Kamis, 19 November 2009

Setelah berunjukrasa, mereka kecewa dan frustrasi

 

Ketika hendak berangkat ke Larantuka, pada Jumat pagi, 13 November 2009, mereka tampak ceria. Mereka merasa yakin bahwa tuntutan SP3 yang mereka usung akan berhasil dipenuhi oleh Kapolres Flores Timur. Mereka adalah para tersangka dan para kaki tangan si kepala komplotan pembunuh berdarah dingin itu. Pada hari itu mereka mengenakan kostum hitam-hitam, sesuai dengan kelamnya hati mereka selama ini.

Di Mapolres Flores Timur, mereka menggelar aksi unjukrasa. Di situ, Mikhael Torangama Kelen, Lambertus Lagawuyo Kumanireng, dan San Kweng angkat bicara. Di situ, Mikhael Torangama Kelen “menyanyikan” lagu lamanya bahwa tangannya bersih, dirinya bersih. Di situ, lagi-lagi dia mencatut nama lewotana untuk menutup-nutupi tangannya yang berlumuran darah, darah orang tidak bersalah, yang dihabisinya di Blou, pada Senin malam, 30 Juli 2007. Di situ, dia memamerkan diri sebagai orang yang semakin tidak tahu diri.

Di situ, San Kweng pun lagi-lagi tampil sebagai seorang pembela kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk. Di situ dia pun “menyanyikan” lagu kambing hitam, bahwa pembunuh sesungguhnya masih bebas berkeliaran. Dia menuduh penyidik (penyidik dari Polda NTT) melakukan salah tangkap. Ya, setelah lama tak bersuara, dia muncul kembali ke permukaan. Tetapi di Mapolres Flores Timur pada hari itu, dia hanya asbun alias asal bunyi. Dengan asbunnya itu dia ingin tampil sebagai pahlawan bagi para tersangka.

Yang masih bebas berkeliaran adalah empat tersangka, yaitu Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng plus beberapa orang kaki tangan Mikhael Torangama Kelen, yang pada malam kejadian itu berada di TKP dan sekitarnya untuk mensukseskan pelaksanaan proyek kejahatan yang telah dirancang melalui serangkaian rapat. Beberapa di antara mereka yang dimaksud itu berpartisipasi aktif dalam aksi unjukrasa tersebut.

Apa hasil unjukrasa yang mereka gelar di Mapolres Flores Timur itu? Hasilnya nihil. Setelah mengalami sendiri apa yang sesungguhnya terjadi dalam aksi unjukrasa itu, para pengunjukrasa pulang dengan rasa kecewa berat. Dengan wajah letih lesu loyo tanpa semangat mereka kembali ke Eputobi pada hari Jumat sore minggu yang lalu. Tak ada senyum yang mengembang di bibir mereka. Setelah kembali ke Eputobi, keluh kesah dan rasa kecewa pun diungkapkan satu per satu dari mulut sejumlah peserta aksi unjukrasa. Di antara mereka ada yang secara tegas mengatakan kecewa dengan aksi unjukrasa yang tidak berguna itu. Lalu di antara sesama peserta aksi unjukrasa pun ada yang saling berkelahi hanya karena kata-kata yang dianggap memalukan. Rasa frustrasi pun menyergap mereka setelah mereka menggelar aksi unjukrasa di Larantuka.

Suasana muram di kubu Mikhael Torangama Kelen terus menjalar hingga ke hari Sabtu dan Minggu. Jumat malam, 13/11/2009 rasa getir dan ketar ketir benar-benar meresapi seluruh diri mereka. Karena masih dilanda rasa kecewa berat (frustrasi), kerja bakti pada hari Sabtu 14/11/2009 pun dibatalkan. Ibadat hari Minggu, 15/11/2009 pun hanya dihadiri oleh para umat dari kubu barat. Dalam dua hari itu, suara mereka raib seperti ditelan bumi. Padahal biasanya suara mereka itu nyaring terdengar ke mana-mana. Selama ini, dengan suara, mereka sering menyindir dan meledek para lawan politik mereka dari kelompok barat.

Para warga kelompok “jabar” yang selama ini lebih banyak memilih jalan diam hanya menjadi penonton setia semua keanehan perilaku para pembela kejahatan itu. ***