Rabu, 29 Juli 2009

Wacana perdamaian yang lucu

 

Seorang imam yang beberapa waktu lalu bervakansi tampil di gereja St. Yosef Eputobi, Flores Timur sebagai pemimpin perayaan Ekaristi pada suatu hari Minggu di bulan Juli 2009. Di situ dia sempat “bercurhat.” Dia bilang bahwa dirinya kecewa dengan tulisan-tulisan di internet yang mewartakan kekacauan dan perpecahan yang terjadi di Eputobi, sehingga ada kelompok “Jawa Timur” dan ada pula kelompok “Jawa Barat.” Dengan menggunakan kenyataan bahwa dia ternyata ditegur-sapa oleh orang-orang dari kedua belah pihak, imam itu berkesimpulan bahwa keadaan di kampung Eputobi tidak sesuai dengan apa yang ditulis di internet itu. Tak lupa dia pun menyerukan perdamaian agar terwujud keadaan yang lebih baik. Tapi apakah imam itu tahu persis seperti apa sesungguhnya keadaan di kampung halamannya?

Seorang oknum polisi pernah datang menemui salah seorang tokoh penting di pihak barat. Kepada tokoh itu, si oknum polisi menyarankan  untuk menemui Geroda Tukan guna mengurus perdamaian. Jawabannya, “Tanyakan kepada kakak-kakak korban, maukah mereka berdamai dengan orang-orang yang membunuh adik mereka?” Ketika salah seorang anak dari tokoh itu mempersoalkan ketidakseriusan polisi Polres Flores Timur dalam menangani perkara pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran, si oknum polisi bilang, “Polisi serius bekerja, tapi ada hambatan. Yang dia maksud dengan hambatan adalah komputer error.” Mati listrik, komputer error, dan mengantuk, gangguan ini gangguan itu sering dijadikan alasan bagi kelambanan penanganan perkara kejahatan tersebut. Padahal ujung pangkal dari perkara pembunuhan tersebut sudah jelas.

Sebelum itu, si “penguasaa kampung” dan antek-anteknya pun sempat sibuk berkasak-kusuk mengusulkan perdamaian. Wacana perdamaian itu mereka munculkan setelah timbul problem ini itu dalam keluarga mereka dan dalam kelompok mereka. Tanda-tanda alam memang menunjukkan bahwa siapa pun yang terlibat dalam kasus pembunuhan itu akan terkena malapetaka. Untuk menghindari diri dari problem-problem yang lebih parah, mereka pun secara licik berkasak-kusuk mewacanakan perdamaian.

Wacana perdamaian itu mereka munculkan juga karena mereka mengetahui secara jelas bahwa kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran terus diproses. Dikeluarkannya Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng dari sel Polres Timur pada hari Sabtu,16 Agustus 2008, ditafsir sebagai pembebasan keempat orang itu dari sangkaan sebagai pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Gara-gara salah tasir semacam itu, maka pihak penjahat itu pun sempat ngotot meminta SP3. Setelah dibriefing di bawah terik matahari di lapangan upacara di Mapolres Flores Timur barulah mereka kapok untuk menuntut SP3. Sejak saat itu tidak terlihat lagi kasa-kusuk mereka untuk menuntut SP3. Bagaimana mungkin SP3 dapat diterbitkan untuk suatu kasus kejahatan besar dengan tersangka-tersangka yang jelas, dengan alat-alat bukti yang jelas?

Meskipun tangannya berlumuran darah, Mikhael Torangama Kelen terus sibuk menyangkali kebiadaban yang dilakukannya di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007. Setelah tahu bahwa kasus pembunuhan tersebut terus diproses dia pun sibuk mewacanakan perdamaian. Bahkan sudah berulangkali terjadi, kepala komplotan penjahat itu mengangkat diri sebagai satu-satunya orang besar di kampung Eputobi. Dengan congkak dia menyatakan, “Orang besar di kampung ini hanya saya ini, tidak ada lagi yang lain.” Dia ingin menampilkan diri sebagai orang besar yang mau berdamai. Memang, dia adalah satu-satunya orang besar dalam hal kejahatan, termasuk korupsi di kampung Eputobi. Maka kasak-kusuknya untuk berdamai itu tampak lucu. Anda mau berdamai dengan siapa?

Gencarnya wacana perdamaian yang disuarakan oleh para penjahat dan oleh orang-orang yang tidak mengerti persoalan yang terjadi di kampung itu menimbulkan rasa lucu dalam diri banyak orang yang menyaksikannya. Dan orang-orang pun bertanya, “Dengan siapa anda mau berdamai? Siapa yang mau berdamai dengan penjahat-penjahat itu? Mengapa mereka itu (=penjahat-penjahat itu) jadi sibuk menyuarakan perdamaian? Siapa yang bermasalah dengan mereka, sehingga perlu ada perdamaian dengan mereka?”

Ingatlah bahwa pihak keluarga korban sama sekali tidak menjadi penyebab terjadinya kekacauan dan kejahatan yang merusak kampung Eputobi. Ketika pihak keluarga korban dihina, difitnah dengan gencar sampai ke para leluhurnya seperti yang dilakukan oleh Donatus Doni Kumanireng dan Marselinus Sani Kelen pun kami tetap tenang dalam menghadapi mereka-mereka itu.  Maka siapa yang butuh perdamaian?

Bagi kami, perdamaian itu bukan untuk diwacanakan, tetapi untuk diwujudnyatakan dalam praktek kehidupan anda sebagai makhluk sosial. Jika kepala komplotan penjahat Eputobi itu mau berdamai, dia perlu berdamai dengan dirinya sendiri, dengan Lewotana, dan dengan Gereja. Caranya sangat gampang, yaitu dengan mengakui perbuatan biadab yang dilakukannya bersama anggota-anggota komplotannya di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007. Setelah mengakui perbuatan biadabmu itu, ajaklah rekan-rekanmu sesama penjahat untuk menyerahkan diri ke kantor polisi. Jangan lupa ajak juga mentormu itu, yang sekarang ini lagi pusing tujuh keliling.

Karena anda butuh damai, resep tersebut perlu anda gunakan. Jangan anda menunda-nundanya lagi. Dengan terus menunda, apalagi dengan terus menerus menggunakan jurus dusta, anda dan rekan-rekan anda akan semakin tidak tenang, karena darah orang yang kalian bunuh itu akan terus mengikuti kalian. ***