Senin, 27 Juli 2009

Dongeng dan Sejarah

 

Dengan cara apa pun anda membolak-balik “buku” sejarah Lewoingu, anda tidak akan menemukan satu pun fakta bahwa Gresituli, Bapak Lewoingu itu dilahirkan di Tana Beto. Gresituli juga tidak muncul sebagai seorang bayi dari dalam tanah yang kemudian disebut Tana Beto itu. Ceritera tentang penemuan bayi di tanah tersebut merupakan suatu dongeng.

Dongeng Tana Beto di Lewoingu itu dibuat setelah Gresituli tampil sebagai pemimpin yang 1) berhasil mengalahkan Paji, dan yang 2) berhasil membangun suatu tatanan sosial baru bagi masyarakat Demong. Sebelumnya belum ada tokoh yang mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan besar semacam itu. Pekerjaan mendahsyatkan itu tentu saja mengundang rasa kagum serentak rasa segan  juga rasa penasaran masyarakat yang bersangkutan. Rasa kagum timbul karena hasil pekerjaannya sungguh “ajaib” bagi mereka. Rasa segan timbul, karena dia berwibawa dan baik. Rasa penasaran bangkit karena mereka tidak tahu siapa dan dari mana sesungguhnya orang ini, dan apa pula sesungguhnya tujuan orang yang satu ini?

Rentetan pertanyaan itu menggelitik pikiran dan hati mereka, terus mendesakkan jawaban pada diri mereka. Tapi bagaimana mungkin mereka bisa memperoleh jawabannya dari sang tokoh. Mereka tidak mengenalnya, mereka juga tidak punya akses untuk menggapai sang narasumber. Maka direkalah ceritera tentang penemuan seorang bayi di tanah yang kemudian disebut Tana Beto itu. Itulah dongeng tentang tokoh pendiri Lewoingu. Belakangan ini dongeng itu dibumbu-bumbui dengan pandangan mitis-magis tak karuan oleh oknum-oknum muda tertentu, yang sedang getol berusaha menjadi penutur sejarah Lewoingu.

Dongeng semacam itu termasuk sastra lisan. Ia sampai kepada generasi kita melalui suatu tradisi lisan yang berhasil menembus batas-bata zaman. Tetapi dongeng tetaplah dongeng. Ia tidak berbicara tentang fakta. Ia adalah hasil cipta daya fantasi. Bahkan perlu ditambahkan bahwa dongeng  Tana Beto adalah hasil cipta daya fantasi yang kerontang.

Sebagai salah satu bentuk sastra, ia pun dapat disisipkan pada bentuk sastra lainnya oleh si pereka ceritera. Maka tak perlu diherankan bila dongeng itu pun akhirnya muncul pula dalam Marang Mukeng versi tertentu, yang dibawakan oleh pihak tertentu. Kalau Marang Mukeng tertentu itu dibedah secara teliti, maka dengan mudah pula ditemukan kelemahannya.

Kekonyolan terjadi ketika dongeng itu diidentifikasi sebagai sejarah tokoh pendiri Lewoingu itu. Padahal pendiri Lewoingu itu sendiri bertutur, Go geresik tanah tawa, belia gere go gere, belia lesa go lesa. Bapak Lewoingu itu sendiri berceritera tentang perjalanannya bersama adiknya Keropong Ema dari tanah Jawa melewati Bali, Labuan Bajo, Lio, Hewa, Ile Kehue, hingga Lewokoli. Beliau pula yang bertutur tentang peristiwa tragis di Waiula’ di daerah Hewa sana yang menyebabkan meninggalnya Keropong Ema. Ketika tiba di Ile Kehue’, dia kembali menoleh memandang ke arah daerah tempat adiknya terbunuh. Untuk mengenangnya, dia pun mengucapkan kata-kata, yang jika dinyatakan dalam bahasa Lewoingu kontemporer begini, “Mo di amu’ung kae’, go mehakeng hena,’ go pana tiro lera gere.”

Dongeng tentang Tana Beto bermula dari ceritera di Ile Kehue’ itu. Pereka ceritera dongeng bilang bahwa waktu di Ile Kehue’ itu Gresituli lalu memasukkan dirinya ke dalam tanah, kemudian lahir sebagai seorang bayi di Tana Beto. Sejak awal si pereka ceritera rupanya mau menskenariokan adegan ajaib sebagai daya tarik bagi para pendengar. Keajaiban itu kemudian langsung diikuti dengan lompatan ajaib ke masa lalu, yaitu ke masa pendiri Lewoingu itu baru dilahirkan sebagai seorang bayi di tengah suatu hutan yang sama sekali asing baginya. Modal si bayi adalah tangisan yang mengundang perhatian serentak rasa iba dari orang-orang yang ada di sekitarnya.

Dongeng itu kemudian berlanjut dengan keberhasilan si bayi mengundang perhatian dan kedatangan seorang wanita bernama Bota Bewa. Si bayi lalu dibawa ke Lewohari. Di situ suatu adegan ajaib dimunculkan lagi, yaitu adegan pertumbuhannya yang cepat, sehingga hanya dalam hitungan sedikit hari si bayi berhasil bertumbuh menjadi seorang pemuda. Seorang pengapresiasi ceritera dongeng itu menambahkan bahwa dari Lewohari Gresituli pun pernah ke Lewopao.

Dongeng itu menjadi kerontang, karena si pereka ceritera gagal memberikan nama kepada si bayi. Padahal nama adalah identitas dasar yang menentukan nasib hidup seorang anak manusia. Hingga di sini alur ceriteranya menjadi macet. Dengan cara tambal sulam, kemacetan itu coba diatasi dengan ceritera pemberian busur dan pana kepada pemuda tanpa nama itu dan ceritera tentang paha hope dan weling elang.

Pada titik ini daya fantasi si pereka ceritera mulai redup, lalu serta merta dia pun meloncat ke dataran sejarah, lalu bertutur tentang perburuan rusa yang berujung pada perkenalan dirinya oleh dirinya sendiri. Kata asu yang terdapat dalam koda kiring tentang perburuan itu berarti anjing. Istilah asu itu berasal dari bahasa Jawa. Kata itu diadopsi oleh masyarakat Lamaholot dengan arti yang sama. Di Lewoingu, istilah asu mengalami perubahan fonem menjadi aho’. Kata asu yang digunakan dalam koda kiring dimaksud tidak ada kaitan dengan Lewohari apalagi dengan Lewopao yang tidak dikenal di kawasan Lewoingu.

Meskipun dongengnya kerontang, tetapi ia tetap bertahan di kalangan tertentu. Ketahanannya dimungkinkan karena ia diterima sebagai ceritera rakyat setempat. Tetapi dongeng itu tidak bermakna kalau kita berbicara tentang sejarah Lewoingu, karena ia tidak berbicara tentang fakta. Sebagai dongeng, ceritera itu ingin menyampaikan pesan simbolik bahwa yang namanya Gresituli itu orang hebat.

Tana Beto berarti tanah tempat Gresituli pernah datang atau muncul dan menginjakkan kakinya di situ. Itulah sebabnya, Tana Beto itu pun menjadi milik Gresituli yang kemudian diwariskan kepada anak cucu keturunannya yang disebut Lewoema (Lewolein). ***