Selasa, 26 Mei 2009

Ceritera tentang kedatangan si anjing hitam ke markas prajurit Serolf Rumit

 

Setelah adegan penangkapan kepala monyet dan empat anak buahnya di kampung Ibotupe, para monyet lainnya menjadi sangat ketakutan dan tak tahu harus berbuat apa. Pada malam setelah terjadi penangkapan, tak ada satu pun monyet yang keluar dari tempat persembunyian mereka. Padahal selama ini, mereka itu tak mengenal siang atau malam, kalau mereka mau melakukan aksi-aksi nakal dan brutal mereka.

Melihat itu, pada suatu hari, datang beberapa monyet tua menemui mereka. Ketika bertemu, mereka sama-sama meneteskan air mata. Tetapi sebenarnya tidak jelas untuk apa mereka itu perlu membasahi bumi dengan air mata mereka. Bumi tidak membutuhkan air mata para monyet itu. Yang dibutuhkan bumi adalah air dari langit, yang memberi kekuatan bagi kelangsungan hidupnya. Yang dibutuhkan adalah air dari langit untuk menyembuhkan luka-luka pada tanah bumi, menumbuhkan tunas-tunas baru yang menyegarkan bumi. Bumi Ibotupe yang dipanggang api prahara membutuhkan air penyejuk. Tak berarti sedikit pun air mata para monyet itu.

Setelah meneteskan air mata mereka masing-masing, para monyet itu berusaha untuk saling menghibur dalam suasana duka lara yang sangat menyayat perasaan mereka. Banyak di antara mereka yang hanya duduk merunduk memandang tanah yang terasa makin panas untuk dipijak. Sementara dahan-dahan pohon pun semakin tak bersahabat dengan mereka.  Tetapi mereka itu masih beruntung, karena masyarakat Ibotupe dan sekitarnya belum mengambil keputusan untuk membasmi mereka satu per satu hingga punah seluruhnya.

Sementara itu di markas prajurit Serolf Rumit, empat monyet yang sedang dikerangkeng di situ sering meneteskan air mata juga, terutama di malam hari ketika kelam malam menyelimuti tempat tinggal mereka yang baru itu. Ada keinginan dalam diri mereka untuk melarikan diri keluar dari markas itu. Tapi keinginan mereka itu tak dapat mereka laksanakan. Dengan terpaksa monyet-monyet itu menjalani hari-hari sunyi sepi di markas itu.

Rasa takut pun terus mencekam mereka. Mereka takut akan kemarahan dewa langit dan raja bumi. Soalnya, ada di antara anggota mereka yang sudah jadi korban cahaya putih yang menyambar wajahnya bagai petir di suatu pagi hari, padahal tak ada hujan badai. Dan amarah raja bumi pun sudah mereka saksikan. Rasa takut sungguh-sungguh mencekam sanubari mereka. Baru kali ini, perasaan mereka disergap rasa takut yang demikian mengerikan itu. Maka di malam-malam yang sepi, mereka pun tak bisa berbuat lain selain membasahi dinding-dinding kelam dengan air mata mereka sendiri.

Ketika dinding-dinding kelam kian membisu, dalam hati, mereka sempat berharap dapat ditengok oleh anggota-anggota keluarga dan rekan-rekan mereka. Tetapi yang diharap-harap tak kunjung datang jua, hingga pada suatu malam berkunjung ke markas itu seekor anjing hitam. Tetapi si anjing hitam itu pun tak bisa mendekati mereka, karena kehadirannya terlanjur diketahui oleh para prajurit yang sedang berjaga di pos mereka.

Kehadiran si anjing hitam disambut dengan lolongan dan gonggongan sahut menyahut anjing-anjing yang sehari-hari berada di markas itu. Tongkrongannya yang berbeda dengan anjing-anjing lainnya cepat mengundang perhatian dari prajurit-prajurit yang sedang berada di markas itu. Karena menimbulkan kegaduhan, si anjing hitam pun diusir pergi, keluar dari markas itu. Maka pergilah si anjing hitam itu, tanpa sempat menyapa empat monyet itu.

Tapi lolongan dan gonggongan anjing-anjing lainnya itu tadi merupakan sinyal bagi empat monyet itu, bahwa yang datang ke markas itu barusan adalah rekan mereka yang satu itu. Mereka tahu bahwa rekan mereka itu punya kebiasaan untuk menjelma menjadi si anjing hitam. Dan kehadirannya selalu ditandai dengan lolongan dan gonggongan anjing-anjing lainnya. Maka ketika mereka mendengar tanda itu, mereka sempat berharap agar rekan mereka bisa datang menemui mereka. Siapa tahu ada info tertentu yang dibawanya. Tapi harapan mereka itu tak bisa menjadi kenyataan.

Pada malam itu juga, si anjing hitam itu langsung kembali ke tempat persembunyiannya di Ibotupe. Tak ada kabar yang dapat dia bawa untuk rekan-rekan mereka yang sedang menunggu kepulangannya. Si anjing hitam itu pun malah jadi ketakutan sendiri, karena masyarakat Ibotupe sudah tahu segala ulah tingkahnya selama ini.

Tak lama setelah kembali ke Ibotupe, si anjing hitam pun kembali menjadi monyet yang kurus kering dengan bulu wajah yang lebih panjang ketimbang bulu di wajah monyet-monyet lainnya. ***