari Selasa, 31 Juli 2007.

Lantas benarkah Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng sudah dibebaskan demi hukum? Benarkah mereka itu sudah dibebaskan berdasarkan pertimbangan bahwa fakta dan dasar pembuktian tidak memenuhi logika hukum? Jika mereka itu sudah dibebaskan demi hukum, mengapa status mereka tetap sebagai tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran hingga kini? Jadi logika hukum apa yang anda pakai untuk menilai perkara kejahatan sangat keji yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota komplotan pembunuhnya itu? Apakah anda kira bahwa penetapan mereka itu sebagai tersangka tidak berdasarkan bukti-bukti hukum? Apakah anda memang lebih tahu persoalannya ketimbang polisi-polisi yang bekerja berdasarkan standar profesionalisme mereka?

Meskipun seorang JPU di Kejaksaan Negeri Larantuka beberapa kali pernah mengembalikan berkas perkara pembunuhan tersebut ke Polres Flores Timur, tetapi berkas itu akan layak diajukan ke pengadilan. Ini pendapat sejumlah ahli hukum. Apakah anda punya logika hukum yang lebih canggih daripada logika hukum para ahli hukum yang sudah banyak makan asam garam di dunia hukum?

Kalau anda tidak tahu seluruh seluk beluk proses penanganan perkara pembunuhan tersebut, dan kalau anda tidak tahu tentang fakta-fakta yang berkaitan dengan perkara pembunuhan tersebut, kami berharap anda tidak perlu ikut-ikutan menjadi orang yang asal bunyi. Soalnya, yang asal bunyi itu tidak nyambung dengan kenyataan-kenyataan yang terkait dengan persoalan-persoalan yang telah dan sedang terjadi di sana. ***

Sabtu, 18 Juli 2009

Pak Aneng Tukan diperiksa sebagai saksi?

 

Akhir pekan ini (Sabtu, 18 Juli 2009) Pak Aneng Tukan, pensiunan guru itu pergi ke Larantuka, tepatnya ke Polres Flores Timur. Di situ beberapa orang polisi menunggu kedatangannya. Di situ Pak Aneng Tukan dimintai keterangan sehubungan dengan kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran. Padahal Pak Aneng Tukan sama sekali tidak tersangkut dengan kasus pembunuhan yang dilakukan Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu.

Entah dari mana oknum-oknum polisi itu memperoleh informasi, sehingga Pak Aneng Tukan pun dipanggil sebagai saksi yang dipandang perlu untuk dimintai keterangan. Dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul di ruang pemeriksaan, dapat diketahui bahwa pemeriksaan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa Pak Aneng Tukan berada di tempat kejadian perkara (TKP). Jelas bahwa asumsi itu salah besar. Karena, Pak Aneng Tukan tidak berada di TKP. Seusai Pak Aneng Tukan memberi keterangan barulah seorang oknum polisi menyadari bahwa informasi yang mereka peroleh dari sumber yang tidak disebutkan itu salah.

Di masa lalu, penyidik di Polres Flores Timur pun pernah menggunakan informasi yang tidak berdasar untuk memanggil seseorang dari pihak keluarga korban guna dimintai keterangannya di Polres Flores Timur. Aneh bahwa informasi-informasi yang tidak berdasar semacam itu mudah ditindaklanjuti oleh oknum-oknum polisi yang bersangkutan. Sedangkan sejumlah laporan yang didasari fakta-fakta kurang mendapat perhatian yang serius. Sejumlah orang yang secara jelas terindikasi terlibat dalam kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran belum juga dimintai keterangan hingga kini. Padahal dengan memeriksa orang-orang yang bersangkutan secara intensif, penyidik di Polres Flores Timur itu berpeluang besar untuk membongkar hingga tuntas kasus pembunuhan yang berusaha ditutup-tutupi oleh para pelakunya itu.

Mulai sekarang dan di hari-hari mendatang, tim penyidik di Polres Flores Timur yang menangani kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran itu diharapkan dapat menggunakan cara kerja yang lebih efektif dan lebih efisien. Untuk itu tim penyidik di Polres Flores Timur perlu memfokuskan perhatian pada para tersangka dan anggota-anggota jaringan mereka yang dengan mudah dapat dilacak.

Pemanggilan dan pemeriksaan atas seseorang berdasarkan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, seperti yang dialami oleh Pak Aneng Tukan pada hari ini tadi, tidak perlu terulang lagi di hari-hari mendatang. Kasihan, orang tua yang tidak tersangkut apa pun dengan perkara pembunuhan tersebut terpaksa direpotkan dengan urusan panggilan dan pemeriksaan polisi tersebut. Sedangkan mereka yang secara jelas terindikasi terlibat dalam proyek pembunuhan tersebut masih dibiarkan untuk bebas berkeliaran.

Jelas bahwa yang terjadi pada Senin malam, 30 Juli 2007 di Blou itu adalah suatu pembunuhan berencana. Empat orang tersangka pelakunya sudah jelas, yaitu Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng. Orang-orang lain yang dapat ditetapkan sebagai tersangka pun jelas. Bahkan penyandang dana dan aktor intelektualnya pun jelas.

Apalagi yang belum jelas? Semuanya sudah jelas, bukan? ***

Jumat, 10 Juli 2009

40 Tahun SMP Katolik Pati Beda Lewokluo di Flores Timur

 

Lewokluo adalah nama suatu desa di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Desa itu terletak beberapa kilometer di sebelah timur kampung Eputobi, desa Lewoingu. Di Lewokluo pada tanggal 20 Januari 1969 didirikan suatu Sekolah Menengah Pertama (SMP) Swasta Katolik bernama Pati Beda. Tercatat beberapa nama sebagai pendiri, yaitu bapak Clemens Belang Kabelen yang pada waktu itu menjabat sebagai kepala desa Lewokluo (kini almarhum), bapak Bern. Kopong Hera yang pada waktu itu menjabat sebagai kepala desa Lamika (kini almarhum), bapak Bato Goran yang pada waktu itu menjabat sebagai kepala desa Blepenawa (kini almarhum), bapak Lukas Mete Hayon yang pada waktu itu menjabat sebagai kepala desa Watotika Ile (Wolo-Kawalelo), bapak Hendrikus Hale Mukin dan bapak Petrus Kuda Tobi yang pada waktu itu bekerja sebagai pegawai kantor pendidikan kabupaten Flores Timur.

Pada tanggal 20 Januari 2009, SMP Pati Beda genap berusia 40 tahun. Ulang tahun ke 40 SMP Pati Beda dirayakan melalui serangkaian acara. Acara puncak terjadi pada hari Rabu, 1 Juli 2009, yang ditandai dengan penyelenggaraan seminar pendidikan yang bertema, “Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan SMP Pati Beda Dalam Menghadapi Tantangan dan Perubahan Zaman Ke Depan.” Dua pembicara tampil dalam seminar tersebut. Pembicara pertama adalah Ignas Wadan Hayon, Sekertaris  Dinas Pendidikan Kabupaten Flores Timur, yang berbicara tentang “Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan di Kabupaten Flores Timur.” Pembicara kedua adalah Romo Edu Jebarus, Pr yang berbicara tentang “Sekolah Katolik dan Perutusannya.” Acara seminar itu dimoderatori oleh Yakobus Dere Beoang. Acara seminar yang diselenggarakan di Lewokluo itu dihadiri oleh sekitar 150 peserta.

Pada hari Kamis, 2 Juli 2009 diselenggarakan Misa Syukur dengan tema “Bersyukurlah kepada Tuhan sebab DIA sungguh baik.” Misa konseleberasi terdiri 3 orang imam, dipimpin oleh Romo Gabriel Unto da Silva, Vikjen Keuskupan Larantuka. Dua konselebran lainnya adalah Romo Benyamin Dau, Pr kepala SMP Katolik Pati Beda, dan Romo Donce, Pr pastor pembantu paroki Bama. Pastor kepala paroki Bama, Romo Robert, Pr berhalangan hadir karena sedang berada di luar daerah.

Misa Syukur tersebut dimeriahkan oleh paduan suara SMP Katolik Pati Beda, yang didirigeni oleh dua orang siswi secara bergantian. Misa yang berlangsung dari pukul 09.00 hingga pukul 11.00 waktu setempat itu dihadiri sekitar 750 orang.

Usai Misa Syukur diselenggarakan acara resepsi yang berlangsung dari pukul 11.30 hingga pukul 15.00 waktu setempat. Acara resepsi dihadiri oleh bupati kabupaten Flores Timur, Simon Hayon, camat Demong Pagong, para kepala desa di daerah Demong Pagong, para tokoh umat, dan para tokoh adat, para guru, para siswa-siswi yang bersangkutan, para warga masyarakat, dan alumni.

Dalam acara hiburan disuguhkan tarian Betu’ pute, Ame lereng, dan Tane hoe yang bersumber dari budaya dan adat setempat. Tarian tersebut dibawakan oleh 11 orang siswi SMP Pati Beda, diiringi 5 orang penyanyi dan dua penabuh gendang. Dalam perlombaan seni budaya di Larantuka beberapa waktu lalu tarian ini berhasil tampil sebagai juara 3 tingkat kabupaten Flores Timur.

Sesudah resepsi diadakan acara Temu Kangen, yang berlangsung dari pukul 15.00 hingga pukul 17.00 waktu setempat. Dalam acara ini berhasil dibentuk “Gerakan Cinta Almamater” dengan nama IKATAN ALUMNI SMPK PATI BEDA LEWOKLUO yang disingkat dengan IKAL SMPK PATI BEDA LEWOKLUO. Pengurusnya terdiri dari bapak guru Agus Naya Goran, Yosef Malik Lein (aktivis LSM Wahana Visi Indonesia di Flores Timur), bapak guru Valentinus Malik Lein (guru SMAK Frater Podor-Larantuka), dan bapak Mikhael Lawe Hera (pegawai Kecamatan Demong Pagong di Lewokluo). Anggotanya terdiri dari semua alumuni SMPK Pati Beda. Dalam kesempatan itu berhasil dikumpulkan dana awal sebesar Rp 750.000 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).

Dari 66 peserta ujian nasional 2009, 62 orang siswa-siswi SMPK Pati Beda dinyatakan lulus. Empat orang tidak lulus ujian nasional 2009. Jumlah murid SMPK Pati Beda mencapai angka 200.

Nama-nama kepala sekolah SMPK Pati Beda sejak 1969 hingga kini adalah sebagai berikut:

1. Bapak Mikhael Pain Beribe

2. Bapak Plasidus Nuba Ata Maran

3. Bapak Petrus Pama Tukan

4. Bapak Anton Ada Lein

5. Bapak Bartolomeus Tulung Ruing

6. Bapak Petrus Pora Dalu

7. Baak Andreas Kumanireng

8. Bapak Benyamin Weter

9. Bapak Patrisius Boli

10. Romo Benyamin Dau, Pr

 

Alamat sekolah adalah SMP Swasta Katolik Pati Beda di Lewokluo, Kecamatan Demong Pagong, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. ***