Selasa, 26 Mei 2009

Ceritera tentang upeti dari seekor monyet untuk panglima negeri Serolf Rumit

 

Selama beberapa tahun terakhir prajurit negeri Serolf Rumit dipimpin oleh seorang panglima yang korup dan lalim. Hobi korupsinya sudah lama dia kembangkan. Dan dari korupsilah dia menumpuk harta kekayaan yang tak terbilang harganya. Dari korupsi, dia membangun sebuah istana di pinggir pantai nan indah di Tukanai, ibukota kerajaan Serolf Rumit. Makin lama dia pun makin mampu bersaing dengan raja Serofl Rumit. Makin lama mereka berdua jadi tahu sama tahu rahasia masing-masing. Sehingga mereka pun memutuskan untuk tidak saling mendahului.

Karena sudah saling tahu sama tahu, maka ketika si panglima memaksakan upeti dari rakyat negeri Serolf Rumit, raja pun diam saja seakan-akan tidak terjadi masalah. Padahal si panglima tidak punya wewenang untuk memaksakan upeti dari siapa pun. Maka makin lama si panglima pun makin asyik menikmati hasil jarahannya itu. Sebagian hasil jarahannya dikucurkan ke prajurit-prajurit bawahan yang dia anggap loyal padanya. Mulanya hanya beberapa prajurit yang menerima kucuran tersebut, tapi makin lama makin banyak yang berminat bahkan berusaha untuk memperolehnya juga. Melihat itu, si panglima merasa senang. Dia lantas membiarkan prajurit-prajurit yang bersangkutan untuk berpraktek sendiri-sendiri sesuka hati mereka. Yang penting sama-sama enak.

Kebiasaan si panglima itu diamati dengan baik oleh seekor monyet dari Ibutupe yang selama beberapa tahun terakhir tinggal di Tukanai,  ibukota kerajaan Serolf Rumit. Sepesialisasi monyet yang satu ini adalah mencuri dan merampok harta kekayaan masyarakat Tukanai. Lantas dia pun punya kemampuan satu lagi, yaitu menyamar sebagai manusia, sehingga banyak orang mengira bahwa dia itu manusia, padahal dia adalah seekor monyet.

Karena mampu menyamar menjadi manusia, monyet yang satu ini pun memberi nama untuk dirinya. Namanya, Resekel. Belakangan ini, si Resekel ini makin sering merampok. Aksi-aksi jahatnya ini sangat meresahkan warga kota Tukanai. Karena ulah jahatnya itu, di masa lalu, ratusan warga Tukanai pernah berusaha mengusirnya dari kota mereka. Tetapi tak lama kemudian si Resekel muncul kembali di kota itu. Dan sejak saat itu dia menetap di situ. Sekali-sekali dia membawa hasil rampoknya ke Ibutupe. Pikirnya, “Biar sesamaku di kampung bisa ikut menikmati hasil usahaku di kota.”

Karena mengetahui bahwa kepala monyet di Ibotupe dan beberapa rekannya sedang dikerangkeng di markas prajurit di Tukanai, si Resekel berusaha untuk menolong mereka. Tapi mulanya dia tidak tahu bagaimana caranya. Setelah ingat bahwa si panglima negeri Serolf Rumit itu punya hobi terima suap dan upeti yang bukan haknya, si Resekel mulai merasa yakin bahwa dia dapat menggoda si panglima dengan sejumlah uang hasil curiannya. Tetapi bagaimana caranya dia bisa menemui si panglima?

Melalui seorang prajurit yang sudah dia kenal, dia dipertemukan dengan panglima negeri Serolf Rumit. Ketika pertama bertemu, si panglima merasa kaget, karena yang datang menemuinya adalah seorang manusia yang bertingkah laku seperti monyet. Maka si panglima pun sempat enggan untuk menerimanya. Tetapi karena proposal yang diajukan oleh si Resekel itu sangat menarik, maka si panglima pun akhirnya tak berbuat lain selain menerimanya dengan baik.

Jumlah dana yang ditawarkan dalam proposal itu membuat mata si panglima langsung ijo. Tanpa basa-basi, si panglima menyuruh prajurit yang mendampingi si Resekel untuk memanggil prajurit-prajurit lainnya. Kepada prajurit-prajurit yang bersedia memenuhi panggilannya, si panglima berkata begini, “Proposal ini perlukan kita goalkan. Siapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk mengamankan permintaan pak Resekel ini.” “Siap pak,” jawab prajurit-prajurit itu dengan mantap.

Isi proposal si Resekel ialah permohonan pembebasan empat monyet yang sedang dikerangkeng di markas itu dengan imbalan uang yang besar jumlahnya. Ketika menyusun proposal itu, si Resekel berpikir, “Biar si panglima dan anak-anak buahnya pun ikut menikmati hasil usahaku.”

Melihat gelagat si panglima dan sejumlah anak buahnya mau menerima proposal dari si Resekel, seorang dewa langit mengutus anak buahnya kepada si panglima untuk mencegah terjadinya transaksi antara kedua belah pihak. Ketika utusan dewa itu membisikkan pesan  dari langit itu kepada kuping si panglima, si panglima langsung membentak dan menyuruh utusan dewa itu pergi dari hadapannya. Utusan dewa langit itu pun langsung lenyap dari ruang pertemuan itu.

Semua kejadian di ruangan itu berada di bawah tatapan mata dewa langit, yang jauh lebih terang dan lebih tajam daripada mata manusia mana pun yang ada di bumi ini. Dan karena pesannya ditampik dengan kasar, maka dewa langit pun membiarkan transaksi di antara si Resekel dan si panglima terjadi. Tetapi apa yang terjadi ketika si panglima dan prajurit-prajurit bawahannya itu menerima uang dari si Resekel? Tubuh mereka pun langsung berubah. Dari pusar ke atas mereka menjadi mirip kera, sedangkan dari pusar ke bawah mereka tetap menjadi manusia. Tetapi mereka sendiri tidak menyadari perubahan itu.

Melihat itu, si Resekel pun tersenyum gembira. Dia merasa memiliki teman-teman baru. Dia lalu menyodorkan tangan untuk menyalami mereka satu per satu sambil berkata, “Terima kasih kawan, anda telah bersedia menjadi sahabat-sahabatku. Dan kalian pun tentu mau menolongku, bukan?” “Tentu kawan, tunggu saja tanggal mainnya.” Begitu jawab si panglima dan prajurit-prajurit bawahannya yang telah berubah rupa dengan mantap. “Pokoknya, jangan lupa sama kawan-kawan kita yang dikerangkeng itu.” Begitu pesan si Resekel ketika hendak pamit dari si panglima.

Sejak hari itu juga, si panglima dan sejumlah prajurit bawahannya itu melihat dan memperlakukan empat monyet yang dikerangkeng di markas itu sebagai teman-teman yang perlu dibantu agar cepat keluar dari markas itu. Satu kali dalam satu minggu, si Resekel datang menemui rekan-rekannya itu sekaligus memberikan upeti-upeti tambahan bagi mereka. “Biar segala urusannya jadi lebih lancar.” Begitu pikir si Resekel.

Setiap menerima upeti tambahan dari si Resekel, wajah si panglima dan sejumlah prajurit bawahannya itu pun makin menyerupai wajah monyet-monyet itu. Pada lengan dan tubuh mereka pun mulai tumbuh bulu-bulu panjang. Penampilan mereka yang berubah drastis itu menjadi bahan tertawaan sehari-hari prajurit-prajurit lainnya yang selama ini tetap berusaha menjadi manusia. ***