Selasa, 21 Juli 2009

Menimbang “Dungbata Jatidiriku Yang Terabaikan”

 

“Dungbata Jatidiriku Yang Terabaikan” adalah judul salah satu artikel yang ditulis oleh Marselinus Sani Kelen dalam blognya (lihat http://marsel-sani-kelen.blogspot.com). Sepintas lalu, tulisan itu bertolak dari suatu niat baik, yaitu niat untuk mewujudkan kehidupan lewotana yang tenteram, lewotana yang damai, lewotana yang lohjinawi. Untuk itu pembaca diharapkan belajar dari apa-apa yang baik yang pernah dilakukan oleh para leluhur Lewoingu agar terwujud kemerdekaan, kebersamaan, kehidupan yang religius dan berperikemanusiaan, dan keadilan. Dengan belajar dari kepintaran para nenek moyang, penulis artikel tersebut berharap generasi muda kontemporer Dungbata menemukan jati dirinya.

Diandaikan, sebelum mengajak pembaca belajar dari sejarah kepintaran para nenek moyang Lewoingu itu, penulis artikel tersebut sudah belajar sungguh-sungguh dan sudah mempraktekkan pula kepintaran tersebut dalam hidupnya, sehingga dia pun dapat menjadi panutan dalam hal-hal yang baik itu. Seseorang yang sungguh-sungguh mau belajar dari kearifan para leluhur Lewoingu mestinya tidak asal bunyi ketika dia berbicara tentang konflik di Lewotana. Jika itu terjadi, dia pun dapat menjadi juru warta damai yang dapat diandalkan bagi kampung halamannya.

Tetapi, tampaknya himbauannya agar kita berkonsentrasi pada penyelesaian konflik guna mewujudkan perdamaian di lewotana itu hanya asbun alias asal bunyi saja. Tampak jelas bahwa asbunnya itu didasari pada penilaiannya tentang adanya upaya melalui tulisan untuk mempertahankan status quo konflik di kampung Eputobi. Di balik penilaiannya itu diandaikan adanya pihak yang tidak berusaha ke arah penyelesaian konflik tersebut.

Penilaian semacam itu dapat terjadi karena dia berdiri pada posisi yang satu untuk berhadapan dengan posisi yang lain. Dari posisi yang satu itu dia dengan mudahnya menilai bahwa sikap dan cara pandang pihak yang lain itu subjektif. Maka tak mengherankan bila dia pun terjebak dalam suatu penilaian subjektif, padahal penilaian subjektif itu ingin dia hindari. Dengan demikian, tanpa dia sadari, dia pun terjebak pula dalam upaya untuk mempertahankan status quo konflik dengan tulisannya itu. Tanpa dia sadari pada dasarnya dia menimbulkan polarisasi baru, yaitu kelompok yang ingin menyelesaikan konflik dan karena itu mau berdamai dan kelompok yang ingin mempertahankan konflik karena itu tidak mau berdamai. Dengan demikian tak ada nuansa damai pula dalam tulisannya itu.

Perlu dicatat di sini bahwa yang terjadi di kampung Eputobi sejak 2006 hingga kini bukan sekedar konflik biasa, tetapi kejahatan-kejahatan besar, yang berpuncak pada pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007. Yang terjadi di kampung Eputobi adalah tumbuhnya komplotan penjahat yang karena alasan-alasan politik dan sentimen-sentimen pribadi dengan mudah mengilangkan nyawa orang lain yang dianggap lawan politik dan musuh pribadi. Kelompok penjahat itu tidak hanya mengancam membunuh satu orang, tetapi lima orang. Jejak-jejak ancaman pembunuhan dan jejak-jejak para pelaku pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran mudah dilacak dan ditemukan. Apakah perkara pelanggaran adat, penyerobotan batas tanah, dan pembunuhan yang dilakukan secara berjamaah itu merupakan perkara-perkara yang sepele? Jika persoalan-persoalan itu sepele, mengapa bisa timbul perpecahan sosial budaya yang demikian parah di kampung itu? Jika yang terjadi di kampung Eputobi selama beberapa tahun terakhir adalah konflik biasa, maka konflik itu dengan mudah dapat diselesaikan dengan saling memaafkan. Tetapi untuk menghadapi dan menyelesaikan perkara kejahatan besar itu, tentu diperlukan cara-cara yang berbeda daripada cara maaf-memaafkan yang biasa.

Kalau anda ingin bercermin pada kearifan para leluhur Lewoingu, maka anda pun perlu memperhatikan bahwa para leluhur Lewoingu tidak memberi toleransi pada kejahatan. Karena itu, mereka juga tidak memberi ruang sosial budaya di komunitasnya bagi para pelaku kejahatan. Itulah sebabnya pencuri, tukang santet yang mencelakakan sesamanya, pembunuh, dan peselingkuh diberi hukuman berupa pengusiran dari kampung atau hukuman mati dengan cara diikatkan batu besar pada lehernya lalu ditenggelamkan di laut atau diterjunkan ke dalam suatu jurang yang dalam yang di bawahnya terletak batu-batu besar.

Tidak ada satu pun dari para tokoh arif bijaksana dalam sejarah Lewoingu yang membela kejahatan, yang berusaha dengan segala macam cara untuk menutup-nutupi kejahatan yang dilakukan entah oleh anggota keluarga sendiri, entah oleh orang-orang lain sekampung dengan mereka. Mereka adalah orang-orang yang mendasarkan kehidupan mereka pada kebenaran, dan berusaha secara konsisten untuk menegakkan kebenaran dalam berbagai dimensi sosial budaya masyarakat mereka pada zaman mereka hidup. Kebenaran menjadi norma dasar sekaligus orientasi hidup mereka. Sebagai norma dasar, kebenaran dijadikan pedoman penyelesaian berbagai masalah serius yang timbul dalam rangka relasi sosial di Lewoingu. Kebenaran itu pula yang menjadi dasar pelaksanaan kepasa’ atau sumpah adat. Si penipu, si penjahat yang mengangkat sumpah atau disumpah secara adat akan terkena bala. 

Lalu coba perhatikan seruan perdamaiannya. Ketika seruan perdamaiannya itu dikaitkan dengan perlunya payung hukum untuk memberikan keadilan kepada pihak korban dan para pelaku pembunuhan di Blou itu, dia mengandaikan bahwa ada pihak yang tidak mengerti payung hukum dimaksud. Seandainya ada pihak, katakanlah pihak keluarga korban tidak menghargai hukum, ceritera tentang konflik di kampung Eputobi langsung berubah total jalannya sejak penemuan jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran di dalam parit di Blou pada hari Selasa, 31 Juli 2007.

Lantas benarkah Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng sudah dibebaskan demi hukum? Benarkah mereka itu sudah dibebaskan berdasarkan pertimbangan bahwa fakta dan dasar pembuktian tidak memenuhi logika hukum? Jika mereka itu sudah dibebaskan demi hukum, mengapa status mereka tetap sebagai tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran hingga kini? Jadi logika hukum apa yang anda pakai untuk menilai perkara kejahatan sangat keji yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota komplotan pembunuhnya itu? Apakah anda kira bahwa penetapan mereka itu sebagai tersangka tidak berdasarkan bukti-bukti hukum? Apakah anda memang lebih tahu persoalannya ketimbang polisi-polisi yang bekerja berdasarkan standar profesionalisme mereka?

Meskipun seorang JPU di Kejaksaan Negeri Larantuka beberapa kali pernah mengembalikan berkas perkara pembunuhan tersebut ke Polres Flores Timur, tetapi berkas itu akan layak diajukan ke pengadilan. Ini pendapat sejumlah ahli hukum. Apakah anda punya logika hukum yang lebih canggih daripada logika hukum para ahli hukum yang sudah banyak makan asam garam di dunia hukum?

Kalau anda tidak tahu seluruh seluk beluk proses penanganan perkara pembunuhan tersebut, dan kalau anda tidak tahu tentang fakta-fakta yang berkaitan dengan perkara pembunuhan tersebut, kami berharap anda tidak perlu ikut-ikutan menjadi orang yang asal bunyi. Soalnya, yang asal bunyi itu tidak nyambung dengan kenyataan-kenyataan yang terkait dengan persoalan-persoalan yang telah dan sedang terjadi di sana. ***