Jumat, 13 November 2009

Menunggu laporan penggunaan dana pembangunan desa Lewoingu

 

Catatan penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu oleh Mikhael Torangama Kelen di masa lalu secara rapih dibuat oleh kubu oposisi di desa tersebut. Catatan itu menuturkan bahwa orang yang memerintah di desa Lewoingu pada periode 2000-2006 dan kebablasan hingga 2007 itu mampu menggunakan uang desa Lewoingu semaunya sendiri. Mungkin karena itu, maka orang-orang di sekitarnya pun pernah ikut-ikutan melakukan hal yang sama.

Ketika kubu oposisi di desa itu mempersoalkannya, Mikhael Torangama Kelen dkk bereaksi keras. Segala cara coba mereka tempuh untuk menutupi perbuatan kotor tersebut. Beberapa orang dari kubu oposisi yang tidak menyalahgunakan uang desa Lewoingu pernah dilaporkan ke Polsek Boru. Buntut dari laporan tersebut adalah terungkapnya pengakuan dari kubu Mikhael Torangama Kelen bahwa selama itu mereka menggunakan uang iuran pasar untuk kepentingan pribadi mereka masing-masing. Iuran pasar itu dipungut dari setiap pengunjung dan para pedagang yang berjualan di pasar desa Lewoingu pada setiap hari Jumat.

Ketika konflik politik meruncing pasca pilkades 2007, dan ketika kubu Mikhael Torangama Kelen terdesak oleh tekanan kubu oposisi, jalan kriminal pun mereka rancang guna membungkam pihak oposisi. Pada awal April 2007, salah seorang dari kubu Mikhael Torangama Kelen mencari calon pembunuh untuk menghabisi tiga orang tokoh oposisi yaitu Yoakim Gresituli Ata Maran, Yosef Kehuler, dan Sis Tukan. Tetapi orang yang dihubungi untuk proyek kejahatan itu secara tegas menolak tawaran tersebut. Karena tidak berhasil merekrut calon pembunuh bayaran, maka Mikhael Torangama Kelen sendiri yang memimpin aksi pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam 30 Juli 2007. Orang yang pada awal April 2007 berusaha merekrut calon pembunuh bayaran itu pun terlibat dalam aksi pembunuhan tersebut. 

Lawan politiknya itu sudah pergi ke dunia lain. Sekarang tak ada satu tokoh pun dari kubu oposisi yang duduk dalam pemerintahan desa Lewoingu. Tak ada satu pun anggota DPD yang berasal dari kubu oposisi. Sehingga tak ada lagi pengawasan bagi jalannya pemerintahan di desa itu. Tak ada lagi mata yang secara langsung mengawasi penggunaan dana pembangunan desa itu. Tak ada lagi tangan-tangan yang mencatat penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu.

Seorang staf Bangdes pernah menginformasikan bahwa dari provinsi NTT didrop dana pembangunan sebesar Rp 100 juta rupiah untuk tiap desa di NTT untuk tahun anggaran yang sebentar lagi akan berakhir. Pengadaan dana sebesar itu bukan hasil perjuangan kepala desa, tetapi merupakan dana dari pemerintah Indonesia untuk memacu pembangunan desa-desa di Indonesia.  Porsi terbesar dari dana itu adalah untuk pembangunan desa. Sedangkan sisanya, paling banyak 30% untuk honor para aparatur desa yang bersangkutan selama satu tahun. Penggunaan dana itu perlu dipertanggungjawabakan oleh kepala desa yang bersangkutan.

Yang jadi pertanyaan ialah untuk apa saja dana itu digunakan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk? Benarkah dana itu digunakan untuk peningkatan kesejahteraan segenap lapisan masyarakat desa Lewoingu?

Ketika Mikhael Torangama Kelen dan para pendukungnya berkeluh kesah tentang adanya warga dari kubu barat yang tidak berpartisipasi dalam kerja bakti di desanya, salah seorang dari kubunya berkomentar, “Wajar saja kalau mereka di sebelah sana (=kubu barat) tidak ikut kerja bakti. Raskin pun hanya kita yang pakai. Datang uang sedikit dari atas pun hanya kita yang dapat.”

Terlepas dari adanya komentar semacam itu, dana pembangunan tersebut sudah digunakan. Tepat sasaran atau tidak penggunaannya tak diketahui oleh pihak oposisi.  Bocor atau tidak penggunaannya belum ada yang tahu. Tetapi hal berikut ini perlu dicatat, yakni bahwa di masa lalu Mikhael Torangama Kelen pernah membuat laporan keuangan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Isi laporan keuangannya penuh dengan rekayasa. Karena itu secara tegas, kubu oposisi pada waktu itu menilai bahwa isi laporannya itu penuh dengan kebohongan. Itulah sebabnya laporan pertanggungjawabannya itu ditolak oleh BPD Lewoingu pada tahun 2007. Berdasarkan laporan dan permohonan dari BPD Lewoingu itulah, maka Mikhael Torangama Kelen diaudit oleh Banwasda Flotim. Hasil audit sementara menunjukkan bahwa Mikhael Torangama Kelen dkk menyalahgunakan keuangan desa Lewoingu sebesar Rp 14 juta rupiah. Angka ini belum termasuk penyalahgunaan uang iuran pasar desa Lewoingu oleh anak-anak buahnya. Angka itu pun bisa membengkak, jika proses audit dilanjutkan hingga tuntas.

Salah satu syarat pelantikannya pada Rabu, 16 Januari 2008, ialah bahwa dia harus mengembalikan uang yang disalahgunakannya itu dalam tempo enam puluh hari. Tetapi belum jelas hingga kini apakah uang yang disalahgunakannya itu sudah dikembalikan ke kas desa Lewoingu atau belum. Seandainya dia sudah berhasil mengembalikannya, pengembalian uang tersebut tak dapat menghapus perbuatan korupsi yang dilakukannya. Korupsi adalah perbuatan pidana yang perlu diproses secara hukum. 

Selanjutnya kita tunggu seperti apa isi laporan pertanggungjawabannya atas penggunaan dana pembangunan tersebut di atas. ***